webnovel

Siapa Kau Sebenarnya?

Andrew bergeming, tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Emosi yang belum sepenuhnya berhasil dikuasai, membuat dirinya semakin mengeratkan kepalan di kedua tangannya.

"Aku tidak mengundangmu untuk datang kemari." Suara Andrew terdengar sangat ketus, membuat sosok yang kini berdiri menghadap punggung tegap Andrew, memutar kedua bola matanya, merasa jengah dengan jawaban yang sama yang diberikan Andrew, setiap dirinya datang berkunjung.

"Kau mengusirku?" Pria itu mengabaikan rasa tidak suka Andrew dengan kehadirannya.

Andrew diam, tidak bereaksi sedikit pun. Ia memilih kembali mengeluarkan cerutu dan menyalakannya dengan pematik berwarna perak, mengabaikan tamu tak diundang yang kini duduk di sofa, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Andrew menatap langit yang kian menggelap dan semakin gemerlap dengan kilauan bintang, yang kini nyaris memenuhi langit malam.

'Aku ingin memberimu sesuatu."

Andrew masih diam, menghisap dalam cerutu berwarna coklat gelap yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

"JIka kau berkenan, datanglah. Kami akan sangat bahagia dengan kehadiranmu."

Kami? Kening Andrew sontak mengerut. Kata itu tiba-tiba menggelitik hatinya. 'Siapa yang dimaksud kami.'

Karena tidak mendapatkan tanggapan dari Andrew, pria berpakaian kasual itu, bangkit dan berjalan meninggalkan Andrew tanpa mengucap salam perpisahan.

Andrew sibuk dengan pikirannya sendiri.

'Kami? Apakah itu artinya kalian sudah sepakat untuk menjadi musuhku?'

Kembali Andrew menjatuhkan cerutunya lalu menekan cerutu itu sekuat tenaga, melampiaskan amarah yang semakin sulit dikendalikan.

'Aku akan membuat kalian menderita...!' desisnya sembari menatap ke langit malam dengan mata merah penuh amarah.

Tiba-tiba tawa Andrew pecah seketika. Ia teringat dengan gadis yang baru saja membuatnya marah. Gadis itu belum mengetahui berita ini. Gadis itu pasti masih sibuk dengan mimpi indah tentang pangeran tampan pujaan hatinya. Pangeran yang telah membuangnya ke tong sampah, tanpa sepengetahuannya.

Satu menit berikutnya, Andrew tercenung. Sekelebat bayangan gadis yang meronta di bawahnya semalam, menjerit dan mengucap seribu satu sumpah serapah padanya, yang sudah dengan beringas melecehkan dan menodainya, melintas dalam benaknya.

"Gadis malang," ucap Andrew dengan sedikit iba, yang tanpa disadarinya keluar dari bibirnya.

Andrew memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju kamarnya. Sudut matanya menangkap selembar kulit domba yang masih tergulung dengan rapi. Ia berbelok sedikit, menghampiri gulungan itu, lalu mengambilnya tanpa membukanya. Gulungan itu terlempar beberapa kali ke udara, lalu kembali lagi ke dalam genggaman Andrew. Sesaat kemudian, ia diam lalu melempar gulungan itu hingga melewati tembok tinggi yang berada sepuluh meter di depannya.

'Aku tidak ada urusan dengan kalian.'

Andrew melangkah masuk ke kamarnya lagi.

-0-

Audi menggeliatkan tubuhnya yang masih tertutup dengan selimut lembut berwarna putih bersih. Matanya berkejap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sempurna. Ketika ia menangkap satu tatapan tajam yang mengawasinya begitu intens, gadis itu langsung tersadar, bangkit dan duduk bersandar di sandaran ranjang, dengan menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh badannya hingga tersisa kepalanya saja.

"Aku sangat ingin mendengar penjelasan darimu,"ucap Bramastyo tanpa berkedip sedikit pun.

Audi menelan air liurnya dengan cepat.

"Sekarang?" Audi menatap kesal Bramastyo. "Apakah kau tahu aku baru saja berhasil memanggil pulang nyawaku yang tadi sedang berjalan-jalan di negeri antah berantah?"

"Aku tidak peduli. Aku tidak ingin menunda lagi."

"Menunda? Itu salahmu sendiri, Tuan. Aku sudah mengatakan padamu kebenarannya. Aku bukan adikmu, tapi kau masih saja bersikeras dengan pendapatmu. Dan sekarang, kau ingin aku menjelaskan apa?" Audi menyibakkan selimut putih itu lalu turun dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi.

"Aku hanya tidak ingin melihatmu disiksa lagi oleh perempuan itu."

Langkah kaki Audi terhenti. Gadis itu memutar tubuhnya lalu menatap Bramastyo. "Kau mengkhawatirkanku?"

"Tidak. Aku hanya tidak ingin rumahku hancur karena pertikaian kalian." Bramastyo bangkit dari duduknya, mengabaikan tatapan sebal Audi yang sempat merasa tersanjung.

"Siapa kau sebenarnya?" Bramastyo melangkah mendekat ke tempat Audi berdiri.

Audi mendengus. "Yang jelas, aku bukan adikmu."

"Siapa namamu?" Bramastyo menelisik wajah Audi. Benar. Jika diamati lebih detil, Adelia tampak lebih putih dan kedua matanya sedikit lebih sipit dibandingkan gadis di depannya.

"Tsk." Adelia mencibir. "Kenapa baru sekarang kau menanyakan hal itu?"

Bramastyo mengedikkan kedua bahunya. "Aku baru curiga sekarang." Ia menurunkan pandangannya, mengamati tubuh Audi secara keseluruhan. 'Bagaimana aku bisa meyakinkan jika dia memang bukan Adelia, tanpa melihat tanda lahir itu?' batin Bramastyo berkecamuk.

"Apa yang ada dalam pikiranmu?!" Audi melayangkan cubitan mautnya. Ia menangkap apa yang sedang dipikirkan oleh pria di depannya.

"Bukan apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan apakah benar kau bukan Adelia," jawab Bramastyo tanpa rasa sungkan.

"Dasar manusia tidak jelas! Langkahi dulu mayat ikan paus di kutub utara jika kau ingin melakukan itu," omel Audi melanjutkan langkahnya menuju ke kamar mandi. Omelannya masih terus terdengar dari dalam kamar mandi, membuat Bramastyo mengangkat satu alisnya.

'Apa aku harus memanggil Mike kemari?' Bramastyo memainkan ponsel di tangannya, diputar-putarnya benda pipih itu. Terkadang searah jarum jam, di saat lain berlawanan dengan arah jarum jam.

Kejadian kemarin, saat dirinya dan Jack menyaksikan sendiri atraksi perempuan asing bergaun perak, memutar tubuh Audi hanya dengan satu jari, meninggalkan kesan tersendiri dalam diri Bram. Ia merasa tidak lagi berada di dunia nyata. Entah apa maksud semua kejadian ini. Ada kaitan apa dengan kematian Adelia? Benarkah Adelia yang sekarang sedang berada di kamar mandi bukanlah Adelia yang sesungguhnya? Jika memang demikian, lalu di mana Adelia sekarang? Benarkah adik kandungnya itu sudah meninggal dunia? Mati?

Bramastyo sibuk dengan pikirannya sendiri, sembari menunggu Audi yang masih saja asyik bermain air di kamar mandi. Ia sangat ingin mengetahu identitas gadis yang ia kira sebagai adiknya itu. Apakah mereka berdua memang sedang terikat dalam ikatan kisah masa lalu? Lalu perempuan bergaun perak itu, ia sengaja melakukan itu semua karena ada dendam pribadi?

Pria itu mulai merasa frustasi sendiri. Audi yang ditunggu belum juga selesai dengan acara mandinya, sedangkan Bram sudah merasa putus asa dengan rasa penasarannya.

Jika memang benar gadis itu bukanlah adik kandungnya, lalu apa yang akan ia lakukan? Apa sebaiknya ia kembalikan saja gadis itu ke pulau kecil tempat ia menjemputnya dulu?

"Kenapa kau lama sekali?" teriak Bram sambil menggedor pintu kamar mandi. Ia akhirnya kehilangan kesabaran. Pria itu bangkit dari duduknya, melangkah cepat hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu kamar mandi. Ia kembali mengetuk pintu kamar mandi dengan keras, namun Audi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu justru terus sibuk mengguyur air ke badannya, mengabaikan teriakan Bramastyo.

Ketukan di pintu kamar, membuat Bramastyo menghentikan ketukannya. Belum juga ia mempersilakan masuk, Jack sudah melangkah dengan terburu-buru.

"Ada apa?" Bramastyo memandang wajah asistennya itu. Ia menangkap sesuatu yang tidak menyenangkan di wajah Jack. Berita buruk?

"Tuan, mungkin kita harus pergi ke pulau tempat kita menemukan Nona beberapa waktu yang lalu," terang Jack dalam satu tarikan nafas.

"Apa maksudmu?"