webnovel

Takdir Kematian

Bram menatap Jack, pria yang sudah menjadi asistennya sejak dirinya diberi tanggung jawab oleh Albert, papanya, untuk mengambil alih perusahaan pertambangan miliknya, lima tahun yang lalu.

Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu menatap atasannya dengan tatapan penuh arti.

"Ada apa, Jack? Kau bisa mengatakannya padaku sebelum kita berangkat, bukan?" Bramastyo beranjak menjauh dari tempatnya berdiri, di depan pintu kamar mandi.

Jack menarik nafas panjang. "Apakah saya terlihat begitu panik, Tuan Muda?"

Bramastyo sejenak mengalihkan pandangannya sebelum kembali menatap Jack. "Kau ini! Aku menyuruhmu mengatakan alasanmu bukan menebak ekspresi wajahmu!"

"Tuan Muda. Apakah anda akan menghukum saya jika salah satu orang kepercayaan anda telah berkhianat pada anda dan orang itu adalah rekomendasi dari saya?"

Bramastyo semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan asistennya itu. "Aku tidak paham maksudmu. Katakan saja ada apa sebenarnya? Apa yang ingin kau sampaikan padaku?"

Jack terdiam. Jujur saja, ia sangat tidak ingin menyampaikan berita buruk ini pada tuan mudanya. Ia merasa sangat bersalah, meski sebenarnya dirinya sama sekali tidak terkait dengan kejahatan yang dilakukan teman sekaligus rekan kerjanya. Untuk ke sekian kalinya, Jack menghela nafas panjang, mencoba mengurai satu per satu ketegangan yang sejak beberapa hari ini menyiksanya.

"Jaaaack?? Apa perlu aku memanggil Rainbow?" Bram mulai menyebutkan nama yang sangat ditakuti pria berpotongan klimis itu.

Seketika wajah Jack yang sudah panik sejak tadi, memucat. Tanpa disadarinya, kening mulus mengkilat itu mulai mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin.

"Jangan, Tuan. Saya akan mengatakannya. Biarkan Rainbow istirahat. Tidak baik membangunkannya." Jack melangkah cepat menuju ke seberang sofa yang sudah diduduki Bramastyo.

Bramastyo tertegun mendengar semua penjelasan Jack. Bayangan kejadian saat mereka pergi menjemput Adelia, terputar kembali dalam ingatannya. Ia mulai mengingat satu per satu kejadian yang berlangsung saat itu. Jack terus saja berbicara, yang disimak dengan sangat serius oleh Bram.

Hingga akhirnya, tanpa disadari kedua pria itu, Audi sudah duduk di kursi yang berada di tengah keduanya, menyimak dengan tanda tanya besar karena sama sekali tidak memahami pembicaraan yang begitu serius di ruangan itu.

Merasa tidak mengerti dan semakin bingung, karena telah mencoba memahami pembicaraan yang berlangsung sekarang ini, Audi berdeham keras. Dehaman itu berhasil menarik perhatian Bramastyo.

"Apakah semua yang sedang kalian bicarakan sekarang ini ada kaitannya denganku?" Audi menatap Jack dan Bramastyo secara bergantian.

Jack menatap Audi lekat dan sedikit heran. "Nona, apakah sosok asing itu tidak lagi datang mengganggu?"

Audi mengedikkan bahunya. "Tidak, eh, belum datang lagi. Aku berharap iblis itu tidak lagi datang kemari."

Jack menarik nafas lega. Ketakutannya akan kejadian kemarin, saat Audi berputar-putar di udara sedemikian rupa, membuat dirinya merasa trauma.

"Tapi, bisa saja ia akan datang lagi hari ini. Iblis itu sedang mencari seseorang dan aku, adalah umpan untuk menemukan orang itu." Audi meneguk secangkir teh di depannya. Kedua alisnya berkerut sejenak, sejak kapan ada minuman hangat di ruangan ini. Ia sendiri baru saja selesai mandi, hal pertama yang ia lakukan setelah bangun tidur.

"Aku tidak begitu yakin dengan hasil analisamu, Jack. Apa yang dijanjikan mereka pada Mike hingga dia berani melakukan hal itu?" ucap Bramastyo tiba-tiba, menanggapi laporan Jack.

Jack terdiam. Ia ingin mengatakan jika instingnya tidak akan pernah salah. Apa yang sedang dilakukan Mike saat ini adalah hal yang sangat berbahaya. Pria itubersedia melakukan hal gila seperti ini, demi mendapatkan kehidupan yang abadi. Lelucon macam apa itu? Kepala Jack menggeleng beberapa kali.

Pintu kamar itu kembali terbuka setelah terdengar ketukan sebanyak tiga kali. Seorang pelayan laki-laki masuk sambil mendorong kereta makan. Pelayan itu kemudian meletakkan beberapa hidangan di meja berukuran sedang itu, dan kembali mengisi cangkir Audi yang sudah kosong.

"Kaukah yang menghidangkan teh panas tadi?" Audi menatap pelayan yang sedang sibuk menata hidangan, dengan intens. Ia seperti pernah bertemu dengan pria itu.

"Iya, Nona." Sang pelayan kemudian membawa pergi kereta makan yang kini sudah kosong, pergi menjauh dari tatapan mengerikan Bramastyo.

"Mengapa kau menatapnya seperti itu?" Bramastyo terdengar begitu kesal. Ia tidak suka melihat cara Audi yang begitu intens menatap pelayan tadi.

"Aku pernah melihatnya tapi aku lupa di mana." Audi mengambil satu potong kue sus sebelum mengambil satu mangkuk bubur ayam dan menyantapnya dengan begitu lahap.

"Pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru. Kau bisa memakan semua yang ada di sini, sebanyak yang kau mau," ucap Bramastyo.

Ucapan Bramastyo seketika membuat Audi menghentikan suapannya. Gadis itu tiba-tiba teringat dengan nasib keluarganya. Wajahnya mendadak menjadi sendu. Apa yang sedang dimakan kedua adiknya? Apakah mereka baik-baik saja?

"Ada apa?" Bramastyo menyadari perubahan sikap Audi yang begitu tiba-tiba. "Apakah ada ucapanku yang salah?"

"Adikku..." ucap Audi lirih. "Sedang makan apa mereka sekarang?"

Hati Bramastyo tersentuh. Ia menjadi ragu sendiri. Apakah dirinya harus mengikuti insting Jack, sang asisten?

Jack tertunduk. Ia tidak sanggup menatap raut wajah Audi. Raut wajah yang satu hari kemarin begitu kesakitan saat disiksa oleh sosok asing yang tiba-tiba hadir di depan mereka, kini begitu sedih mengingat nasib kedua adik yang kini entah berada di mana.

"Apakah kau ingat di mana terakhir kau bersama mereka?" Mungkin informasi ini akan membantu dirinya menemukan asal mula Audi menjadi Adelia karena sosok asing itu.

Audi membisu. Mendadak Audi merasa tubuhnya kembali lemas. 'Jangan-Jangan datang lagi' seru Audi dalam hati. Penolakannya terlambat. Marionette kembali merasuki tubuhnya. Audi tiba-tiba terkulai di kursi.

"Adel!!!" Bramastyo langsung bangkit dan berjalan menuju kursi Audi.

Namun sayang, sebelum tangannya berhasil menjangkau tangan Audi, tangan gadis itu sudah lebih dulu menghalaunya, menyebabkan Bramastyo nyaris terjatuh membentur kursi.

Jack dengan cepat berdiri, berjalan menghampiri atasannya. "Tuan, lebih baik kita membuat jarak dengan Nona."

Kedua pria itu mundur ke belakang, membuat jarak dengan Audi yang masih terkulai di kursi dengan mata terpejam.

Tubuh Audi secara perlahan bangun. Kedua matanya terbuka. Wajahnya menyeringai jahat. Gadis itu menatap ke sekelilingnya, dan ketika pandangannya bertemu dengan Bramastyo, wajahnya berubah menjadi begitu bengis.

"Aku belum ingin menyiksamu sekarang, tapi, tampaknya kau sendiri yang sudah tidak sabar untuk menemui takdir kematianmu," cibir Marionette yang kini menguasai tubuh Audi.

Jack menelan ludahnya. Takdir kematian? Bulu kuduknya langsung berdiri. Mengapa hawa di ruangan ini menjadi begitu menyeramkan? Ia tidak suka mendengar kata kematian. Ia belum ingin menemui kematian saat ini. Ia belum siap.

Bramastyo menatap tajam Audi. "Keluar kau dari tubuh gadis itu jika kau memang ingin mengajakku berduel!"

Jack terhenyak mendengar ucapan atasannya. "Tuan! Apa yang Tuan ucapkan? Dia bukan lawan kita."

"Berisik! Kau tikus curut, diamlah!" hardik Marionette begitu mendengar suara ketakutan Jack.

"Apa kau bilang? Tikus curut?? Berani kau mengataiku tikus curut??" Jack meradang. "Sialan! Dasar iblis tidak tahu diri!"

Emosi Jack terpancing. Pria itu melangkah ke depan mendekat ke arah Audi yang kini sudah berdiri di tengah ruangan.

Marionette tertawa nyaring. "Baiklah. Aku akan memulainya darimu dulu."

Tangan Audi terangkat ke atas. Jari telunjuknya menukik tepat ke arah wajah Jack. Seberkas cahaya merah melesat dari jari telunjuk Audi, mengenai wajah Jack.

"Aaaaaaaarrrggghhh!!!" jerit kesakitan Jack menggema.