22 September 1274 AG - 09:30 Am
Pusat Perdagangan Kota Tigris.
—————
"Mereka sedang apa, Ravioli?"
"Kami menggunakan limbah gendirobe untuk membuat benda yang bernama 'pupuk', Tuan," jawab Ravioli saat berjalan mengikuti sang baron. "Dan pupuk itu berfungsi menyuburkan tanah ... ehem!"
"Menyuburkan tanah?" Apesta mulai tergelitik karena rahasia kesuburan tanah itulah yang Kerajaan Eldorad minta.
"Iya, benda yang bernama 'pupuk' itu jawaban kenapa panen di Propinsi Tigris melimpah meski tanahnya kurang subur, Tuan Baron ... ehem!"
"Apa!"
"Anda tidak salah dengar, Tuan Baron. Itulah rahasia panen melimp—
"Bagaimana cara membuatnya? Cepat katakan!" Apesta memotongnya tidak sabaran.
"Nanti Tuan Baron bisa belajar di pelatihan. Kami sudah siapkan materinya, tenang saja."
"Hahahaha! Bagus! Bagus! Kamu pandai membujukku, hahaha!"
Apesta tertawa akrab sambil menepuk-tepuk pundak Ravioli. Walaupun benda yang bernama pupuk itu tugas pentingnya untuk menghadiri pelatihan, tapi bagi Apesta, tidak ada yang lebih penting dari lokasi pelacuran. Dia kembali berjalan sambil bertanya satu persatu keanehan Kota Tigris. Salah satunya adalah pusat perdagangan yang sejak hari pertama sudah membuatnya menekuk muka.
"Kenapa pedagang itu diizinkan menggunakan alun-alun?"
Ravioli kembali memasang senyum penuh percaya. Apesta mengernyitkan dahinya karena melihat gelagat yang sama setiap kali pemandu itu hendak menjawab sesuatu. Tapi dia singkirkan kecurigaan itu jauh-jauh.
"Kami bukan hanya izinkan para pedagang, Tuan. Kami juga membuatkan program perdagangan, mengurangi pajak dan mengatur persaingan harga."
Dahi sang baron semakin berkerut. Ide itu terlalu aneh baginya.
"Ini Kota apa pusat amal?" katanya.
Ravioli merespon pertanyaan itu dengan senyuman lain seakan paham isi kepala baron yang dia pandu.
"Kelihatannya kami rugi. Tapi karena kebijakan itu... ehem ... Kota Tigris menjadi pusat perdagangan terbesar di Kerajaan Arcadia. Tuan Baron tahu sendiri, bukan?"
Tidak disangka, Ravioli baru saja membocorkan informasi kedua yang Kerajaan Eldorad butuhkan.
"Bagaimana caranya? Katakan! Cepat katakan!!!"
"Nanti Tuan Baron bisa belajar di pelatihan."
Apesta mulai cemberut karena pemandu itu memberi jawaban sama, yang nampak sekali niat merayunya agar dia mau menghadiri pelatihan di balai kota.
'Macam aku orang dungu saja disuruh belajar.' Apesta mulai gengsi.
Dia berusaha terlihat tahu segalanya agar Ravioli tidak banyak bicara. Dia berhenti tertarik pada obyek-obyek dan berganti melihat orang-orang di Tigris. Baron itu pun meneruskan langkah menuju lokasi daging segar, sambil memperhatikan kehidupan warga Tigris yang ternyata juga tidak wajar.
Apesta heran tidak melihat satupun gelandangan atau orang-orang yang tergeletak kelaparan. Dia bahkan tidak melihat ada satupun warga Tigris yang menggigil kedinginan. Rasa penasaran pun menyerangnya. Lidahnya terasa gatal ingin bertanya. Tapi dia tahu Ravioli pasti akan merayunya ke pelatihan lagi. Dengan terpaksa, dia telan sendiri rasa ingin tahu tadi.
Tapi pemandu itu justru menjelaskan banyak hal tanpa dia minta. Apapun yang dia lihat, pasti Ravioli jelaskan dengan bahasa yang kurang dipahaminya. Baron itu pun semakin cemberut karena pemandu itu ternyata bukan saja gigih merayu. Si cerewet itu ternyata juga gigih berdebat. Apesta bahkan hafal kapan saja Ravioli akan berdehem untuk mendramatisir penjelasan. Celakanya, sebagian kicauan pemandu itu berlawanan dengan apa yang Apesta yakini.
Sama-sama tak terima pendapatnya dibantah, perdebatan pun tidak bisa Apesta hindari.
'SialaaaaaNNNN!!!' Perdebatan itu berakhir menjadi mood yang lebih buruk.
Tidak butuh waktu lama bagi Ravioli untuk membuat Apesta merasa dirinya baru keluar dari gua. Terlalu banyak istilah canggih yang membuat baron itu merasa dirinya seperti manusia jaman batu. Apalagi ketika Ravioli menjelaskan bahwa sekolah di Kota Tigris bukan hanya untuk kaum bangsawan. Apesta bersikukuh menentangnya. Karena baginya, warga biasa yang pintar akan merepotkan kaum bangsawan sepertinya.
'Kemerataan apanya!?' Sekali lagi, Apesta mengumpat dalam hati.
Mukanya semakin masam setiap kali melihat pejalan kaki manapun yang dia temui. Dia kesal bisa-bisanya kaum biasa itu mengenakan pakaian yang hampir semahal jubahnya, bahkan mantel wool yang mereka kenakan pun nampaknya lebih mahal. Baron itu semakin terperanjat ketika mengamati para pedagang Tigris ternyata memakai capperon mewah dari lilitan sutera.
'Namanya juga pedagang, wajar lah jika mereka punya uang,' pikir Apesta menghibur dirinya. Dia alihkan pikirannya dan mencari kelas sosial lain yang lebih miskin.
Tapi dia justru melihat hampir semua orang memakai coif² dari kain halus. Di kaki mereka juga terpasang hose² tebal yang kelihatannya mahal. Tak ada satupun dari mereka yang hanya memakai braies² saja seperti warga biasa di tempat-tempat lainnya. Bahkan para budak juga mengenakan pakaian hangat.
'Apa? Budak!?'
Pemandangan itu langsung membuat harga diri baron itu berasa terbenam di gendirobe.
"Apa-apaan kota ini!!!?"
Coif: Sejenis penutup kepala.
Hose: Sejenis kaos kaki tebal dan panjang. Nenek moyangnya kaos kaki dan stocking.
Braies : Pakaian dinamis seperti celana pendek. Kadang berbentuk jahitan kadang pula lilitan kain.
Tahukah anda?
Pernah lihat lambang merah putih biru di depan pintu tukang cukur?
Lambang itu sebenarnya adalah lilitan perban berbalut darah. Karena jaman pertengahan, tukang cukur juga merangkap profesi di meja operasi. Merekalah yang bertugas mengamputasi atau menjahit luka lebar.