webnovel

Antifans+Haters=ETERNAL HELL (1)

"Hujan! Hujan!"

Angela tertawa geli melihat reaksi teman sekelasnya yang kegirangan melihat hujan turun deras. Mereka baru saja akan berangkat ke lapangan untuk olahraga. Hujan menghentikan langkah mereka di koridor depan kelas, membuat semuanya yakin sepenuhnya jam olahraga akan ditiadakan. Tak mungkin mereka akan dipaksa main basket di lapangan di bawah guyuran hujan lebat.

"Olahraga apa yang biasa dilakukan indoor?" tanya Angela pada Roni yang berdiri di belakangnya dengan kedua lengan memeluk pinggangnya.

"Banyak. Tapi di sekolah ini jarang banget olahraga indoor." Roni menyandarkan dagunya di bahu Angela.

"Bisa badminton." Wawan menyela.

"Dapet raket dari mana?" sergah Nikki.

"Sepak takraw? Bola tangan? Futsal?"

"Wan! Jangan rusak khayalan kita dong!" Nikki menampar lengannya. "Jam kosong aja udah! Lagi males banget olahraga."

Akibat keputusan detensi massal itu, popularitas Valdy merosot drastis di mata hampir seluruh siswa 12 IPA2. Hal ini berimbas pada keengganan untuk mengikuti pelajarannya.

"Bisa senam lantai juga." Wawan berdecak dengan tampang mesum, lalu sedetik kemudian mengaduh saat Elena menginjak kakinya.

"Tampang lo asli mesum banget, Wan!" Reza menoyor kepalanya.

"Nih, sebelah gue lebih mesum lagi. Dari tadi lengket, nggak lepas-lepas, kayak kembar siam dempet dada-punggung." Wawan menyikut lengan Roni.

"Iri bilang aja, Wan!" Roni balas menyepak kakinya, lalu membenamkan wajah di leher Angela, membuat gadis itu terkikik karena geli.

"Lihat? Lihat? Kelakuan temen lo nih!"

Suara tiupan peluit membuat semuanya menoleh dan suasana kontan hening. Valdy berjalan mendekat, mengangkat satu alisnya pada Angela, yang buru-buru melepas lengan Roni dari pinggangnya sebelum kena teguran. Karina menyesakkan dirinya melewati kerumunan dan berdiri paling depan, paling dekat dengan Valdy, lalu berdiri dengan sikap tubuh menggoda yang sangat terang-terangan.

"Kita olahraga di auditorium. Ayo. Jangan lewat lapangan."

"Olahraga apa, Pak?" Pertanyaan itu diajukan dengan nada enggan dan lesu oleh banyak mulut.

"Senam lantai."

"YESSSS!!!" Wawan dan Reza kompak berseru, menimbulkan gerutuan dari para siswi.

Mereka lalu melewati koridor-koridor panjang menuju auditorium. Sampai di auditorium, suasana ternyata cukup ramai oleh kelas 10 yang juga tengah berolahraga. Tak ada pengajar selain Valdy, dan bisa disimpulkan kali ini kelas mereka akan digabung.

"Eh, sialan! Itu kan si halu yang kemaren?" Elena yang bermata setajam elang menunjuk satu siswi yang memandang penuh harap ke arah mereka.

"Siap-siap drama babak kedua." Reza menggerutu kesal.

Mereka lalu dibariskan sesuai kelas. Angela melirik sengit ke arah Luna yang sedari tadi masih memandang Roni penuh damba, sementara Roni memasang wajah garang yang di luar kebiasaannya. Para siswi kelas 10 secara terang-terangan menatap tak suka ke arah Angela sambil berbisik-bisik. Sejak drama di lapangan basket itu, nama Angela benar-benar jadi bulan-bulanan di grup gosip Jenggala Pride, dicaci habis-habisan oleh anak kelas 10 dan fans Roni dari berbagai angkatan. Hal itu menyebabkan Roni berubah protektif melebihi biasanya, tak ingin Angela jadi korban perundungan bocah-bocah halu gagal move on itu.

"Oke, masing-masing pengurus kelas, maju ke depan." Andrei dan Wawan, serta empat orang lainnya maju ke depan. "Silakan masing-masing kelas ambil 2 matras. Kelas 12 di sana." Valdy yang rupanya menyadari potensi bahaya tawuran antarkelas segera memisahkan mereka. "Kelas 10 di sana." Ia menunjuk bagian depan dan belakang auditorium yang luas itu. "Satu jam pertama, latihan. Jam berikutnya, penilaian yang digabung. Paham?"

"Paham?"

"Sekali lagi kalian drama, siap-siap detensi tambahan!"

Valdy mengawasi dari tengah auditorium. Masing-masing ketua kelas yang memimpin dan mengawasi langsung latihan para siswa, dimulai dari peregangan dan pemanasan, lalu senam lantai. Mereka hanya diminta melakukan gerakan dasar yang mudah : roll depan, backroll, cart wheel, dan kayang.

Angela bergabung dalam antrian untuk berlatih. Ia mengawasi dengan seksama kelas 10 di kejauhan, dan melihat Valdy tengah memberi saran pada seorang siswi yang terlihat memegangi bahu. Ia lalu berjalan melintasi ruangan dan mendekat ke arah mereka. Angela memiringkan tubuh ke samping untuk melihat masih seberapa jauh antriannya. Masih ada 4 orang di depannya.

Duh, berarti nanti Valdy akan mengawasinya langsung, dan tentu saja seperti biasa akan mulai lagi dengan kata-kata tajamnya. Menyebalkan.

Mendadak Angela terhuyung hingga jatuh ke lantai. Karina telah mendorongnya dan dengan seenaknya merebut posisi antriannya. Ia mendengus sinis pada Angela yang mencelat bangkit, lalu menyingkirkan Siska yang ada di antrian depannya.

"Oh, mau caper ya? Nggak usah kasar gitu kali, Rin!" Siska mengumpatnya, dan dengan jengkel berdiri di belakangnya, bertukar pandang muram dengan Angela. Angela hanya mengangkat bahu, malas ribut, dan berdiri di belakang Siska.

Benar saja. Dalam sekejap Karina berubah bodoh dalam senam lantai. Menggelikan, sebab ekskul yang diikutinya selama ini menuntut kelenturan tubuh yang melebihi sekadar roll atau back roll. Teman sekelasnya mengawasi kecentilannya di depan Valdy dengan gigi mengertak berang.

"Hais…haiss… Lihat tuh! Pingin banget digrepe!"

"Cih! Kegatelan amat!"

"Kok jadi gue yang malu ngeliatnya."

"Aduh…" Karina berseru dengan suara merdu. "Tangan saya, Pak Valdy." Karina mengulurkan tangannya pada Valdy usai melakukan back roll yang melenceng keluar matras. Andrei yang berdiri tak jauh, mengusap wajah dengan telapak tangan terlihat bersusah payah menahan tawa.

"Putar-putar pergelangannya, Karina."

"Gimana caranya, Pak?"

Desisan jengkel terdengar dari antrian panjang teman sekelas mereka.

"Rin, kalo lo emang cedera, minggir dulu!" Nikki berseru kesal, dan segera diiyakan oleh yang lain. "Yang lain belum kebagian giliran!"

Valdy mengamati antrian yang panjang, lalu pandangannya bersirobok dengan Angela yang tengah menatapnya sinis. Angela diam-diam mengangkat kedua jempolnya, lalu membaliknya, menukik tajam ke bawah. Valdy membelalak.

"Akting aja Karina tuh!"

"Lanjutkan saja, Karina. Kalau memang sakit sekali, langsung saja ke ruang kesehatan." Valdy akhirnya berkata.

"Saya lanjut saja, Pak."

Karina melempar pandang sengit pada teman sekelasnya yang tak kooperatif dan melanjutkan dengan gerakan kayang. Lagi-lagi, dengan gestur menggoda, yang membuat Angela gatal dan ingin sekali menginjak-injaknya tanpa ampun.

"Rin!" Akhirnya Angela tak bisa menahan diri lagi. "Itu matras, bekas kotoran entah apa. Lo ngapain pose-pose estetik gitu disana?"

"Bukan estetik, La. Pose binal namanya!" Yurin menukas, tak kalah jengkel. Kata-kata Yurin memancing tawa ramai dari yang lainnya.

"Binal! Astaga!"

"Lanjut lagi, Karina!" Valdy berkata lebih tegas. Karina mengikuti perintahnya sambil merengut, lalu mulai melakukan cart wheel, sempoyongan saat berdiri. Ia terhuyung ke arah Valdy yang dengan sigap menangkapnya dan menariknya menjauhi matras.

"MODUSSSSSSSSSS…."

"Baik-baik saja?" tanya Valdy sambil mengamati wajahnya.

"Pusing banget…"

"Duduk saja dulu. Atau mau ke ruang kesehatan?" Valdy tak menunggu jawabannya dan memandang kerumunan siswanya. "Siapa anggota PMR? Bisa bantu Karina ke ruang kesehatan?"

Nikki dan Ayu mengangkat tangan. Tapi Karina menggelengkan kepala dengan anggun.

"Nggak usah. Saya disini saja, Pak."

Valdy mengamatinya sejenak, lalu mengangguk.

"Oke, silakan duduk yang agak jauh agar tak mengganggu yang lain."

Karina berlalu sambil mendelik pada antrian teman sekelasnya. Angela hanya menggeleng heran melihat kelakuannya.

"Angela, giliran lo!" Elena mendorong Angela maju saat Siska telah melangkah keluar dari matras.

Angela menatap Valdy yang berdiri sambil bersedekap di ujung lain matras, menggantikan posisi Andrei yang telah bergabung dengan antrian. Ia menghela napas dalam, lalu mulai melakukan dua kali roll depan yang sempurna, dan berdiri tegak di hadapan Valdy sambil menyunggingkan senyum miring. Angela lalu berjongkok kembali untuk melakukan roll belakang. Ia sedikit kesulitan saat melakukan kayang. Satu kali gagal, yang kedua kalinya berhasil, dan langsung berdiri tegak lagi setelah 10 detik.

"Cart wheel. Ayo!"

"Sebentar, Pak. Agak puyeng." Angela mengerjap untuk mengusir pusingnya.

"Yang cepat, Angela!"

Kepalanya masih pusing, namun ia mengambil ancang-ancang, lalu menjatuhkan kedua tangan dan mulai melakukan gerakan meroda. Saat ia berhasil berdiri tegak kembali, ia terperanjat saat tubuhnya terhuyung dan menabrak tubuh Valdy dengan keras. Valdy dengan sigap menangkapnya, lalu menyentakkannya hingga kembali tegak di lantai.

"Wooohhooooo…."

"Ron, Ron, lo lihat??"

"Maaf, Pak." Angela meringis, merasakan sakit di dadanya. "Masih pusing soalnya."

Valdy berdecak.

"Silakan istirahat dulu kalau memang pusing, Angela. Siap-siap untuk penilaian sebentar lagi."

Angela mengangguk dan berjalan menjauh, menjaga jarak yang cukup jauh dari Karina. Saat tiba giliran Roni beberapa saat kemudian, pekik ramai terdengar dari arah kerumunan kelas 10, meneriakkan namanya beramai-ramai.

"Kak Roniiiiiii…."

"Kak Roni, saranghaeyo…"

Pekikan ramai masih saling bersahutan, membuat Roni jengkel dan sudah bergerak untuk menghampiri mereka. Valdy membunyikan peluitnya keras-keras dan mengacungkan satu telunjuk pada bocah-bocah halu itu, membungkam mereka seketika. Roni membatalkan niatnya dan lanjut melakukan cartwheel dengan sempurna.

"La, ini bukan prediksi tapi…" Elena memandang ke arah kerumunan siswi kelas 10 di kejauhan yang tengah mengamati mereka dengan tak suka. "Sepertinya setelah ini lo akan makin dibully dimana-mana."

"Kenapa bisa bilang begitu?" tanya Nikki penasaran.

"Ada yang bawa ponsel. Dan mereka merekam lo barusan. Kesempatan buat mereka menghina lo di grup nanti." Elena menunjuk ke salah satu siswi dengan rambut pendek. "Tuh, yang itu orangnya, rambut pendek, yang satu pipa celananya naik sampai ke lutut yang sebelah kiri."

"Duh, biarin aja deh, El. Males gue berhadapan sama cewek-cewek nggak waras macam mereka." Angela mengikat ulang rambutnya dalam ikatan ekor kuda yang panjang. "Yang penting kalian nggak ikut mem-bully gue."

"Hihh… Kita kan bukan Karina, La. Santai deh!" Nikki merangkul bahunya.

Dan kata-kata Elena terbukti keesokan harinya.

***

Bab berikutnya