webnovel

Stars Elite

Penulis: Hasan_Danakum
Sci-fi
Sedang berlangsung · 82K Dilihat
  • 32 Bab
    Konten
  • 4.9
    10 peringkat
  • NO.200+
    DUKUNG
Ringkasan

Di galaksi ini, planet maju ingin mencapai puncak tertinggi lalu mendapat gelar planet terkuat. Tak sedikit dari mereka beraliansi untuk menjajah planet yang lebih miskin tapi kaya akan sumber daya. Aliansi-aliansi besar berperang untuk merebut daerah kekuasaan ketika mereka terlibat dalam sengketa. Sebuah kelompok yang menamai diri mereka sebagai Aliansi Kebebasan merupakan kelompok yang berisi berbagai macam makhluk dari berbagai planet pula. Mereka satu ideologi di mana setiap planet mempunyai hak bebas tanpa gangguan dari para penjajah. Aliansi ini membantu planet yang sedang dijajah dan jadi musuh alinasi-aliansi besar. Ketika seorang pemuda dari planet bumi bertemu dengan salah satu anggota Aliansi Kebebasan, dia mengetahui takdirnya untuk mendamaikan galaksi ini.

tagar
3 tagar
Chapter 1Panggilan Jiwa

Di ujung galaksi nan jauh, terdapat planet berkembang. Planet ini dulu sempat dijajah oleh planet lain. Namun akhirnya planet ini bisa mengusir penjajah yang sudah menjajah selama lebih dari lima ratus tahun. Makhluk planet ini disebut dengan manusia. Sumber daya di planet yang disebut Bumi ini cukup melimpah. Setelah bebas dari penjajah, presiden planet ini langsung mengambil alih sumber daya planet ini agar bisa dinikmati oleh semua negara. Planet ini hidup makmur.

Namun tetap masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menengah pun ada. Seperti di desa yang tandus ini. Desa Lura namanya. Di sini warganya bekerja sebagai penambang batu bara. Sudah sejak lama warga desa ini bekerja sebagai penambang batu bara. Bahkan desas-desus mengatakan warga sini sudah menambang sejak zaman penjajahan dan turun temurun diwariskan ke pada anak cucu mereka. Sehingga mereka dijuluki si ahli menambang. Walaupun di zaman sekarang anak-anak mereka banyak yang merantau ke planet lain. Jadi tinggal menghitung waktu gelar itu akan luntur bagi warga desa Lura.

Malam sudah datang. Semua warga sudah masuk ke rumah mereka masing-masing yang terbuat dari tanah liat. Lampu yang cahayanya remang-remang pun menerangi di setiap rumah. Umumnya, rumah mereka bertingkat dan berbentuk persegi berderet-deret saling berdekatan. Pintu yang terbuat dari kayu, dan kadang mereka menggantung tanaman hias di jendela mereka. Memasak mereka masih menggunakan tungku dan kayu bakar. Jendela mereka tetap menggunakan kaca yang mereka beli dari pusat kota.

Jika musim dingin tiba, mereka menyalakan tungku pembakar untuk menghangatkan tubuh. Musim dingin di daerah sini bukan musim salju ataupun musim hujan. Melainkan hawa dingin yang menusuk tulang. Terutama ketika malam. Warga yang tinggal di kota mereka mempunyai alat yang bisa mendinginkan atau menghangatkan ruangan. Jadi ketika musim dingin, mereka menyetel alat agar bisa menghangatkan ruangan. Jika musim panas sebaliknya. Daerah ini sebagian kecil daerah di negara beriklim tropis. Jadi mustahil ada salju.

Meja belajar kayu yang diletakkan di sudut kamar minimalis dengan satu jendela ini, seorang lelaki sedang duduk sambil menulis sesuatu. Wajahnya kalem dan rambutnya agak panjang sedikit, matanya tajam dan dagunya yang berwibawa, serta perawakannya yang sedang, sibuk membolak-balik kertas. Dia kemudian berdiri dan menghampiri jendela lalu memandang ke atas langit gelap yang dipenuhi oleh bintang.

Dalam pikirannya dia membayangkan betapa luasnya galaksi ini. tempat terjauh yang pernah dia kunjungi ialah planet Sabarki tempat temannya tinggal yang jaraknya 50 tahun cahaya. Ditempuh dalam waktu dua jam menggunakan pesawat luar angkasa umum dengan akselerasi empat kali lipat. Jadi, jika mesin diakselerasi satu kali, maka kita akan bisa menempuh jarak 12,5 tahun cahaya hanya dengan waktu 30 menit.

"Seberapa luas galaksi ini?" dia bertanya dalam hati.

Kemudian dia kembali duduk dan merapikan kertas-kertas yang dia bolak-balik tadi lalu dia tertidur lelap. Esoknya dia bergegas bangun untuk memulai aktivitas yaitu bekerja di tambang. Hari-hari seperti biasa. Bertemu dengan teman satu pekerjaan yang rata-rata adalah para bapak-bapak yang kadang suka menggodanya kenapa masih bekerja di tambang. Pengap dan panasnya gua tambang membuat semua pekerjanya melepas baju mereka. Sehingga keringat yang bercampur dengan tanah kotor menghiasi kulit tubuh mereka. Lampu penerang hanya lampu listrik yang ditanam di sepanjang pinggiran sisi gua. Walaupun terang, namun jika lebih masuk ke dalam, udara akan semakin menipis. Jadi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bekerja di kedalaman gua tambang yang sangat dalam.

"Nak, berhentilah kau bekerja. Pergi ke galaksi nan luas di sana. Jangan seperti kami," kata seorang bapak berbadan tambun yang memakai kaca mata.

"Nanti lah. Saya masih pikir-pikir lagi," jawab dia.

"Ayolah Darma," bapak itu mendekat. Darma hanya diam saja sambil lanjut menggali.

"Kamu sendiri sudah bisa bahasa galaksi?" tanya bapak tersebut kemudian.

Darma masih diam.

"Eh, dia itu selalu juara. Kau tidak tahu ya dia pernah menjuarai lomba pidato pakai bahasa galaksi di planet Sabarki?" tanya seorang bapak yang lain.

"Mana aku tahu," balas bapak yang berkaca mata

"Ayolah kalian jangan bicara yang aneh-aneh," kata Darma kemudian.

Malam hampir tiba. Darma pulang untuk mengistirahatkan diri. Mandi air hangat dan santapan makan malam ditemani seorang wanita yang sangat dia cintai. Ibunya. Wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu dan bertubuh agak gemuk ini selalu menemani Darma ketika makan malam. Selama makan mereka membicarakan banyak hal.

Saat mencuci piring kotor, Darma kembali melamun. Sebenarnya dia ingin sesuatu yang baru. Bosan dia terus-terusan bekerja di tambang. Lagi pula, sudah banyak orang yang merantau ke berbagai planet di galaksi nan luas di sana. Dia ingin melihat banyak makhluk dari planet lain. Selama ini dia hanya menyaksikan tayangan di televisi tentang liputan di planet lain.

Di lain kesempatan, Darma mengutarakan niatnya kepada ibunya bahwa dia ingin pergi merantau ke planet lain. Tentu saja hati ibunya senang karena dia kini menempuh jejak ayahnya. Walaupun ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja di planet tempatnya bekerja. Tidak ada yang bisa di salahkan. Ayahnya memilih planet miskin yang keamanan kerjanya agak minim.

"Besok izin kerja. Kamu temui seorang agen di kota. Dia kenalan ayahmu. Namanya Sumandi. Kantornya ada di pusat kota dekat dengan gedung pemerintahan. Pokoknya kamu tanya saja Sumandi. Semua orang akan kenal siapa dia," kata Ibunya.

Esok harinya Darma ke kota. Perjalanan ditempuh hanya satu jam menggunakan bus. Awalnya dia ingin menggunakan pesawat C6-20 di mana pesawat komersial ini begitu kecil hanya menampung sekitar sepuluh orang beserta pilot. Bentuknya segi tiga dan lepas adas secara vertikal. Jadi lebih efisien jika ini turun di mana saja. DTapi arma tidak jadi naik pesawat itu karena ketinggalan jadwal. Jadi dia naik bus.

Hiruk pikuk di kota sungguh berbeda ketika di desa. Kota bernama Bursa ini adalah kota yang kecil. Namun kota ini jauh lebih maju ketimbang desa Lura. Jalanan mulus, gedung-gedung tinggi saling berdekatan seolah mereka sedang berlomba mana yang paling bisa menyentuh langit. Di atas banyak sekali hilir mudik mobil terbang. Di darat, juga ada mobil. Yang bisa terbang, dan yang tidak bisa. Darma pergi ke salah satu gedung kantor dekat gedung pemerintahan. Dia masuk dan menemui resepsionis lalu mengatakan kalau dia ingin bertemu dengan Sumandi. Setelah berapa saat, Darma dipersilakan naik ke lantai paling atas menggunakan lift dan memasuki ruangan direktur.

Saat masuk, seorang pria berkulit gelap memakai jas warna abu-abu sedang sibuk memeriksa berkas. Ketika melihat Darma, dia mempersilakan duduk di sofa.

"Silakan duduk silakan," ucapnya dengan ramah.

Darma menunduk malu-malu. Tanpa basa-basi, Darma langsung mengutarakan niatannya.

"Ah! Jadi kamu mau kerja di bidang apa?"

"Mungkin tambang saja, Pak," jawab Darma singkat.

"Ah! Janganlah. Ayahmu dulu juga di tambang. Masa kau mau di tambang lagi?"

"Dari mana Bapak tahu?"

"Ibumu menelepon saya dan sudah diceritakan semua."

Darma mengangguk.

"Begini. Saya turut berduka cita apa yang menimpa ayahmu dulu. Dia sangat pekerja keras sekali. Untuk itu lah aku tidak akan merelakan kau kerja di tambang lagi. Itu membuatku sedih, nak."

"Terus saran Bapak apa?"

"Bagaimana kalau kau kerja di stasiun luar angkasa? Kebetulan sedang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Aku akan masukkan kau ke bagian kebersihan. Bagaimana?"

Darma diam.

"Ayolah. Gajinya juga cukup besar. Kau bisa menyisihkan sebagian gajimu untuk ibumu."

"Soal biaya bagaimana?"

"Ah! Itu tak perlu kau pikirkan. Aku beri gratis. Bahkan ongkos ke sana aku yang tanggung."

Darma melihat wajah Sumandi dengan serius.

"Dengar. Anggap saja ini sebagai tanda aku menghormati ayahmu. Sungguh aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin dia tenang di alam sana."

Darma mengangguk.

Sumandi loncat dari tempat duduknya dan berjalan menuju mejanya lalu mengambil selembar kertas.

"Isi formulir ini," katanya.

Darma kemudian mengisi formulir.

"Kamu boleh keluar dari kerjaanmu. Dua hari lagi, kamu akan dibekali pelatihan soal kebersihan."

Darma pulang dan memberi tahu kabar ini kepada ibunya. Tak banyak ambil waktu, dia langsung memberi surat pengunduran diri ke bagian personalia dan mengambil sisa upah. Kemudian dia pamit kepada ibunya. Dengan penuh haru Darma meninggalkan desa. Bukan hanya desa, tapi dia akan meninggalkan planet tempat dia dilahirkan. Dia juga berjanji pada ibunya akan kembali dan tidak akan kenapa-napa seperti ayahnya.

Tiga bulan Darma dibekali ilmu tentang kebersihan. Selama itu pula dia mengenal orang-orang baru di tempat karantina. Suasananya sungguh nyaman. Para pelatih pun sungguh profesional dan didatangkan dari penjuru galaksi.

Bersambung...

Anda Mungkin Juga Menyukai