Aku berbaring di atas ranjang yang tidak begitu besar, tapi lumayan untuk dua orang, sayangnya aku anak cowok satu-satunya, jadi kalau tidur hanya sendirian. Bukan berarti aku anak tunggal, karena aku punya kakak perempuan, yang sekarang bekerja di Jakarta, seorang calon diplomat, sesuai keinginan papa. Papa dan mama pasti sudah berangkat kerja, tanpa teman, rumah ini jadi begitu sepi. Perlahan kucoba membuka mata. Huft, kelihatannya mataku masih ingin tertutup, menyelami sedikit demi sedikit kenangan masa kecilku.
Namaku Ricko Aprilliando. Teman-teman biasa memanggilku Ricko, ada juga yang memanggil Ando seperti merek sandal saja, asal jangan dipanggil Aprilia, nanti kesannya jenis kelaminku absurd, (di fakultas hukum kata-kata absurd umum banget, biasa dipake buat menanggapi eksepsi di persidangan alih-alih jenis kelamin wkwkwkwkwk)
Ayahku seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, sedangkan Ibuku seorang guru di SMA Negeri 2, SMA favorit di sini. Tapi aku nggak sekolah di tempat itu, aku sekolah di sebuah sekolah asrama salah satu Kota di Jawa Tengah. Di sanalah kisah ini bermula. Aku masih ingat masa itu, 7 tahun lalu, ketika umurku masih 12 tahun. Papa yang mengantarku.
"Ricko Aprilliando... Nomor Induk 2509, Bandar Lampung, 1B" ketika namaku dipanggil oleh guru berambut cepak. Seorang pria yang masih muda, umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Belakangan aku baru tau kalau namanya Pak Romi, orang yang lumayan galak. Aslinya dari Pacitan, hemmm ternyata orang Pacitan ada juga yang galak.
Aku berdiri dan masuk dalam barisan yang sudah ditentukan oleh panitia penerimaan siswa baru. Tapi ada yang tidak biasa, yaitu bunyi "wuiiiiiiiiiiiiiissssssss" ketika aku berjalan menuju barisanku, padahal puluhan siswa yang dipanggil sebelumnya tidak mendapat sambutan itu, aneh.
Ternyata suara itu berasal dari gerombolan siswa SMA, siswa senior yang berdiri tidak terlalu jauh. Mereka tidak ikut pembagian kelas, hanya menonton saja, mungkin bagi siswa-siswa senior pembagian kelas siswa baru adalah tontonan menarik, aku tak tahu. Yang pasti bunyi "wuiiiiiiiiiiiiiissssssss" tadi tidak jelas apa maksudnya. Ejekan atau pujian? mungkin juga ada yang salah dengan pakaian yang aku kenakan? Entahlah. Tapi tahun-tahun selanjutnya aku baru paham maksudnya dan menjadi kenangan lucu, sebuah kesan pertama yang aku rasakan di Sekolah saat pembagian kelas.
Tridarma Boarding School adalah nama sekolah berasrama ini. Sebuah sekolah yang memiliki pendidikan pada jenjang SMP dan SMA secara berkelanjutan. Jadi semua siswa SMA di tempat ini adalah lulusan SMP ini juga. Bisa dikatakan pendidikan SMP dan SMA nya menyatu dalam satu kesatuan.
Sekolah ini bukan sekolah untuk agama dan golongan tertentu, semua golongan ada, ada anak petani, anak pedagang, anak buruh, anak pejabat rendah dan tinggi, bahkan konon menurut salah seorang yang baru aku kenal, ada anak kepala daerah dan menteri. Salut juga mendengarnya, hanya saja aku belum tau anak menteri itu siapa, baru sebatas informasi saja. Selain itu berbeda dengan sekolah berasrama yang kebanyakan bagi satu agama saja, di sekolah ini para siswa ada yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, bahkan ada yang atheis,
Sekolah asrama ini lebih mirip dengan sekolah asrama di Amerika dan Eropa, kurikulum yang digunakan juga berstandar internasional, maksudku berkiblat ke barat, jadi berbeda dengan banyak sekolah asrama yang berkiblat ke Timur Tengah. Dari sekian banyak perbedaan dengan sekolah asrama pada umumnya, ada satu hal yang sama, menjadikan sekolah ini tidak berbeda dengan sekolah asrama lainnya, yaitu semua penghuni sekolah ini berjenis kelamin laki-laki, kecuali mbok dapur, hahahaha.
Papa meninggalkanku dua hari setelah pembagian kamar, aku dapat kamar di lantai tiga. Kamar ini diisi empat orang anak, semua kelas satu, tapi beda kelas. Reno, asalnya dari Padang, kelas 1H seorang anak yang ceria, aku belum kenal dekat, tapi kelihatannya dia sedikit pelit, meski terlalu dini untuk menilainya, tapi isi lemari yang lumayan penuh dengan makanan, dan dia tidak pernah berbasa-basi untuk menwarkannya menjadi alasanku menilainya pelit. Tapi itu bukan masalah bagiku, kebetulan badanku tidak gendut dan aku juga tidak hobi makan. Di samping ranjang Reno ada ranjang Idris, siswa berambut keriting dari Ambon, sekilas menurutku dia adalah seorang muslim yang taat, setidaknya dia selalu sholat tepat pada waktunya. Idris anak yang periang, aku juga belum banyak ngobrol sama anak itu, hanya nitip air mineral waktu dia mau ke ruang makan.
Dion dari Malang adalah siswa kelas 1A, ranjanganya persis di sebelah ranjangku, anak ini adalah teman pertama yang kuanggap friendly banget, dan dialah yang memberikan informasi padaku bahwa ada anak menteri yang sekolah di sini. Dan aku sendiri kelas 1B. Masing-masing dari kami mendapat satu buah lemari yang cukup besar, satu set meja belajar dan kursi, dan satu ranjang ukuran untuk satu orang. Tidak ada televisi di kamar kami, bukan berarti kami tidak bisa nonton, karena televisi disediakan di ruang rekreasi di setiap asrama.
Asrama kami terdiri dari tiga puluh kamar, bangunan tiga lantai. Kamar mandi ada di setiap lantai, dan satu ruang rekreasi yang lumayan nyaman, dilengkapi empat set sofa, dan televisi ukuran besar, juga ada dispenser untuk air mineral. Di asrama ini juga memiliki satu ruang pertemuan, satu kantor dan dua buah kamar untuk pengurus asrama, tentunya kamarnya lebih besar dari kamar kami.
Dion, teman sekamarku yang menjelaskan tentang keadaan dan peraturan di sekolah ini, maklum saja kakaknya juga sekolah di sini dan sudah kelas 2 SMA sekarang.
"Jadi di sini ada empat belas asrama, setiap asrama terdiri dari delapan puluh sampe seratus dua puluh siswa, nah asrama kita ini adalah salah satu yang terbesar, karena khsusus untuk siswa baru." Jelas Dion suatu pagi, ketika kami masih merapikan lemari dan meja belajar kami masing-masing. Idris dan Reno ikut menyimak penjelasan Dion.
"Jadi semua anak baru ada di asrama ini?" tanyaku penasaran
"Tidak semua, kapasitas asrama kita cuma seratus dua puluh, anak barunya dua ratus tiga puluh, jadi ada seratus sepuluh anak lagi di asrama yang lain, tapi juga semua anak baru. Semuanya sudah disseting, jadi setiap kamar tidak boleh ada yang berasal dari satu daerah lebih dari dua orang, kelasnya juga diacak, agar bisa saling mengenal. Nah di setiap asrama itu ada pengurus asramanya, ada yang sepuluh ada yang empat belas orang." Sambungnya lagi.
"Kenapa harus diacak, menurutku nggak masalah satu kamar dari satu daerah" celetuk Reno sambil memasukkan semua baju dan celanannya ke dalam satu kotak lemarinya, terlihat begitu penuh padahal empat kotak yang lainnya masih kosong, apa mau diisi makanan juga sama anak ini, mungkin masih banyak makanan dalam tumpukan kardus yang belum dibukanya, kenapa gak buka warung aja sekalian.
Dion hanya menggeleng, seharusnya komentar Reno ditanyakan sama pengurus, bukan sama Dion. Ada-ada saja si Reno, lagian lebih asik tidak dicampur per daerah agar bisa berbaur. Atau dia memang nggak suka sekamar dengan kami, apalagi Idris selalu saja nanya-nanya jenis makanan yang ada di lemari anak dari Padang ini, haha.
"Asrama kita ini berapa pengurusnya" tanyaku mengabaikan pertanyaan Reno.
"Empat belas kalau nggak salah, kan jumlah siswa di sini seratus dua puluh orang" Dion menjawab sambil melipat kemejanya. Meskipun menurutku lipatannya acak-acakan, wajar saja, Dion tidak jauh berbeda denganku, ya dengan dua ratus tiga puluh siswa baru lainya, kami semua masih 12 tahun.
"Jadi kalau pengurus di asrama kita ada empat belas, semoga salah satunya jadi wali kelasku." gumamku malu, kan enak kalau pengurus asrama juga jadi wali kelas, kalau nggak betah ada tempat curhat. Idris dan Reno kelihatannya mengharap hal yang sama.
"Pengurus asrama itu bukan guru rick" potong Dion tiba-tiba.
"Pengurus asrama itu siswa kelas 2 SMA, mereka lebih tepatnya disebut senior gitu. Jadi selain mereka juga adalah siswa yang memiliki kewajiban belajar selayaknya siswa kelas 2 SMA, mereka juga pengurus asrama yang punya tanggung jawab membimbing anggota juniornya, kelas 1 SMP sampai 1 SMA." Dion mulai menatap kami dengan bersemangat.
"Oh jadi siswa senior gitu ya, kenapa bukan kelas 3 SMA?" tanyaku penasaran.
"Kalau kelas 3 SMA itu pengurus OSIS, di sini SMP nggak ada OSIS-nya. Jadi kelas 3 SMA menjadi pengurus di tingkat sekolah secara umum, kalau kelas 2 SMA hanya bertugas membimbing junior di asrama masing-masing, maka kelas 3 SMA menjadi pengurus untuk semua siswa dari kelas 1 SMP sampe 2 SMA. Jadi membawahi lima angkatan sekaligus." aku menyimak serius penjelasan Dion sementara Idris sedang menyusun buku-buku pelajarannya di atas meja belajar, sesekali dia berhenti untuk mendengar obrolan kami.
Sejenak aku perhatikan isi lemari Idris yang sudah hampir rapi, ada beberapa deterjen yang dimasukkan ke dalam botol air mineral, nggak tau buat apa anak Ambon ini memasukkkannya ke dalam botol? Tentu bukan buat diminum menurutku.
"Kalau kita ketahuan melanggar aturan sama pengurus OSIS, bukan kita saja yang dihukum, tapi pengurus asrama yang kelas 2 SMA di asrama kita juga akan dihukum oleh kakak OSIS. Nah, setelah menerima hukuman, kakak pengurus asrama akan menghukum kita juga, karena atas kesalahan kita, mereka juga kena sanksi, dianggap tidak becus membimbing anggota asramanya, jadi semacam garis komando dalam militer"
Aku terkejut mendengar penjelasan Dion. Hukuman? Aku tidak pernah membayangkan tentang hukuman sebelumnya, jujur saja hal itu tidak terbersit sedikitpun di pikiranku ketika papa menawarkan sekolah di sekolah ini. Aduh aku mulai ragu mau sekolah di sini. Kenapa mama dan papa memaksaku sekolah berasrama sih.
Aku sempat mau bertanya jenis hukumannya, tapi gengsi lah, nanti Dion menganggapku pengecut. Tapi kalau benar hukuman di sekolah ini sekeras itu bagaimana? aku mulai cemas.
"Oh jadi seperti militer ya, kata om aku kalau di militer itu hukumannya secara fisik, pernah juga anggota dipukul sampe gak bisa jalan. Berbulan-bulan loh bekasnya nggak hilang" Tiba-tiba Idris yang tadi hanya diam ikut nimbrung bicara, dia sudah selesai menyusun buku-buku di meja belajar dan sekarang sudah duduk di atas ranjangnya sambil menatap kami berdua, tapi kata-katanya barusan justru bikin aku tambah cemas saja. Kulihat Reno juga sudah mulai panik, dia juga sudah duduk di atas ranjangnya dengan mata yang tidak fokus, benar-benar kacau kalau benar kata Idris.
"Itu jenis hukuman di sekolah tentara, tidak sama seperti itu! Maksudku sistem komandonya seperti tentara, bukan hukumannya. Di sini tidak ada hukuman fisik, kalau ada pengurus OSIS yang pake hukuman fisik, justru pengurus OSIS nya yang dihukum, bahkan bisa sampe dikeluarkan, itu pernah terjadi tahun 2002. Sebuah skandal yang dibicarakan bertahun-tahun" Dion meluruskan, aku mulai lega mendengarnya. Dasar Idris ini, diam-diam tapi horor juga pikirannya.
Lagian juga kalau seandainya pake hukuman fisik kan bisa lapor ke guru saja, atau bahkan lapor polisi sekalian. Seperti di TV banyak kasus kekerasan di sekolah bisa dilaporkan.
"Jadi kalau pengurus asrama dan OSIS itu siswa, apa peran guru di sini? Masa cuma ngajar di kelas aja?" tiba-tiba saja rasa penasaranku terucap.
"Guru selain mengajar adalah pengasuh, di setiap asrama akan ada 1 orang pengasuh, tapi pengasuh tidak tinggal di asrama, mereka di rumah bersama keluarganya. Hanya saat ada masalah-masalah yang cukup besar yang tidak bisa diselesaikan oleh pengurus asrama dan OSIS, baru pengasuh yang turun tangan. Jadi pengasuh itu berperan sebagai orang tua kita selama di asrama." papar Dion.
"Terus bagaimana kalau kita melawan pengurus?" tanya Reno, kelihatannya dia masih ragu dengan penjelasan Dion tadi, mungkin dia masih percaya kalau ada hukuman ala tentara, atau mungkin dia juga takut seandainya pengurus asrama menyita semua makanan yang ada di dalam lemarinya itu, jadi sudah siap untuk melawan, hehehe.
Dion shock mendengar pertanyaan Reno, seakan baru saja ada yang melemparnya dengan balok kayu. Tapi dia tetap saja menjelaskan, memang orator ulung nih anak.
"Kalau melawan pengurus asrama atau pengurus OSIS, itu adalah pelanggaran terberat, jangan pernah mencoba berpikir kesana! apalagi sampe dilakukan, karena hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat. Artinya tanpa surat pindah." kami bertiga terperangah mendengar penjelasan Dion, pengurus OSIS ini luar biasa, tidak boleh dilawan.
"Sebenarnya, pengurus asrama dan OSIS itu bukan polisi, tapi itu proses pendidikan di sekolah ini, pendidikan kepemipinan dan tanggung jawab. Nanti kalau kita sudah kelas 2 atau 3 SMA kita juga akan jadi pengurus," jelas Dion.
Tiba-tiba aku menjadi tertarik dengan ucapan Dion barusan, Reno dan Idris yang tadi duduk di ranjangnya masing-masing mulai berdiri dan duduk di ranjang Dion. Ada rasa hangat yang mengalir pada diri kami, rasa hangat yang timbul karena suatu keingintahuan, terutama tentang pengurus OSIS yang hebat ini.
"Jadi nanti kita bisa jadi pengurus seperti kakak-kakak itu?' tanyaku semakin bersemangat saja.
"Tidak semua, maksudku. Hanya yang dipilih saja. Seperti angkatan kita ada 230 siswa, sedang pengurus untuk empat belas asrama hanya seratus dua puluh orang saja, artinya seratus sepuluh siswa tidak akan terpilih jadi pengurus asrama. Nah ketika kelas 3 SMA hanya enam puluh siswa yang terpilih jadi pengurus OSIS, artinya seratus tujuh puluh siswa akan "non job", itu istilahnya di sini bagi siswa-siswa senior yang gak dikasih jabatan pengurus." Aku, Reno dan Idris saling pandang, dan tampaknya punya harapan yang sama, yaitu jangan sampe "non job" deh.
"Bukan itu saja, dari enam puluh pengurus OSIS, hanya satu orang yang paling beruntung, dialah yang akan menjadi ketua OSIS, bisa dikatakan orang itu adalah siswa paling berkuasa di sekolah ini, seorang ketua OSIS berhak memilih seluruh pengurus OSIS, ketua OSIS juga bisa keluar masuk kampus seenaknya, bahkan seluruh kegiatan kesiswaan semuanya di bawah koordinasi ketua OSIS. Selain itu ketua OSIS dapat fasilitas istimewa, mulai dari kamar khusus, kamar mandi khusus, menu makanan yang khusus, pokonya semua serba khsusus. Ya meskipun tetap tidak selevel dengan guru, karena ketua OSIS juga seorang siswa, kalau ketua OSIS tidak bikin PR tentu saja guru dapat menghukumnya." Penjelasan Dion semakin mengagumkan, tapi susah juga membayangakan jadi ketua OSIS, artinya harus bersaing dengan 230 orang untuk 1 kursi.
"Apa syaratnya jadi ketua OSIS?" tanya Reno, kelihatannya pertanyaan Reno itu sudah mewakili aku dan Idris juga, ya siapa yang tidak mau jabatan istimewa, meskipun masih lima tahun lagi kami sampai kesana, itupun kalau kami betah di sini.
Dion diam sejenak, kelihatannya dia mulai capek, dari tadi menjelaskan panjang lebar. Dengan sigap Idris mengeluarkan botol air mineralnya dan menawarkannya pada Dion, yang langsung meminumnya. Aku sedikit menyipitkan mataku, apa botol itu juga bekas deterjen? kelihatannya bukan, soalnya tidak ada yang aneh setelah Dion meminumnya. Huh, aku suudzon lagi hahaha.
"Tentu proses seleksinya sangat ketat, selain disiplin, juga harus berprestasi, karena pengurus itu sibuk, maka kalau tidak pintar bisa-bisa pengurusnya gak naik kelas, bahkan tidak lulus SMA. Apalagi ketua OSIS, tanggung jawabnya besar, selain itu juga harus mampu berinteraksi dengan semua kalangan, agama, suku dan angkatan" Jelas Dion.
"Hah! tidak naik kelas? Kan pengurus, masa tidak ada pengecualian?" sela Reno dengan raut sedikit terkejut, kelihatannya dia sudah membayangkan jadi pengurus OSIS, hehe.
"Gak ada, urusan sekolah adalah urusan masing-masing, tidak peduli apa jabatanmu di sini dan siapa orang tuamu di rumah, semua sama. Sebagai pengurus, urusan kehidupan berasrama itu adalah tanggung jawab, sedangkan masalah sekolah itu kewajiban seluruh siswa yang sekolah di sini. Makanya kita terbagi dari kelas 1A sampe 1H. Jangan dikira itu asal bagi." Dion tiba-tiba saja nyerocos tanpa henti. Sementara raut muka Reno mulai masam, nggak tau kenapa.
"Kelas dibagi berdasarakan hasil ujian. Karena kita masih kelas 1, hanya diurutkan berdasarkan waktu pendaftaran saja, yang daftar duluan kelasnya A, yang belakangan kelas H, tapi harus lulus tes masuk dulu. Tapi kalau kelas 2 nanti, kita akan dimasukan ke kelas berdasarkan nilai kita, kalau nilai tinggi di kelas A, dan seterusnya. Makanya, ada istilah kelas A itu tidur-tiduran saja tanpa banyak belajar sudah pasti naik kelas, karena isinya orang-orang cerdas, sedang kelas H meskipun belajar sepanjang malam tanpa tidur belum tentu naik. Nanti juga akan dijelaskan dalam masa orientasi dalam beberapa hari ini" Dion tersenyum simpul sambil menatapku.
Reno beranjak dengan muka terlihat kesal, kelihatannya dia tidak suka dengan penjelasan Dion barusan. Aku baru ingat kalau Reno kelas H, aduh si Dion ini bicaranya tadi ceplas ceplos, apa dia nggak sadar mungkin Reno tersinggung.
"Nggak usah putus asa gitu Ren, kan aku udah bilang kalau kelas 1 bukan berdasarkan prestasi, tapi berdasarkan siapa yang daftar duluan, jadi meski kamu kelas 1H gak ada bedanya sama aku yang kelas 1A, cuma beda aku daftar duluan dan kamu belakangan." Dion buru-butu menambahkan.
Reno duduk di kursi belajarnya, dan dia mulai tersenyum, syukurlah Dion cepat menyadari perasaan Reno, nggak enak juga kalau ada yang tersinggung karena kami akan tinggal berempat dalam kamar ini setidaknya satu tahun.
"Kayaknya, di angakatan kita nanti kamu yang bakal jadi ketua OSIS, habisnya kamu paham sekali tentang struktur organisasi di sini." Aku memuji Dion sambil beranjak dari ranjangnya, Idris juga ikut berdiri sambil mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan pendapatku, kelihatannya Dion sudah lelah memberi ceramah panjang hari ini.
"Belum tentu," tiba-tiba Dion kembali berbicara membuat kami semua kembali menatapnya.
"Pengurus OSIS itu dipilih oleh Ketua OSIS atas persetujuan Kepala Sekolah," Dion menjelaskan lagi.
Ternyata yang memilih pengurus OSIS adalah ketua OSIS, semoga saja kalau Dion jadi ketua OSIS dia tidak menunjuk si Reno jadi pengurus, hahaha aku sudah menciptakan musuh nih, cuma becanda kok, mungkin asyik kalau kami berempat jadi pengurus semua. That's Cool.
"Tapi ketua OSIS sendiri dipilih oleh seluruh siswa kelas 3 SMA, seperti pemilu gitu, dan ada satu faktor yang sangat penting dalam memenangi pemilihan itu." Kata-kata Dion membuat kami penasaran, wow.
"Apa?" kami bertiga bertanya bersamaan.
"Kepopuleran." terang Dion, apa maksudnya?
"Kita harus populer maka banyak yang akan mengenal kita, ya seperti selebriti. Kalau sudah terkenal gak perlu lagi kampanye, atau menaikkan elektabilitas ala politisi."
Elektabilitas? Si Dion ini biacara apa? Eemang apa itu elektabilitas?
"Intinya terkenal, ya, banyak cara supaya terkenal, bisa secara negatif seperti jadi anak bandel, suka bolos, jadi anak yang paling jorok, paling rakus dan tukang tidur tentu semua orang akan mengenal kita, tapi tentu terkenal akan hal-hal seperti itu tidak akan menjadikan kita ketua OSIS, mana ada siswa yang mau dipimpin anak bandel, jorok, rakus, tukang tidur dan suka bolos." kami bertiga tertawa mendengar kata-kata Dion yang sangat cepat itu, hahaha, aku sendiri juga tidak akan memilih orang yang disebut Dion tadi, meskipun dia terkenal, ada-ada saja, emang ada orang seperti begitu.
"Jadi terkenal akan hal posotiflah yang dapat menjadi modal utama, selain harus banyak teman, tentunya kita juga harus menonjol dalam bidang tertentu, mungkin dalam pelajaran, dalam pidato atau juga dalam ekstrakurikuler." kami termenung mendengar cerita Dion, hemmm berat juga modal utamanya, kecuali yang negatif tadi.
"Tapi ada satu cara lagi untuk jadi terkenal. Dan itu adalah bawaan lahir." Dion terlihat lebih serius, aku terdiam, begitu juga Idris dan Reno. Suara nyamuk pun bisa terdengar.
"Dan Ricko, kamu sduah memiliki itu." tiba-tiab Dion memandangku dengan senyum jahil
"Maksudmu?" tanyaku masih belum mengerti, sementara Reno dan Idris malah bengong di tempatnya masing-masing tanda tak paham.
"Ya, kamu sudah populer. Kamu ingat pada saat pembagian kelas kemaren?" Dion balik bertanya.
"Ya" jawabku cepat
"Itulah bukti kamu sudah populer, begitu namamu disebut sesuatu terjadi," Jawab Dion sambil berjalan melewatiku, masih dengan senyum jahilnya, tanpa peduli lagi dengan apa yang masih membuatku bingung. Sementara Reno dan Idris mulai tersenyum pertanda mereka sudah mengerti maksud Dion. Mereka malah ikut-ikutin tersenyum jahil, jangan-jangan mau ngerjain nih?
"Terjadi apa?" tanyaku bingung. Dion tidak menjawab, begitu juga kedua temanku, semua kembali ke kursinya masing-masing dan bersandar di meja belajarnya.
Lalu mereka bertiga mengucapkan hal yang sama seperti hari pertama pembagian kelas,
"wuiiiiiiiiiiiiiissssssss"
Mereka tertawa terpingkal-pingkal membiarkan aku begong sendirian, sementara Dion bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu, sambil berbisik di samping telingaku,
"Sudah aku bilang kamu populer, Reno dan Idris saja paham, hahahahaha"
Aku hanya diam tak berkata, Dion terus saja berjalan meninggalkan kamar sementara aku dibuatnya penasaran. Dasar anak sok tau. Apa maksudnya aku populer. Aneh!
BERSAMBUNG