.
.
.
.
Aura gelap menyelimuti sekitarku. Mungkin ini yang membuat sebuah pemakaman tampak menyeramkan. Setelah selesai dengan autopsi jasad papa, kak Kiano menelponku untuk segera bersiap ke pemakaman. Karna terlalu lelah Fisik dan juga batin, kak Kiano memutuskan untuk langsung memakamkan jasad papa. Memang baik aku atau kak Kiano sangat terpukul dengan kejadian ini, namun kami tetap mencoba untuk tetap tegar dan kuat. Dan yang pasti akan aku selidiki seluruh kemungkinan yang ada.
Setetes air meluncur begitu saja tanpa kuminta. Membuat sebuah aliran sungai kecil di pipiku. Aku sendiri mencoba menahannya, tapi semua sia-sia. Kesedihan hatiku sendiri, juga melihat kak Kiano yang begitu rapuh membuat hatiku menjerit terluka. Hingga air mataku jatuh dengan segala kesedihan hati, meluapkan segala sesak di dada.
Selesai pemakaman semua pelayat mulai pergi, meninggalkan aku dan kak Kiano yang masih terpaku sambil terus memandang gundukkan tanah di depan mata kami. Aku menghela nafas pasrah, melirik kak Kiano dan menyentuh tangannya.
"Kak, ayo kita pulang?" Ucapku lemah sambil menatap kak Kiano sedih.
"Hm, ayo." Balas kak Kiano dengan suara seraknya, yang dapat ku simpulkan kak Kiano pasti menangis.
Aku melingkarkan tanganku ke lengan kak Kiano dan bersandar pada bahunya sambil melangkah keluar area pemakaman. Disaat seperti ini aku butuh sandaran, dan bahu kak Kiano adalah tempat ternyaman untukku. Ku lihat kak Kiano tersenyum menatapku, lalu menyandarkan kepalanya di atas kepalaku sampai kami masuk ke dalam mobil.
~~~~~~
Aku menjatuhkan tubuhku di sofa yang berada di ruang keluarga. Kejadian hari ini banyak sekali menguras emosiku. Hingga rasa lelah menyerangku, juga batinku. Sebuah suara menginterupsi kegiatan bersantaiku, ku lihat kak Kiano datang bersama seorang pria setengah baya mendekat ke ruangan ini. Aku bangun dan duduk dengan santai, lalu kak Kiano duduk di sampingku dan laki-laki itu duduk di sofa yang bersebrangan meja dengan kami. Ake mengernyitkan dahi, ada apa? Hanya itu yang ada di pikiranku saat ini.
"Selamat siang, saya adalah pengacara tuan Al. Saya hanya ingin memberikan wasiat beliau, yang beliau sampaikan beberapa hari sebelum kematiannya." Jelas pria setengah baya itu.
"Ah begitu, ya silahkan jelaskan apa wasiat papa kami." Balas kak Kiano padanya.
"Sebelumnya papa anda datang kepada saya dan meminta saya menuliskan permintaan beliau sebagai wasiat, dan ada 3 wasiat yang beliau sampaikan kepada saya.
1. Setelah kematian tuan Al, maka segala aset milik keluarga Almora akan beralih kepada putra pertamanya yaitu tuan Kiano Almora. Namun hanya 50% yang bisa di kelola oleh tuan Kiano, sisanya akan di berikan saat Kiano berusia 20 tahun. Aset keluarga Almora berupa perusahaan di setiap kota dan negara juga cabang-cabangnya, mobil perusahaan, serta toko dan mall.
2. Apabila Kiano sakit atau tidak mampu menjalankan tugas tersebut, maka segala aset tersebut akan pindah tangan kepada putri kedua keluarga Almora, yaitu Nona Kisha.
3. Putri keluarga Almora, yaitu Nona Kisha mendapatkan sebagian harta keluarga Almora berupa rumah, mobil pribadi, perhiasan, villa, hotel, dan apartemen yang sudah di atas namakan dengan kepemilikan Nona Kisha. Itulah wasiat yang beliau berikan kepada saya, dan apakah kalian menerimanya?" Jelas pria itu sambil menatap tegas padaku dan kak Kiano.
"Kami menerimanya." Jawab kak Kiano.
"Baiklah, tanda tangani ini dan semua asetnya akan beralih kepada kalian." Pinta pria itu lalu memberikan sebuah map berwarna merah dan sebuah pena.
Aku dan kak Kiano saling menatap, lalu kak Kiano mengambil map itu dan menanda tanganinya. Lalu menyerahkan padaku, aku mengambil pena itu lalu mencoret bagian bawah kertas itu. Setelahnya aku mengembalikan map itu kepada pria pengacara itu.
"Baiklah, terima kasih atas kerja samanya. Saya pamit. Dan untuk asetnya ada di ruang kerja papa kalian dalam berangkas. Dan ini kuncinya." Ucap pria itu sambil memberikan sebuah kunci emas, lalu kak Kiano mengambilnya dan pria itu pun pergi.
"Jadi, kakak akan bekerja?" Tanyaku penasaran.
"Ya, mulai besok. Sudah malam kisha, tidurlah!" Balas kak Kiano sambil menepuk pucuk kepalaku.
"Ah, iya." Jawabku lalu berjalan menuju kamarku.
Aku merebahkan diriku di queensize milikk, sambil memejamkan mataku-mencoba untuk tertidur- namun suara berisik dari smartphoneku mengganggu pendengaranku. Aku mengambilnya dan menekan tombol terima pada panggilan itu.
"Halo?" Sapaku malas.
"Halo, kisha? Ini aku Yuri, bisakah besok kita bertemu di kafe biasa?" Ucap suara dari smartphone itu.
"Baiklah." Balasku singkat dan dingin.
"Ok, aku tunggu ya. Bye-bye!" Ucapnya lagi dengan semangat.
Aku mematikan sambungan teleponnya, lalu kembali berbaring. Dan aku kembali teringat tentang apa yang akan Yuri bicarakan, dia pasti ingin mengajakku lagi untuk bergabung dengan organisasinya itu. Lalu aku harus apa?menerima atau menolak? Sungguh, jika aku menerimanya pasti akan sangat merepotkan. Dan bila menolakpun pasti Yuri akan terus mengejarku untuk mengajakku bergabung dengannya. Oh ya ampun, kenapa sulit sekali untuk tenang sedikit?
~~~~~~~
Segelas capucino ice di tengah hari memang sangat nikmat, sambil menunggu seseorang yang belum juga terlihat. Setelah 10 menit berlalu, seseorang yang ku tunggu pun datang.
"Maaf kisha, aku terlambat." Ucap Yuri, seseorang yang ku tunggu sejak tadi.
"Ya, tidak apa-apa. Lalu apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Balasku to the point, jujur aku sangat bosan sekali saat ini.
"Ah, aku tidak akan memaksamu bergabung denganku. Tapi, maukah kamu ikut denganku bertemu dengan seseorang penting?" Tanya Yuri sambil menatap penuh harap padaku.
"Ah, siapa? Apakah harus?" Balasku heran
"Sudah ikut saja, nanti juga kau akan tau sendiri. Bagaimana?" Ucap Yuri sambil tersenyum manis.
"Baiklah." Putusku akhirnya, daripada Yuri terus merengek agar aku bergabung dengannya lebih baik aku ikuti saja maunya yang satu ini. Tapi siapa yang ingin Yuri temui? Apakah sepenting itu sampai aku harus ikut?
Yuri tersenyum lebar, lalu berdiri penuh semangat dan menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku hanya menghela napas saja sambil terus berjalan mengikuti Yuri.
"sebenarnya kau ingin membawaku kemana?" tanyaku akhirnya setelah masuk ke mobilnya Yuri.
"lihat saja sendiri." balas Yuri sambil tersenyum menyeringai. Dan aku hanya menghela napas pasrah melihatnya.
Sudah hampir 20 menit mobil ini membelah kota, namun kemana sebenarnya ini? jalan ini asing dan terlalu sepi menurutku. Aku mulai merasa resah saat mobil ini memasuki sebuah gerbang yang tinggi menjulang, gerbang itu di buka oleh beberapa orang berpakaian hitan. mataku menyipit melihat luasnya tempat ini, bahkan amat sangat luas. Dari gerbang tadi butuh 5 menit untuk sampai ke pintu masuk gedung, bahkan gedungnya pun sekitar 30 lantai. Sungguh aku hanya bisa terpukau saat ini, dan aku sama sekali belum menyadari tempat apa ini sebenarnya.
.
.
.