webnovel

Dendam Marionette (2)

Wajah Marionette kembali pucat. Sosok itu membuat jantungnya kembali berdetak kencang. Tubuhnya bergetar ketakutan. Secara spontan, gadis itu menarik ke atas selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Berusaha melindungi tubuhnya dari tatapan pria yang sudah menyiksanya semalam.

Pria itu terus berjalan masuk hingga hampir mendekati tempat tidur Marionette berada. Ia menatap sekilas wajah pucat Marionette, sebelum melangkah ke arah meja rias yang terletak tepat di depan tempat tidur besar itu. Pria itu sesekali melirik Marionette dari kaca, memperhatikan dalam diam. Ada sedikit penyesalan yang menyelinap dalam batinnya, karena telah menjadikan gadis tidak bersalah sebagai pelampiasan amarahnya.

Marionette terus mengawasi gerak-gerik pria itu. Diperhatikannya sosok tinggi berkulit putih di depannya itu. Tidak kurus tidak juga gemuk. Ideal. Marionette memberi penilaian dibalik rasa amarahnya. Ia tahu jika pria itu sesekali mencuri pandang ke arahnya lewat cermin itu, dan hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk memperhatikan lebih jauh dan detil sosok tegap yang berdiri di depannya.

Pria itu diam seribu bahasa. Ia dengan mengabaikan kehadiran Marionette yang berbaring setengah menyandar pada bantal, berjalan mendekat lalu menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Marionette, membuat jantung Marionette mencelos.

"Kau si-siapa?" Marionette akhirnya tidak tahan lagi memendam rasa penasarannya.

Pria itu tetap bergeming.

Marionette semakin dihujani rasa penasaran. Sosok tegap itu membuatnya merasa tidak ada artinya. Ditengah rasa nyeri yang masih terasa, Marionette akhirnya memberanikan diri untuk turun dari atas tempat tidur. Ia merasa jengah karena telah diabaikan.

"Mentang-mentang orang kaya, lalu menganggap orang lain tidak penting dan menghinakannya. Andai aku punya kekuatan sihir, aku pasti akan mengutuknya saat ini juga. Untung wajahmu tampan." omel Marionette dengan suara lirih, sambil berusaha berjalan senormal mungkin.

"Aku bisa mendengarmu."

Marionette langsung berhenti. Degup jantungnya kembali cepat. 'Bisa mendengarku?'

"Aku tidak mengatakan apa pun." Marionette berdalih.

"Terserah."

Kedua mata Marionette terbelalak sesaat. 'Orang aneh.'

"Apakah kau masih merasa kesakitan?"

Marionette terkejut. Diliriknya pria di sampingnya yang sekarang sedang memejamkan kedua matanya.

"Apa pedulimu?" Emosinya mulai terpancing. Ingatan tentang siksaan yang ia dapatkan semalam, kembali melintas dalam benaknya.

"Tidak. Untuk apa aku peduli padamu."

'Lalu?' Marionette mengepalkan kedua tangannya. "Kauuuu?!!!"

"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk datang kemari, dan aku tidak pernah memintamu untuk berada di dekatku kapan pun itu. Kau saja yang keras kepala." Pria itu masih memejamkan matanya.

"Pria gila!" Marionette akhirnya mengumpat.

Kedua mata pria itu terbuka dan dengan cepat melirik ke arah Marionette yang kini tengah menatapnya penuh amarah.

"Tidak ada seorang pun yang berani mengumpatku, dan kini, gadis kotor sepertimu sudah lancang mengataiku?" Pria itu bangkit dari pembaringan, berdiri dan melangkah mendekati Marionette.

Marionette tidak mengalihkan tatapannya. Ia justru semakin menatap tajam sosok yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Apakah kau sudah lupa dengan rasa yang aku berikan semalam? Hmmm, tampaknya kau sudah mulai ketagihan dan mulai merindukan rasa itu?" Tangan besar itu mengangkat dagu Marionette, menatap dalam kedua mata Marionette.

Marionette menolehkan kepalanya ke kanan, namun kembali diputar oleh pria itu dengan kasar. Pria itu mendekatkan bibirnya ke wajah Marionette. Harum nafas beraroma mint mengganggu indera penciuman Marionette.

'Aaah, Sial! Mengapa dia seperti ini?!' Marionette mengumpat dalam hati.

"Aku tahu semua kesukaanmu, gadis bodoh! Dan aku akan menyiksamu dengan kesukaanmu itu!" Pria itu terus menghembuskan nafasnya ke arah hidung Marionette.

Marionette meradang. Dengan emosi yang sudah memuncak sejak tadi, Marionette dengan cepat meraup bibir pria di depannya dan menggigit dengan kuat bibir itu hingga cairan berwarna merah membasahi bibirnya.

"Aaaaarrrggghh!!!" Pria itu dengan cepat menjauhkan wajahnya dari Marionette. "Kau gadis tidak tahu diri!!!! Beraninya kauuuu!!!!!!"

Tatapan penuh amarah menghujam ke dua mata Marionette. "Aku tidak akan pernah melepasmu! Tidak akan pernah!!Kau harus membayar ini semua!!!" rauung pria itu.

Suaranya yang menggema terdengar hingga ke dapur, membuat Bibi Engki panik dan lari tunggang langgang menuju kamar tempat suara itu berasal. Dengan segera ia mengetuk pintu kamar tuan mudanya.

"Tuan... Apakah Tuan memanggil saya?" Bibi Engki berpura-pura salah dengar, sambil terus memikirkan cara agar bisa menyelamatkan Marionette dari amarah tuan mudanya.

Suara pintu yang terbuka membuat Bibi Engki menahan nafas. Tampak wajah merah padam keluar dari kamar tersebut.

"Bawa pergi gadis itu dari kamar ini! Ajari dia sopan santun!" Pria itu melangkah pergi dengan langkah kaki lebar, meninggalkan Bibi Engki yang mengangguk-angguk mendengar titahnya.

Bibi Engki bergegas mencari Marionette, dan langsung memeluk Marionette yang kala itu jatuh terduduk sambil menahan tangis.

"Sudah. Jangan menangis lagi! Wajahmu akan semakin jelek bila menangis terus," hibur Bibi Engki sambil menghapus air mata dari wajah putih Marionette.

Bukannya mereda, tangis Marionette justru kembali pecah. Ia tidak sanggup menahan rasa sedih dan harunya. Ia begitu sedih dengan nasib yang menimpanya saat ini, namun juga tersentuh dengan perhatian tulus dari Bibi Engki.

"Bibi!" sedu sedan Marionette teredam di bahu gempal Bibi Engki. Usapan lembut dari wanita paruh baya itu membuat Marionette merasa terlindungi dan disayang.

"Lain kali, jangan seperti ini lagi. Tahan emosimu. Tuan muda seorang pria yang baik, tapi dia akan dengan cepat berubah menjadi singa jika dirinya direndahkan."

Marionette tidak menjawab, melainkan meneruskan tangisannya yang kini kian lirih di balik bahu perempuan bertubuh gempal itu.

-0-

Dering ponsel mengganggu indera pendengaran pria tinggi, yang sedang asyik menghisap dalam sebatang cerutu coklat,. Ringis kesakitan sesekali tampak di wajah dinginnya. Tangan kirinya sibuk mengelus bibirnya yang terluka dan masih mengeluarkan darah segar. Dengan malas, ia melangkah ke meja tempat ponselnya berada, dan menerima panggilan itu tanpa melihat identitas pemanggil.

"Halo."

*Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?"

Suara dalam dari seberang menyusup masuk ke dalam gendang telinganya.

*Papa sudah tahu semuanya, Andrew. Jangan pernah menyakiti perempuan. Perlakukan mereka dengan baik. Ingatlah dengan mama kamu yang sekarang sedang berjuang dengan sakitnya di sini.

Pria tinggi putih yang ternyata bernama Andrew itu, menjatuhkan cerutunya ke lantai dan menginjak cerutu itu dengan penuh dendam.

"Aku tidak membutuhkan nasihat Papa."

*Siapa sebenarnya yang bersalah? Gadis itukah?

Pertanyaan itu membuat dada Andrew kembali bergemuruh hebat. 'Siapa yang salah? Jelas lelaki bodoh itu!' Teriak Andrew dalam hatinya.

*Jangan kau salahkan orang lain yang tidak tahu apa-apa Andrew, atau kau akan menyesal seumur hidupmu!

Panggilan itu terputus, membuat kedua bola mata Andrew nyaris ke luar karena rasa geram. Belum selesai Andrew meredakan rasa geramnya, dari arah belakang terdengar langkah kaki mendekat. Ponsel di tangannya segera ia masukkan ke dalam saku celananya.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Suara itu berhasil membuat Andrew meradang. 'Apakah Tuhan belum selesai mempermainkan perasaanku?' Nafasnya kini terdengar begitu cepat.