webnovel

Senyuman Alif

Selamat membaca (:

...

Pagi ini, aku sudah bersiap memakai baju rapi. Tas, sepatu, uang, sudah aku siapkan segalanya sejak malam, sesaat aku akan kembali untuk tidur. Padahal langit masih sedikit gelap, udara dingin pun masih menyusup ke dalam tulang. Tapi entahlah, rasa semangatku terlalu membara hingga mengalahkan semua ini.

Aku akan kembali bekerja. Ya, kebahagiaanku sudah kembali datang, tak ada kekhawatiran yang harus aku nanti lagi. Hari ini pula aku sudah siap, siap dengan segala manis pahit yang akan aku lalui ke depannya.

Karena bersamanya, membuatku tenang menjalani kehidupan.

Segera aku menutup pintu kamar untuk bergegas meninggalkan rumah. Tapi entah kenapa, mataku seketika ingin melirik kamar yang sudah terbuka lebar itu. Aku merasa aneh, mulai mendekatinya, lalu memanggil sosok penghuni kamar yang memang sudah lama tak ditempati itu.

"Alif?" Aku panggil sedikit ragu.

Ku tekan saklar, ternyata kamarnya sudah tertata rapi, wangi pula. Aku mulai mencari sosok itu, tapi karena ukuran kamar yang memang tak terlalu besar, sudah dapat aku pastikan bahwa Alif tak ada di sana.

Aku cari ke dapur, barang kali saja dia ada di sana. Tapi setelah aku temui, ternyata dia tak ada. Pintu kamar mandi pun terbuka lebar. Aku mulai panik, keringat dingin juga mulai membasahi pelipisku, segera aku berlari membuka pintu depan.

Sayangnya aku tak melihat Alif di sana.

Seketika aku gelisah. Mulai membuka handphone lalu menghubunginya. Ketika aku tahu orang yang selalu meneleponku saat itu adalah Alif, dengan cekatan aku langsung menyimpan nomornya.

Panggilan pertama, tak ada jawaban.

Aku tak menyerah, di panggilan kedua juga, tak ada lagi jawaban. Aku coba panggil lagi, aku akan terus meneleponnya sampai dia mengangkat teleponku, kalau harus sampai 100 kali juga, akan aku lakukan.

Panggilannya masih berdering, aku mengaktifkan loud speaker agar terdengar keras jika nanti dia mengangkatku. Sebenarnya aku masih cemas, tapi sepersekian detik setelahnya aku dibuat terkejut ketika dering handphone Alif terdengar jelas di belakangku.

Aku segera menoleh, "Alif." Kataku begitu lega ketika mendapatinya tengah tersenyum lebar kepadaku.

"Ini," dia menyerahkan ponselnya padaku, "coba angkat sama kamu."

Sejurusnya dia tertawa puas melihat ekspresiku yang sepertinya terlihat bingung dan tak mengerti. Dia terus saja menertawai ku yang terpaku melihat gelagatnya yang aneh itu. Tapi tak lama, aku segera menyadarinya. Skenario fiktifnya sukses membuatku khawatir.

Aku melempar bantal kursi yang ada di depanku saat itu kepadanya.

Kaget sekaligus kesal.

Tapi melihat gelagatku ini, dia semakin puas tertawa. Terbesit dalam hati rasa bahagia melihat sahabatku yang satu ini. Bagiku dia begitu sempurna untuk seorang lelaki. Atas penantian yang lama ini, aku telah mendapatinya kembali. Senyumannya, tawanya, membuatku seakan kembali menikmati nafas yang telah lama terasa sesak.

"Jangan marah, Reine." Katanya sedikit cengengesan, "wajahmu itu merah sekali."

Aku seketika meraba kedua pipi. Panas.

"Tadi setelah shalat, aku memutuskan keluar mencari udara subuh. Rasanya segar sekali."

Dia kemudian terdiam. Aku segera mengambil ponselnya yang ia simpan di kursi. "Ini?" Kataku, "aku telah meneleponmu beberapa kali. Dan kamu sama sekali tak mengangkatnya."

Dia kembali tersenyum lebar. "Maafkan aku, Reine. Tapi kan kamu tahu sendiri, ketika aku tengah menikmati sesuatu, aku selalu menghiraukan apa pun yang ada di ponselku."

Aku menarik napas berat. "Baiklah. Tapi setidaknya beri tahu aku dulu kalau kamu mau pergi."

"Tentu. Maafkan aku yaa."

"Tak ada yang perlu dimaafkan."

"Kamu mau pergi ke mana?" Tanyanya ketika melihatku tengah membenarkan hijab.

"Oh," aku masih tak melihatnya, "kamu sudah mandi?"

"Sudah." Jawabnya cepat.

"Kalau begitu, mari ikut."

"Kemana?" Katanya.

"Ke tempat kerjaku."

"Apa?" Intonasinya ku dengar sedikit tinggi. Sepertinya dia terkejut. "Kamu jangan bercanda, Reine."

"Aku tak bercanda," sergahku. "Kamu harus ikut aku ke tempat kerja."

"Lagi pula untuk apa?" Jawabnya.

"Yaa temani aku saja. Maksudku," aku kembali memberikan ponselnya pada Alif, "kamu mau apa di sini kalau tak ada aku? Lagi pula aku tak akan membiarkanmu sendiri di sini."

"Tapi ada bibi Rein."

"Ya itu tak masalah. Aku takut nanti kamu pergi lagi."

Bibirnya kembali menyunggingkan senyum. "Oh jadi seperti itu...."

Aku memperhatikan rautnya yang nampak sedikit menyebalkan. Dia memang seperti itu, terkadang selalu membuat orang merasa bingung atas apa yang ia lakukan.

"Aku tak akan pergi, rein." Ucapnya tiba-tiba, "tadi aku hanya ingin menghirup udara segar."

Aku tak menjawabnya sama sekali.

"Aku akan di sini temani bibi, pergilah kalau kamu ingin bekerja. Lagi pula jam 9 nanti, aku ada urusan sebentar. Setelah itu aku akan kembali."

"Baiklah. Tapi ketika nanti aku menghubungimu, kamu tak boleh seperti tadi lagi, ya."

"Baik. Aku tak kan mengulanginya lagi." Dia menunduk sambil tersenyum, kemudian masuk ke dalam rumah.

Alif, kamu memang tak akan pernah berubah.

...

"Reine? Data kemarin apa sudah kamu kerjakan?" Ayssa menghampiriku sambil membawa beberapa berkas.

Aku sedikit meliriknya, "sudah. Aku sudah berikan juga pada ayahmu."

"Wahh kerja bagus!" Tangannya menepuk pundakku lalu mencubit pipiku, "kamu rajin sekali hari ini. Padahal baru pertama lagi masuk, semangatmu sudah berkobar."

"Harus, dong!" Kataku sedikit tertawa. "Ini juga untukku lagi."

"Benar, kalau saja kamu anak kecil. Sudah habis pipimu aku ciumi." Ujarnya dengan nada sedikit menggoda.

"Eits!! Tak boleh! Hahaha!"

Dia tertawa sambil sesekali mencubit pipiku. Entahlah, anak ini memang suka sekali mencubit pipiku. Katanya sih karna tembam. Tapi ya tak enak juga di aku, ketika dia merasa gemas, selalu saja aku yang menjadi korbannya.

"Ini, ada tugas lagi untukmu. Kata ayah kalau bisa hari ini beres ya."

Aku membuka berkas itu, kemudian mencermatinya tiap lembar. "Baiklah, hari ini akan aku selesaikan."

"Oke, nanti kalau sudah temui aku ya." Katanya sambil mencubit pipiku lagi, "kita akan makan siang bersama." Setelah itu dia berlalu.

Aku mengangguk sambil sesekali mengusap pipi yang terasa sedikit hangat.

...

Aku mulai memasukan beberapa data ke dalam komputer. Pada awalnya pekerjaan ini terasa sulit bagiku, karena sering sekali tak seimbang dengan data yang diperoleh di dalam berkas. Aku memang termasuk orang yang tak teliti, dulu sering sekali aku diajari oleh Ayssa bagaimana cara membuat atau menyalin data dengan benar. Tapi lama kelamaan, aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Angka nol yang sering kali tertinggal satu sekarang sudah tak lagi seperti itu, jadi aku pun menyelesaikannya bisa sedikit cepat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00, tak terasa pekerjaanku akan segera selesai. Aku melirik ponsel, dan mendapati pesan WhatsApp yang telah aku terima satu jam yang lalu. Karena penasaran, tanganku mulai membuka ponsel, dan melihat, ada nama Alif yang tertera di paling atas di antara semua chat yang aku terima.

Assalamualaikum, Reine.

Aku akan pergi sebentar. Aku juga sudah meminta izin pada bibi dan paman. Dan oh, maaf tadi aku lupa tak menyuruhmu makan. Aku tahu kamu belum sarapan pagi hari ini. Kamu pasti lapar kan? Coba minta izin dulu untuk keluar sebentar mencari bubur atau pun makanan pengganjal lainnya. Bekerja tanpa makan itu tak akan membuat kita fokus. Maafkan aku, aku sampai lupa mengingatkanmu soal itu.

Kamu jangan khawatir, aku akan kembali sebelum kamu pulang.

Tak terasa bibirku menyunggingkan senyum sedari tadi. Rasanya kalimat ini membuatku begitu tenang. Rasa lapar yang memang aku rasakan dari tadi, pun hilang entah kemana.

Aku segera membalas pesannya.

Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, nanti sebentar lagi aku akan makan bersama teman kantor. Kamu tak usah khawatir lagi.

Aku segera menutup ponsel kemudian kembali pada layar komputer.

Dan dari sudut mata sana, aku melihat seorang pria yang hendak masuk ke dalam kantor. Aku tak menghiraukannya, lagi pula pekerjaan ini membuat mataku terus saja tertuju pada monitor.

Aku masih bergelut di sini, sedikit lagi selesai. Tapi hidung ini seketika menangkap aroma yang sepertinya tak terasa asing bagiku. Nampaknya dia telah melewatiku. Aku menoleh ke arahnya untuk memastikan siapa pria itu, namun wajahnya sama sekali tak terlihat karena dia tengah mengobrol dengan atasan. Aku seketika mengangkat bahu. Lagi pula untuk apa aku mencari tahu.

Dering ponsel seketika membuyarkan konsentrasiku. Dengan segera aku langsung mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Reine." Ujarnya di seberang sana.

"Waalaikumussalam. Iya Ayssa?" Jawabku sambil jari jemari terus menekan keyboard komputer.

"Kamu sudah selesai?"

"Sebentar...." Tukasku sedikit mempercepat, "alhamdulilah beres."

"Alhamdulillah. Kalau begitu kamu ke sini ya. Data yang sudah kamu salin simpan saja di flashdisk nanti berikan kepadaku."

"Siap Ayssa laksanakan."

Kudengar dia sedikit tertawa. "Baiklah, aku tutup ya teleponnya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Eh-"

Baru saja aku akan bertanya, dia sudah mematikan telepon. Anak ini memang benar-benar jahil. Selalu saja seperti itu. Dengan dalih 'katakan saja langsung, tak usah lewat telepon' yang membuatnya terlihat seperti orang sibuk, padahal yang aku tahu dia tak sesibuk itu.

Aku segera membereskan berkas lalu menyimpannya ke dalam laci pribadi. Menyalin data ke dalam flashdisk lalu mematikan komputer. Tak lupa meja, kursi, aku rapikan dan mengelapnya dengan kanebo. Setelah terlihat rapi, aku segera menuju ruangan Ayssa.

Ketika sampai di pintu ruangannya, aku dengar Ayssa tertawa kecil di sana. Aku langsung mengira bahwa sepertinya ada seseorang bersamanya. Segera aku merapikan pakaian kalau- kalau saja orang yang tengah bersamanya adalah atasanku. Sedikit gugup aku mulai mengetuk pintu, yang kemudian sepersekian detik suara pintu mulai terbuka. Dan Ayssa sudah ada di depanku.

Dia tersenyum.

Aku membalas senyumannya kemudian memberikan flashdisk ini kepadanya. Dia segera mengajakku masuk dan duduk di depan meja yang penuh dengan banyak cemilan.

Ketika masuk, aroma ini kembali menusuk hidungku. Namun aku tak mempertanyakan ini lebih jauh, mungkin saja aroma parfum ini milik Ayssa.

"Sebentar," katanya sambil menyimpan flashdisk itu di dalam tasnya. "Aku rasa kamu mengerjakan ini sambil marathon ya?"

Aku tertawa. "Ya mana mungkin aku bisa melakukannya?"

"Ya lagian kamu cepat sekali menyelesaikannya."

"Sudah biasa." Kataku sambil sesekali membuka ponsel. Dan beberapa menit kemudian, ada notif baru yang muncul. Aku yakin itu Alif. Setelah aku lihat, ternyata benar.

Aku sudah pulang. Kamu jangan lupa makan ya.

Selalu saja seperti ini. Aku tersenyum setiap kali membaca isi chatnya. Entahlah, mungkin menurut orang lain ini hal biasa. Tapi bagiku, semua ini begitu luar biasa.

Baiklah. Jangan lupa istirahat juga.

Kemudian aku menekan enter.

Mataku masih terus saja membaca pesan yang dikirimkan Alif. Bahkan aku sampai mengulanginya beberapa kali. Ini memang terasa mimpi. Karena beberapa hari kemarin, semua ini memang belum terjadi. Dan aku... Tidak pernah menduganya sama sekali.

Benar, kuasa Allah tidak akan ada yang pernah tahu. Setelah penantian lima tahun ini, Allah telah mengabulkan semua do'a dan harapanku.

"Reine?" Aku sedikit tersentak ketika Ayssa menepuk pundakku, "ayo makan?" Lanjutnya lagi.

"Oh." Aku lantas berdiri, "ayo."

"Sebentar," katanya sambil menahan tanganku, "ada yang kuajak ikut makan bersama kita."

"Oh ya? Siapa?" Tanyaku.

Aroma ini kembali lagi menusuk hidung dan sepertinya baunya semakin mendekat. Aku dan Ayssa segera menoleh ke arah bau itu, ternyata benar dugaanku. Aroma ini memang pernah aku temui beberapa hari yang lalu.

"Aku mengajak kakak makan bersama kita." Ujar Ayssa dengan bibir menyunggingkan senyum kepadaku. Aku tahu, dibalik senyumannya itu, ada pesan tersirat yang membuatku langsung menyadari bahwa semua ini adalah permainannya.

"Boleh, kan?"

Aku terkejut, apalagi ketika Ayssa tak memberiku ruang untuk berbicara, dan langsung menarik tanganku yang mana diikuti oleh kakaknya itu dari belakang.

Lagi-lagi, aku telah terjebak oleh rencananya.

"Ayssa?" Kataku sedikit berbisik, "kenapa kamu tak memberitahu dari awal?"

"Karena kalau aku memberitahumu dari awal, aku yakin kamu tak akan menyetujuinya."

Aku terdiam. "Benar juga."

"Nah kan." Katanya sambil tertawa.

Aku dan Ayssa sudah berada di samping mobil. Sementara pria itu segera masuk dan menyalakan mesin. Aku melihat Ayssa membuka pintu mobil bagian depan, sementara aku langsung membuka pintu mobil bagian tengah. Ketika aku akan masuk, Ayssa menghentikanku dan malah menerobos masuk lalu menutupnya. Dia segera membuka kaca mobil dan berkata, "kamu duduk di depan bersama kak Hamzah."

Aku terkejut bukan main. Seketika ludah seakan batu yang terasa sangat keras untuk aku telan.

...

Assalamualaikum (:

Gimana lanjutannya? Semoga ga bosen ya menyelami kehidupan yang sepertinya cukup rumit ini hehe,

ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^

Phir Milenge

Salam

Bab berikutnya