webnovel

Episode 1

Udara kota Bandar Lampung pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, maklum saja mulai dini hari tadi hujan dan baru berhenti jam 6.15 pagi. Meski sudah pake jaket tetap saja udara yang dingin bikin tubuh menggigil. Seandainya hari ini nggak ada kuis mungkin aku lebih memilih tetap dalam selimut di atas tempat tidur yang empuk, hehe.

Ricko! Semangat! Sip.

Namanya juga perjuangan menuntut ilmu, semoga aja niat belum berubah, zaman sekarang yang dicari ijazah, bukan ilmu, meski tidak semuanya begitu. Aku harus masuk kelas dan menjawab kuis dengan benar, banyak yang aku pertaruhkan. Kalau sampai nilai jelek lagi hari ini, pupus sudah harapan ambil konsentrasi hukum tata negara, hemm sudah dosennya jutek, pelit juga sama nilai. Kuis minggu lalu cuma beda dikit udah dicoret semua, menurutku cuma dikit bedanya, pertanyaan tentang lembaga mana yang berwenang mengawasi hakim, dengan sangat percaya diri aku jawab Komisi Yudisial, ternyata jawaban yang benar Mahkamah Agung, Bu Yenita, dosen yang mengampuh mata kuliah itu hanya tersenyum sinis melihat jawabanku. sangat ironi memang, pertanyaan yang tidak butuh nalar dan penjelasan, hanya menyebutkan nama lembaganya saja justru aku salah menjawabnya.

"kalau Komisi Yudisial wewenangnya mengawasi perilaku hakim yang berkaitan dengan etik. Secara umum yang punya wewenang mengawasi para hakim adalah Mahkamah Agung." Jelas Bu Yenita di depan kelas, ya seperti penjelasan pada umumnya, hanya saja ketika menjelaskan matanya tertuju pada muka ku, hemm sindiran terbuka yang lumayan memalukan. Kan cuma sedikit aja bedanya, meskipun secara substantif akan sangat berbeda, hehehehe.

Motor matik yang yang aku kendarai di tengah dinginnya udara melaju lumayan cukup cepat, mengingat jalan agak lengang, biasanya butuh waktu setengah jam dari rumah menuju kampus, itupun bila tidak banyak angkot yang berhenti semaunya. Tidak terasa sudah sampe simpang jalan Way Halim, meski jalanan masih sepi dan basah trafic light tetap normal seperti biasanya, beberapa kendaraan yang melintas traffic light kelihatannya tidak terlalu mempedulikan warna lampu apa yang menyala, semua terobos saja, tentu aku tidak ikut-ikutan, sebagai mahasiswa fakultas hukum sepertinya kurang pas saja menerobos pada saat lampu merah menyala, selain itu aku tidak terburu-buru juga. Beberapa puluh meter di depan, kampus Universitas Bandar Lampung tampak menjulang tinggi dan bersih, karena baru mandi semalaman. Tapi bukan kampus itu tujuanku, masih lumayan tiga kiloan lagi.

Jalan ini lumayan sepi meskipun jalan utama kota, bikin tambah nyaman ngegas motor kesayangan ku ini. Butuh beberapa menit, akhirnya sampe juga di kampusku yang tepat bersebelahan dengan terminal Rajabasa. Ya, mungkin sudah banyak yang mendengar nama terminal itu. Hampir pasti semua yang mengunjungi pulau Sumatera melalui jalur darat akan melintas di terminal Rajabasa. Konon terminal Rajabasa adalah terminal paling angker dan ditakuti. Meskipun menurutku sih biasa-biasa saja. Jadi ingat waktu masih SMA di semarang dulu, ada temanku dari Bali menceritakan angkernya terminal Rajabasa, menurut ceritanya semua preman terkemuka kumpul di terminal itu, aku hanya tertawa saja mendengarnya. hemm.

Gerbang Universitas Lampung agak masuk beberapa ratus meter dari jalan utama, jalan Zainal Abidin Pagar Alam. Gedung Fakultas MIPA akan menyambut setiap mahasiswa yang baru datang, maklum letaknya paling depan. Tapi aku bukan anak MIPA, aku anak Hukum, yang berkutat dengan undang-undang dan aturan-aturan, yang kadang bikin bingung sangking banyaknya. Tapi bukan berarti mahasiswa hukum nggak ada yang melanggar aturan, menurutku melanggar aturan adalah tabiat manusia. Sifatnya personal, dan tidak ada korelasinya sama bidang yang dipelajarinya, buktinya banyak juga yang tersandung kasus korupsi padahal di belakang namanya tercantum gelar Sarjana Hukum.

Kuparkirkan motor di parkiran, letaknya persis di samping gedung C. Pagi ini kampus sudah lumayan rame, motor dan mobil bergantian melewati jalanan dalam kampus yang rindang, dengan banyak pepohonan yang menjaga suhu udara tetap sejuk. Kalau siang hari dengan udara yang terik dan panas, pohon-pohon ini adalah tempat yang paling nyaman untuk berteduh, tapi kalau pagi hari habis hujan begini, justru pohon-pohon ini membuat udara semakin dingin saja.

"Udah siap kuis rick" sapa cowok yang memarkirkan motornya beberapa meter dari tempatku, Ardi namanya. Teman satu kelas, sama-sama semester 3.

"Oh, kamu di. Hemmm, siap banget sih enggak, tapi dibilang belum siap juga nggak. so, pede aja" jawabku sambil tersenyum, aku tidak terlalu akrab dengan Ardi, hanya saling menyapa ala kadarnya saja.

"Hahahaha, gaya lu. Dari dulu galau. Kapan ada jawaban yang pasti. Kasian si Nike nunggu-nunggu tuh." komentar Ardi dengan sedikit tertawa sinis.

"Apa kaitannya Nike sama galau" tanyaku penasaran.

"Yaelah ni anak, gak usah pura-pura lah. Lu sama Nike kan udah deket, dari Ospek kalau gak salah. Sekarang udah setahun lebih, status Nike belum jelas tuh. Kasian cewek jangan digantung. Kalau lu suka sama dia, tembak aja bro, kelihatannya sinyal dari Nike sudah jelas, pasti diterima." saran Ardi, tapi menurutku itu mirip pemaksaan, huft!

Anak ini agak aneh, masih pagi sudah ngomongin yang berat dan serius, lagian ngapain dia ngurus urusanku, itukan masalah pribadi. Jangan-jangan dia yang suka sama Nike? Dasar.

"Hemmmmm, emang kenapa? apa kamu juga suka sama Nike, kok nyuruh aku ngasih kepastian? kamu nggak ngantrikan di belakangku?" aku balik bertanya sambil bercanda.

"Gak lah. Diakan udah jadi gebetan lu. Gue bukan pagar yang makan tanaman bro, gue cuma mo ngasih tau aja, kalau lu suka sama dia lu ungkapin aja, biar semuanya pasti, gak ada yang digantung. cuma itu aja. Gue duluan ya." kilah Ardi menutup pembicaraan dengan terburu-buru, padahal aku belum sempat mengulik motifnya bicara begitu, terserahlah.

Yang pasti mukanya sedikit berubah setelah menjawab pertanyaanku tadi. Lagian ngapain juga dia pake minta aku ngasih kepastian sama Nike, pake nyuruh-nyuruh lagi. Ardi kan bukan ayahku, cuma sekedar teman sekelas. Dia juga bukan teman akrab Nike, ya aku tahu lah siapa-siapa aja teman dekat Nike. Akukan orang yang paling dekat sama Nike. Tapi memang kalau dipikir-pikir Ardi memang sering sok akrab sama Nike, atau memang dia suka sama Nike? Makanya dia minta aku ngasih kepastian. Tapi kan kalau dia suka sama Nike, dia bisa langsung sampaikan aja ke orangnya. Kenapa mesti melibatkanku? Apa Nike menolaknya? Atau Nike masih nunggu kepastian dariku? kelihatannya si Ardi ini yang merasa digantung sama Nike, bisa saja Nike masih nunggu aku nembak dia.

Hahahaha, pede amat. Nike adalah gadis cantik, smart dan kaya. Dengan penampilan fisik yang memang sudah cantik, ditambah lagi tajir, tentu tambah menunjang penampilannya. Selain itu dia cewek yang cerdas, hampir semua nilainya A, meski ada juga sih yang dapet B. Tapi dari caranya bicara ketika diskusi, sudah membuktikan dia cewek yang smart. Modal utama kuliah di hukum memang itu, harus pandai bicara dan mengolah otak agar yang disampaikan berbobot, sistematis dan logis, meskipun sebagian ada juga yang beranggapan justru itu nggak penting. Aku sendiri berpendapat pengetahuan itu tidak sebatas hafalan saja, tetapi harus mampu mengaplikasikanya, berbicara merupakan salah satu hal yang penting dalam mengaplikasikan pengetahuan, terutama tentang hukum. Bisa aku bayangkan seorang jaksa atau pengacara tidak pede berbicara, jadi waktu sidang gimana jadinya? susah menilainya, tapi sepertinya nggak pas saja bagi mahasiswa hukum nggak pede bicara.

Nike yang cantik, memang idola. Dengan reputasinya itu Nike adalah bintang kampus, bukan sekedar idola kelas ku saja, tapi kenapa aku tidak punya perasaan spesial sama Nike? Apakah karena dia bukan tipeku? Kok malah mikirin Nike, seharusnya aku fokus dengan kuis yang sudah ada di depan mata. ini gara-gara Ardi nih, ngilangin konsentrasiku saja.

"Ricko!" panggil salah seorang cewek berambut keriting. Apa yang bikin anak ini lari-lari dari tangga buru-buru begitu, pake teriak-teriak pula, tanpa teriak juga suaranya sudah bisa terdengar kok.

"Oh, hai Renita. Ada apa?" aku membalasnya sambil senyum, memang suaranya keras karena anak ini aslinya orang Batak, tapi hatinya lembut kok, jadi aku juga harus lembut menanggapinya.

"Kata teman-teman bu Yenita tak masuk. Jadi kuisnya diundur" ucapnya dengan volume suara yang masih sama.

"Oh gitu, jadi kita hari ini libur dong?" tanyaku lagi.

"Ya kayaknya, kan Cuma satu mata kuliah, oh ya, tadi kau dicari Nike, katanya ada yang penting sih." Renita memberitahuku.

"Oh, emang Nike dimana?"

"Tadi dia ada di kelas, sekarang mungkin ada di rerktorat, dia bilang mau ke sana. Aku cuma mau bilang itu saja, sedang buru-buru, dari tadi ku tunggu kau, lama kali kau sampai." tambah Renita.

Sesaat aku diam, sedang mikirin Nike, dia mencariku? Padahal hampir tiap kuliah kami ketemu, nggak biasanya dia begitu, sampe minta tolong Renita nyamperin aku begini, sepertinya ada hal yang benar-benar penting.

"Kalian harus bicaralah, demi hubungan kalian berdua juga, itu aja pesanku. Pokoknya kau temui dulu dia. Ok? Aku pulang duluan ya, aku ada janji soalnya." tambah Renita sambil tersenyum penuh arti. Dia membalikkan badannya dan hilang di keramaian mahasiswa lainnya.

Senyuman Renita mengisyaratkan bahwa dia mendukungku buat jadian sama Nike. Renita adalah sahabat Nike, sekaligus temanku. beberapa waktu lalu dia sempat cerita tentang perhatian Nike padaku, sekaligus menyingung tentang sifatku yang cuek dan dingin, sebenarnya bukan cuek dan dingin, hanya saja tidak ada perasaan yang spesial selain pertemanan.

Aku duduk sejenak di lobi gedung belajar di samping etalase pengumuman, beberapa mahasiswa lewat dan tersenyum, aku tidak terlalu peduli. Sekali lagi Nike menjadi pikiran yang mengusikku. Nike yang sempurna, bagi banyak cowok, pasti dengan senang hati bersedia jadi pacar Nike, seperti kata Wendi, mahasiswa FKIP, temanku waktu Bansos:

"hanya cowok gak normal yang tidak suka sama Nike"

Hahaha, aku tertawa dalam hati apa benar aku cowok tidak normal? jangan-jangan Wendy sengaja nyindir aku. Memang aku sekarang sedang jomblo, tapi waktu semester satu dan dua aku punya beberapa cewek kok, cantik-cantik juga. Ya, meskipun hanya untuk beberapa bulan sih. Tapi sejujurnya aku tidak tau apakah itu murni cinta ataukah itu hanya pelampiasan? Pelampiasan atas apa? Ataukah itu cuma kamuflase agar aku nyaman berteman dengan teman-temanku? kan gengsi juga sudah kuliah masih jomblo.

Kalau bicara cinta, aku pernah merasakannya saat aku sekolah dulu, ya, aku pernah pacaran waktu sekolah. Aku selalu memikirkan pacarku, maunya selalu ketemu, pisah beberapa jam saja, sudah rindu lagi. Malam juga kepikiran dia, pokoknya apapun yang aku lakukan dia selalu ada di pikiranku, aku nyaman ada di sampingnya, kami ngobrol tentang banyak hal, satu jam, dua jam, tiga jam terasa sangat singkat, ada-ada saja tema yang bisa jadi obrolan, mulai hal-hal kecil seperti kehilangan sendal, kehilangan kunci lemari, guru yang pemarah, tugas yang menumpuk, semua jadi bahan obrolan yang menarik. Pokoknya susah untuk digambarkan, aku sendiri menafsirkan bahwa perasaan itulah yang aku sebut CINTA, tapi perasaan itu tidak muncul ketika aku pacaraan selama kuliah, hanya identitasnya saja, begitu juga dengan Nike, aku nyaman berasamanya, hanya sebatas teman, tidak lebih.

"Rick, lu tuh cakep, smart dan suka senyum, senyum lu itu loh yang bikit gak tahan. Jangan heran banyak cewek yang suka sama lu." Itu komentar teman-temanku dulu waktu baru kuliah.

Kalau omongan teman-temanku yang jadi alasanku buat punya cewek, bisa dikatakan itu hanya iseng saja. Aduh, betapa memalukan dan nistanya diriku, menyakiti perasaan cewek, menjadi pacarnya hanya karena keisengan saja, bahkan hanya sebagai alat berkamuflase, kadang ku pikir perbuatanku benar-benar tidak bisa dimaafkan, tapi kalau harus jujur aku juga nggak tau gimana.

Meski begitu, hubunganku dengan beberapa cewek tidak terlalu buruk, dan mereka juga happy. Gak banyak masalah, aku bukan tipe cowok protektif, hasilnya pacarku beranggapan aku gak perhatian. Memang aku nggak terlalu paham jalan pikiran wanita, terlalu protektif salah, nggak protektif dianggap nggak perhatian. Huft. Lalu apakah aku jalani saja sama Nike seperti yang sudah-sudah?

Ini masalah perasaan, aku memang ingin agar rasa cinta seperti masa-masa sekolah dulu bisa tumbuh lagi saat ini, aku sudah beberapa kali pacaran selama kuliah, tapi emosi yang aku rasakan berbeda ketika sekolah dulu, sebenarnya aku sudah tau yang membuatnya berbeda, kenapa perasaan itu tidak muncul, aku sudah menguburnya bersama masa laluku, bahwa waktu sekolah dulu, pacarku seorang COWOK.

Ya, aku pacaran dengan seorang cowok. Apakah aku seorang gay? seorang yang mencintai sesama jenis? aku sendiri belum bisa memastikannya, itu adalah masa lalu,  umurku baru 15 tahun saat itu, dan aku bersekolah di sekolah asrama dimana semua siswanya cowok, dua puluh empat jam kami saling berinteraksi, tujuh hari seminggu, tanpa melihat seorang perempuan pun, kecuali mbok dapur, jadi bisa dikatakan itu hanya masalah lingkungan dan pergaulan saja, buktinya banyak alumni sekolah itu yang tamat dan hidup "normal" seperti keluarga lainnya. Banyak informasi yang beredar di sekolah itu yang mengatakan bahwa bila sudah tamat dan berbaur dengan masayarakat yang heterogen nantinya akan berjalan seperti biasa lagi.

Tapi apakah itu sudah bisa dipastikan? entahlah, perlu kajian dan penelitian ilmiah menurutku, agar kesimpulannya dapat dipertanggungjawabkan. Yang pasti, aku pernah pacaran sama cowok waktu sekolah, dan ketika tamat lalu kuliah di Universitas Lampung, aku pacaran sama cewek, namun perasaanku mengatakan bahwa masa pacaran ketika di sekolah dulu lebih indah dan lebih dalam. Bahkan, saat ini aku lebih tertarik melihat cowok ganteng ketimbang cewek cantik.

Apakah aku seorang homoseksual? kelihatannya waktu lah yang akan menunjukkan jati diriku, yang jelas aku tidak punya perasaan cinta itu lagi, baik sama cowok maupun cewek, perasaan cinta itu sudah dibawa oleh pacarku waktu sekolah, seorang laki-laki tampan, berkulit putih dengan rambut lurus, ya, sampai sekarang dia masih sering mampir dan nongol dalam mimpiku. Waktu yang telah memisahkan kami, keadaan, peraturan, dan kehidupan nyata yang menyadarkan kami, bahwa kami masih terlalu kecil untuk memahaminya. Dan ketika waktu itu menentukannya, aku telah mengambil jalanku, dan dia mengambil jalannya.

Selama ini aku sudah mencoba menguburnya, mengganggap itu hanyalah bagian yang pasti dihadapi oleh siswa-siswa yang pernah tinggal di sekolah asrama, sama halnya pernyakit gatal-gatal yang biasanya hampir dirasakan oleh seluruh santri-santri pesantren, sebagian besar maksudku. Penyakit itu akan hilang dengan sendirinya. Bukan maksudku menganggap kebiasaan itu penyakit, tentu tidak. Kehidupan di luar sekolah itu adalah kehidupan sebenarnya, dimana aku harus hidup seperti orang lain pada umumnya, tapi masalah perasaan, sulit untuk mengaturnya. Aku pacaran dengan beberapa cewek tapi perasaanku tidak utuh, apakah aku akan melakukannya lagi dengan Nike?

Oh God, jangan lagi! Aku tak akan melakukannya sama Nike, dia adalah sahabatku. Ya bukan hanya sahabat, lebih dari itu, Nike adalah sahabat terbaik. Aku tidak boleh menyakitinya, sebaiknya aku jujur saja padanya tentang perasaanku. Tapi bagaimana aku memulainya? Dengan mengatakan bahwa aku pernah pacaran sama cowok? Dan aku lebih nyaman sama cowok? Kelihatannya itu harus aku tanyakan pada diriku sendiri, apakah hatiku yang paling jujur mengatakan bahwa aku adalah gay? apakah perasaanku dulu hanyalah pengaruh lingkunganku saja?

Tapi sejujurnya ketika aku pacaran di sekolah dulu, meskipun dengan cowok, semua mengalir penuh ketulusan, kasih sayang dari hati, kerinduan yang timbul dengan penuh keikhlasan. Aku bingung, setidaknya aku harus memutuskan, untuk berbicara sama Nike tentang masa lalu yang telah aku kubur itu, tidak ada yang perlu disembunyikan, semua harus aku ungkap, setidaknya mengurangi sedikit bebanku, karena aku sendiri tidak tau apa yang harus aku lakukan saat ini.

Ku keluarkan HP dari kantong dan ku ketik sms ke Nike,

"Ke, kamu dmn? Ada waktu gak?" kukirim smsku.

Beberapa menit kemudian HP ku berdering. "sedang dijalan pulang, tadi dr rektort. Ada apa say?"

"Ada waktu gk? Bisa ketemuan di Artomoro nanti siang? Jam 1 kalau bisa" tanyaku lewat sms, semoga aja dia bisa, apalagi sudah lama nggak nongkrong di sana, kali aja ada film bagus kan sekalian bisa nonton.

Lama kutunggu sms belum juga dibalas. Yaudah, sebaiknya aku ke parkiran dulu ambil motor. Baru aja jalan tiba-tiba HP ku kembali berdering, ada sms yang masuk dari nomor yang tidak aku kenal.

"Ini No k Ricko ya? Aku Yudhi kk. Kemaren kita main tenis. Aku yang sempat pinjam raket kk"

Oh, aku ingat, kemaren sore waktu aku main tenis, ada yang pinjam raket. Jadi namanya Yudhi ya. Aku senyum sendiri mengingatnya. Sore itu aku sedang istirahat setelah satu jam bermain, aku ingat anak itu sedang melakukan forehand, dan senar raketnya putus. Jadi dia pinjam raketku. Kalau diingat-ingat lumayan cakep sih anaknya. Ouch! benarkan, aku lebih tertarik dengan cowok, hahaha. By The Way dia dapat nomorku dari mana?

"Oh, Yudhi ya. Ada apa y Yud?" balasku

Tidak lama Yudhi membalas "Nanti sore kk latihan lg gk? Bareng aja ya"

"Oke" balasku singkat, luman bisa cuci mata, ingat zaman dulu di sekolah hahahaha.

Setidaknya aku akan menjalani rutinitasku apa adanya, semuanya dari sekarang, mungkin akan banyak kegamangan yang timbul, yang penting aku harus menghadapinya.

"Aku gk bisa, ada acara keluarga". Bunyi sms lagi, sejenak aku bingung. Loh tadi katanya si Yudhi mau latihan bareng? Eh salah, ternyata sms dari Nike, Huh! ngarep sms yudhi kayaknya nih, siapa tau mungkin bisa tumbuh lagi perasaan yang dulu, wait? berharap bisa tumbuh perasaan sama Yudhi? artinya aku beneran gay dong? hehehe, liat ajalah nanti.

***************

Aku kembali mengubah posisi dudukku, agak kikuk juga. Nike duduk tepat di sampingku. Malam ini tidak ada bulan, langit sedikit mendung, untung nggak hujan. Jadi inget lagu "hujan di malam Minggu". Ya, malam ini adalah malam Minggu. Tapi cuma mendung, nggak hujan. Selain itu juga kami nggak pacaran, jadi nothing special,

Teras rumah Nike lumayan luas dengan taman bunga yang didominasi anggrek, sebagian besar anggrek itu aku tidak tau namanya, apalagi jenisnya. Rumah ini sepi, meski malam Minggu, karena hanya Nike anak satu-satunya dari pemilik rumah ini, karena dia masih jomblo, jadi gak ada yang ngapel. Masih musim juga ya ngapel, seperti zaman Siti Nurbaya aja. Memecah kebisuan aku membuka percakapan.

"Nggak ada yang mau datangkan?" tanyaku sebiasa mungkin, supaya suasana nggak terlalu serius.

"Nggak ada. cuma kamu sendiri. Emang kenapa?" tanya Nike, tatapan matanya tajam banget. Hemm bikin gregetan saja, tapi malam ini memang dia sangat cantik.

"Keke, aku boleh tanya gak. Pertanyaan serius sih." Aku memang biasa manggil Nike dengan nama kecilnya, Keke.

"Hem, seserius apa sih?" Nike menatapku. Aku sedikit ragu dan bingung, gak tau darimana mau memulainya.

"Hemm, tentang aku" aku mulai gugup dan berkeringat, keraguanku semakin menjadi.

Nike tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri, kesunyian yang tidak nyaman kurasa.

"Tentang kamu? emang ada apa?"

Aku menarik nafas dalam, mencoba bersikap biasa,

"Apa kamu ada rasa sama aku?" kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa terpikir lagi, apa yang sudah aku katakan. Benar-benar memalukan.

"Maksudmu? katanya mau cerita tentang kamu, kok malah nanya begitu? kamu mau ngerjain aku ya?" dengan senyuman getir Nike membalas pertanyaan anehku tadi, hemmm, inilah mengapa aku tidak boleh menyakiti perasaannya, dia terlalu baik, tapi beban dalam hatiku sudah tidak mampu dikontrol,

"Aku tidak bisa membalas cintamu ke, aku tidak bisa, karena kamu sahabatku." kembali kata-kata yang pahit itu keluar, apa yang terjadi, kenapa ini yang kuucapkan, bukannya seharusnya aku menceritakan semuanya? Kenapa aku tidak bisa jujur, Ricko! kamu memang payah.

Nike berdiri tertegun, mungkin dia tidak menyangka aku akan mengatakan ini, dia saja tidak pernah menyampaikan perasaannya, apa aku terlalu pede beranggapan dia menyukaiku? Tidak, memang dia mencintaiku, bukan hal yang sulit untuk memahami rasa cinta seseorang, ya aku merasakannya.

"Ya, aku memang sahabatmu kan. Tidak pernah lebih. Aku akan mendengar apapun yang sedang kamu pikirkan Rick, aku akan selalu ada buat keluh kesah mu, itulah kamu Rick" jawab Nike dengan tatapannya yang kosong. Tuhan, apa yang sudah aku katakan, kenapa jadi begini?

"Kamu tidak pernah memberi kesempatan buatku bicara, setidaknya cobalah kamu mendengarkan ku sekali saja, sebelum kamu ucapkan kata-kata yang menyakitkan itu" ucap Nike dengan begitu dingin, mulutku terkunci, tak ada satu katapun yang mampu keluar.

"Cobalah untuk bertindak, jangan terlalu banyak berpikir, setidaknya bersikpalah untuk tidak jadi pengecut" tiba-tiba Nike berbicara dengan nada yang nggak pernah aku dengar sebelumnya, apakah dia marah? Apakah dia tersinggung dengan kata-kata pahitku? Mungkin dia akan membenciku selama-lamanya, aku telah menghancurkan segalanya, mengorbankan persahabatan kami.

Aku tertegun, kata-kata Nike "tidak pernah lebih", membuat hatiku miris mendengarnya. Tuhan, beginikah rasanya? Aku tau Nike menyukaiku, hal aneh memang bagi cowok, begitu cewek yang mencoba mengungkap perasaan cintanya. Bagiku kata-kata Nike sudah mengungkapkan perasaannya.

Hemmm, aku tersenyum pahit. Tampangku benar-benar menyedihkan, ya, aku bukan cowok yang baik, aku bukan cowok yang bertanggung jawab, mungkin juga aku adalah cowok pengecut. Aku tau sejak lama, kalau Nike menyukaiku, menggangapku lebih dari sahabat. Aku juga tau kalau Nike menunggu saat-saat aku menyatakan cintaku padanya. Maaf, aku tak bisa memenuhi harapannya.

Aku tidak seperti yang dia pikirkan. Aku bukan cowok sempurna dengan semua pernak-pernik yang menghiasku. Aku tau Nike cewek yang begitu menarik di mata cowok-cowok pada umumnya, tapi aku berbeda, itulah yang akan aku ceritakan padanya, tapi aku mengacaukan segalanya. Agar setidaknya dia bisa move on, melanjutkan cintanya, mencari yang lebih tepat, atau lebih pas dikatakan untuk menghilangkan bebanku sendiri. Ya, aku kelihatan egois, memang aku egois.

Tanpa ada kata-kata, aku mulai berdiri menuju motorku, meninggalkan Nike yang masih meneteskan air mata, hanya satu kalimat yang terucap,

"Maaf ke, aku belum siap, aku memang pengecut."

Nike hanya diam membisu, tidak ada senyum, tidak ada jawaban. Aku memang cowok paling pengecut di dunia, benar-benar pecundang.

BERSAMBUNG

Bab berikutnya