webnovel

Yang dinanti Telah Kembali

Aku perlahan membuka mata. Rasanya pandangan begitu blur dan kepala terasa berat. Semua nampak sepi. Aku melihat jam, sudah pukul 22.30. Ya Allah! Aku belum shalat!

Aku bangun dan duduk. Rasanya badan begitu lemas sekali. Mata terasa bengkak dan aku merasa aneh, karena pintu kamarku terbuka lebar dan lampu ruang tamu masih menyala. Ketika aku akan turun dari kasur, aku terkejut bukan main ketika melihat ada seseorang di lantai.

Alif tengah tertidur di sana dan tangannya gemetar. Hanya alas karpet tipis tanpa bantal dan selimut.

Tentu aku segera membangunkannya.

Dia tak berkutik tapi mulutnya mengigau. Tak tahu kata apa yang dia ucap. Aku rasa dia begitu lelah. Dan takut mengganggunya, aku berikan dia selimut baru di lemari dan dengan perlahan aku menyelimutinya. Lalu aku pergi ke air.

Ketika aku akan pergi dari kamar, seseorang memanggilku setengah berbisik.

Ketika aku menolehnya, "bibi?" heranku, "bibi ada di sini?"

"Shutttt." Dia menarik tanganku. "Jangan terlalu keras, Alif baru saja tidur tadi."

"Ohh, baik bi." Aku mengangguk.

Ternyata aku baru tahu bibi sedari tadi menungguku di sofa kamar. Aku kira di kamar ini hanya ada aku dan Alif. Namun bibi berkata tidak. "Tadi ketika kamu pingsan, Alif begitu khawatir. Lalu pamanmu membawamu ke kamar," katanya, "ketika bibi akan meninggalkanmu di sini bersama Alif, dia malah menghentikan bibi. Katanya tak baik berduaan di kamar apalagi kalau belum ada ikatan pernikahan."

Aku terdiam. Berusaha mencerna apa yang dikatakan bibi.

"Bibi sudah jelaskan padahal, lagi pun dia hanya menunggumu di kamar. Tapi dia enggan. Dia meminta bibi untuk tetap di sini dan menunggumu."

"Setelah itu bi?" Tanyaku penasaran.

"Ya sudah bibi ikuti ucapannya. Dia meminta bibi untuk duduk di sofa sementara dia menunggumu di lantai hingga tertidur. Padahal bibi akan memberikannya bantal, selimut, dan kasur lipat. Tapi ia tak mau." Jawabnya.

"Lalu kenapa bibi tak menyuruhnya untuk tidur di kamar sebelah?"

"Sudah bibi paksa beberapa kali. Tapi dia tak mau, katanya dia terlalu rindu pada sahabatnya dan ingin menunggunya."

Aku terharu mendengar ucapan bibi. Mataku mulai memanas lagi. "Tapi dia sudah sholat Isya?" Tanyaku.

"Sudah. Entah apa yang ia katakan pada Allah. Ketika bibi melihatnya sekilas saat ia berdoa, dia begitu menangis sambil menyebut nama Reine. Bibi tak tahu apa yang ia katakan tapi sepertinya semua tentangmu." Bibi menjelaskan sambil sesekali mengusap air matanya. "Ceritanya nanti kita lanjut. Lebih baik kamu sholat dulu, lalu berdoa. Dan jangan lupa untuk terus mendoakannya yang terbaik."

Aku mengangguk seraya pergi meninggalkan kamar.

"Tentu bibi, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya." Ucapku dalam hati.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk wudhu, setelah itu aku menggelar sejadah di ruang tamu. Memohon segala ampunan kepada-Nya dan berharap apa pun  yang terjadi di sini adalah hal terbaik yang sudah ditetapkan-Nya.

Malam ini terasa sepi namun menghangatkan. Aku terduduk sembari kedua tangan mengangkat ke atas. Seketika air mataku mulai mengalir.

"Ya Allah, ternyata engkau begitu menyayangi hamba. Setelah penantian bertahun-tahun ini, engkau telah mengabulkan doaku. Engkau telah mengembalikan sahabatku, kehidupanku, harapanku, penantianku, kebahagiaanku, kau telah mengembalikan semuanya padaku. Terima kasih ya Allah." Aku tak bisa lagi menahan tangisan ini. Aku sebagai manusia merasa lemah tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa, yang kulakukan hanyalah beribadah dan berdoa kepada-Nya.

"Ya Allah, lindungilah orang-orang terdekat hamba. Ayah, ibu, bibi, paman, alif, dan semua teman-temanku yang aku kenali. Panjangkan umurnya, sehatkan badannya, lancarkan rezekinya, dan semoga kami semua bisa terus bersama baik di dunia mau pun di akhirat nanti." Aku terisak dalam keheningan.

"Ya Allah, maafkan semua kesalahanku, keluargaku, teman-temanku, saudara-saudaraku, dan semua umat muslim di dunia ini Ya Allah. Kami selalu berbuat khilaf kepadaMu, dan terkadang kami lupa bahkan tak sadar apa yang kami perbuat adalah sebuah dosa. Segera tegurlah kami jika berbuat salah Ya Allah, sesungguhnya kami ini hanyalah hamba-hambaMu yang sering berbuat dosa."

"Aamiin." Aku tiba-tiba mendengar ada seseorang yang menghampiriku lalu duduk di belakangku.

"Alif?" Kataku. "Kamu udah bangun?"

Dia tersenyum. "Kenapa berhenti? Ayo lanjutkan."

Aku tak mengerti. "Maksudmu?"

"Angkat kedua tanganmu," ujarnya, "ayo kita berdoa lagi pada Allah."

Aku mengangguk terharu. Lalu sejurusnya aku melihat Alif mengangkat kedua tangannya. Matanya mulai berkaca-kaca, dia tersenyum dengan tatapan penuh mengharap.

"Ya Allah, kabulkanlah semua harapan dan keinginan temanku ini. Beri dia kemudahan dalam berbagai urusan. Beri dia kebahagiaan dan kekuatan untuk menghadapi kehidupan. Jadikanlah dia sebagai wanita yang tegar, tangguh dan berpegang teguh pada agamaMu. Aku selalu mengharap yang terbaik untuknya. Kabulkanlah permintaan kami Ya Allah."

Aku menangis ketika mendengarnya berdoa. Matanya mulai memejam, sepertinya Alif akan mengatakan sesuatu lagi.

"Ya Allah, ampuni dosa-dosa hamba dan teman hamba terhadapMu atau pun pada orang-orang yang pernah kami kenali, baik kesalahan yang di sengaja ataupun tidak. Ampuni kami Ya Allah, sampaikan salamku pada kekasihMu."

"Aamiin." Aku mengusap kedua tanganku pada wajahku. Begitu pula Alif. Mata kami sama-sama sembab. Dia lalu membantuku membereskan sajadah, setelah itu kami duduk tak bergeming.

Selang beberapa detik, aku memutuskan bertanya padanya, "kamu sudah makan?"

"Sudah." Jawabnya.

"Tadi aku lihat kamu tidur di bawah, tanganmu gemetar, apa kamu baik-baik saja?"

Sejenak dia diam, lalu mengangguk mantap.

"Aku sama sekali tak menyangka kita bisa bertemu lagi setelah lima tahun."

"Apa kamu bahagia?" Tanyanya.

"Ya tentu saja." Aku mengusap air di ekor mataku, "aku, aku bahkan mengira ini mimpi."

"Maafkan aku Reine."

Aku heran, "untuk?"

"Maafkan aku, selama ini aku telah meninggalkanmu."

"Memangnya kamu dari mana? Kenapa saat itu kamu tidak menemuiku dan meminta pamit dariku ketika kamu akan pergi?"

Dia menghela napasnya berat. "Semua terjadi begitu cepat Reine. Apa kamu masih ingat saat kita pergi ke tempat itu ketika sore hari?"

Aku mengangguk.

"Aku tak menyangka itu hari terakhir kita bersama di sana. Setelah aku pulang, ternyata ayah dan ibu juga pulang. Aku merasa heran ketika ayah dan ibu membereskan semua bajuku. Mereka tak menjawab padahal aku sudah memberondonginya pertanyaan. Setelah selesai, mereka lalu membawaku pergi."

"Tapi kenapa kamu tak menemuiku dulu? Setidaknya kamu meminta pamit dariku," timpalku.

Aku mendengar suaranya gemetar menahan tangis. "Bagaimana aku bisa melakukan hal itu rein? Meninggalkanmu saja aku tak berniat melakukannya."

"Lalu?"

"Aku dipaksa masuk ke dalam mobil. Padahal aku enggan tapi ayah terus bersikeras. Tanpa angin tanpa hujan, mereka membawaku pergi. Aku melewati rumahmu, aku bahkan meminta orang tuaku untuk menghentikan mobil. Aku ingin meminta pamit darimu. Aku tak bisa menerimanya saat itu rein. Tapi...."

"Tapi apa?" Aku penasaran mendengar ceritanya.

"Saat itu aku tiba-tiba tak ingat apa-apa."

Dia menangis. "Maafkan aku."

Aku baru tahu cerita runtutnya ternyata seperti ini. Dan dari awal pula aku sudah yakin bahwa ini bukanlah kesalahan Alif. Aku yakin dia tak mau menyakiti atau bahkan meninggalkanku. Aku tahu dia tak akan melakukan semuanya karena dia lelaki yang berbeda, sangat berbeda dari lelaki di luar sana. Dan tentu pula aku akan mempercayainya. Hanya saja kedua orangtuanya... Ah entah, mungkin mereka memiliki suatu alasan untuk membawa Alif pergi.

"Tak apa Alif," aku berusaha menghiburnya, "kamu tak perlu minta maaf. Aku tak peduli karena yang terpenting... Kamu sekarang sudah kembali. Kehadiranmu saja sudah cukup membuatku bahagia. Maka dari itu aku mohon kamu jangan pergi lagi dariku, ya."

Dia segera mengusap air matanya. "Tentu rein, tentu. Aku tak akan meninggalkanmu lagi. Aku janji. Aku tak akan membuat sahabatku terluka lagi karenaku."

Hatiku seketika lega. Seakan ada angin lembut yang masuk ke dalam dada lalu mengobati semuanya. "Baiklah, untuk merayakan kebahagiaan kita kali ini... Aku bakalan kasih kamu kejutan."

"Wah kejutan? Sudah lama aku tak diberi kejutan. Kejutan apa?"

"Mari." Aku mengajaknya ke dapur. Setelah itu, aku menyuruhnya untuk duduk di meja makan. Aku mulai membuka kulkas, mencari bahan-bahan dan mulai mengirisnya satu persatu. Seperti bawang merah, cabai rawit, juga tak lupa memotong kecil-kecil sawi dan ati ampela.

Tanpa aku sadari, ternyata Alif sudah ada di belakangku.

"Wah! Ini kesukaanku! Sudah lama aku tak memakannya. Ini memang kejutan yang istimewa."

Aku tertawa kecil. "Tapi kamu suka kan?"

"Ya tentu, mari aku bantu."

Alif segera menyiapkan minyak di wajan, setelah itu dia memasukan irisan cabai, ati ampela, bawang merah, juga sawi ke dalamnya. Ketika aromanya mulai tercium, dia memasukan nasi secukupnya dan bumbu nasi goreng. Tak lupa menaburkan garam dan penyedap rasa.

Selang beberapa menit, nasi goreng ati ampela sudah masak dan segera aku memasukkannya ke dalam dua piring. Kami pun bergegas ke meja makan.

"Lho ko bisa kamu tak makan ini? Memangnya saat pergi kamu makan apa?" Ujarku membuka pembicaraan.

Alif mulai menyuap nasinya yang pertama. "Di sana membosankan, aku hanya makan bubur saja."

"Hanya itu?" Tanyaku meyakinkan. "Bukankah setahu aku kamu kurang suka makan bubur ya?"

Dia terkekeh. "Betul. Tapi ya terpaksa. Kadang juga makan sup ayam sih, tapi hambar saja rasanya."

"Oh ya?"

"Heem," dia mengangguk. "Makanya ketika aku makan ini, rasanya selera makanku kembali lagi."

Tak membutuhkan waktu lama, nasi goreng buatannya sudah habis tak bersisa. Dia segera pergi mencuci piringnya sesaat sebelum dia berterima kasih kepadaku. Aku hanya menatap punggungnya yang tengah sibuk mencuci piring yang tanpa sadar dia juga membawa piringku untuk ia cuci sendiri.

"Rasanya seperti mimpi." Batinku terus saja mengucap kalimat itu.

...

Assalamualaikum (:

Terima kasih sudah berkenan mampir(:

ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^

Salam

Bab berikutnya