webnovel

Bab 30.Tidak Menyukai Laki-laki Kaya

-Terjebak Menjadi Simpanan-

"Baru pulang?"

Degh ...

Kirana mendongak. Manik hitamnya bertatapan langsung dengan kakaknya Nina.

Wanita cantik itu berdiri di depan teras sambil melipat kedua tangannya. Pandangannya lebih tajam dibandingkan ujung kawat pagar halaman mereka.

"Kak Nina." Kirana bergumam pelan.

Kirana menghentikan langkahnya. Rasa terkejut jauh lebih mendominasi.

'Bagaimana bisa ada kakaknya di rumah? Padahal biasanya kakaknya itu selalu berada di kantor sampai sore, bahkan lembur.'

Sambutan kakaknya bukan hal yang baik dalam artian lain. Kirana salah, wanita itu jelas paham di mana posisinya saat ini. Pergi malam dan pulang siang hari. Bahkan tanpa mengatakan apapun, tanpa memberi kabar terlebih dahulu untuk kakaknya.

Kirana terdiam sambil memegang ujung pakaiannya. Ia tidak tau harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Jelas bukan pilihan yang baik untuk menceritakan rencana balas dendamnya itu pada sang kakak.

"Darimana?"

"Err- dari restoran ... i-iya restoran," jawab Kirana gugup, dan ia langsung menyesal saat itu juga.

Ia jelas pembohong yang buruk. Alasannya sangat mudah untuk dipatahkan, mengingat kakaknya berteman dekat dengan pemilik restoran tempatnya bekerja.

Kakaknya pasti sudah menghubungi bos restoran tempatnya bekerja sebelum ini. Terlihat jelas di dalam tatapan dingin yang sama sekali tidak mempercayai alasannya.

"Kak Ni-"

"Jangan memberi alasan Kirana. Kaka tau kau tidak disana."

Kirana kembali terdiam. Ia menundukkan kepalanya. Rasa bersalah bercampur aduk dengan kekesalan.

Hubungan dengan sang kakak tidak terlalu baik belakangan ini. Terakhir pertengkaran mereka tepat ketika malam itu. Kakaknya mengetahui jika ia berpacaran dengan seorang Rafael Atmaja.

Laki-laki kaya raya yang jelas ditentang keras oleh sang kakak.

Kirana tidak mengerti alasannya apa. Pikirannya melayang ketika kenyataan tentang kakaknya yang membenci orang kaya. Persis seperti yang bosnya katakan.

'Nina membenci laki-laki kaya.'

Kata-kata bos Rian seolah silih berganti di dalam ingatannya. Walau ia sendiri tidak tau bagaimana bosnya itu mengetahui dengan jelas perihal kakaknya.

"Kau tidak mencari laki-laki itu lagi bukan?"

Kirana mendongak. Matanya melotot ketika sang kaka kembali membahas tentang sosok yang sangat ia benci kali ini.

"Jangan jadi orang bodoh Kirana. Laki-laki itu jelas mempermainkanmu, kau sudah di buang. Tolong jangan mempermalukan harga diri sebagai wanita."

"KAK NINA!!" Kirana meninggikan suaranya.

"Kau berteriak!"

Kirana tersendak kaget dengan teriakannya sendiirr. Wanita itu memejamkan matanya seraya menurunkan emosi yang sempat naik. Pembicaraan yang menyangkut tentang mantan pacarnya itu selalu berakhir dengan pertengkaran.

Kakaknya menuduhnya masih memiliki perasaan pada laki-laki yang baru saja mencampakkannya dengan bertunangan dengan wanita lain itu. Padahal bukan itu. Bahkan Kirana sendiri jijik dan kesal mengingat tentang Rafael Atmaja.

Ia sudah menjelaskan semuanya, tapi sang kakak sama sekali tidak mempercayainya.

Kirana tidak tau kenapa kakaknya sangat sensitif jika menyinggung dengan mantan kekasihnya itu. Padahal biasanya sama sekali tidak terlalu berniat untuk ikut campur.

'Apa karna Rafael dari keluarga kaya raya. Apa itu yang menjadi masalah untuk kakaknya? Bahkan setelah menjadi mantan. Kakaknya tetap menyinggung, seolah ia tidak memiliki kelonggaran untuk menerima laki-laki kaya yang masuk ke dalam kehidupan mereka.'

"Kak Nina tolong. Kirana cape, please biarkan Kirana istirahat."

Kirana melangkah maju melewati Nina begitu saja.

"Kirana! Kakak sedang bicara denganmu. Setidaknya jawab dengan benar."

Kirana menghela panjang. Ia berbalik dengan enggan. Ia benar-benar lelah kali ini. Emosinya bercampur aduk di dalam kepalanya. Kekesalannya pada tuan Mahesa, rasa sakit hari pada Rafael dan juga rasa bersalah pada sang kakak.

"Kak, hubungan Kirana dengan Rafael itu sudah berakhir. Tidak ada yang tersisa, dan kak Nina tidak perlu khawatir. Kirana tidak akan mengemis cinta pada laki-laki itu."

Setelah mengatakan itu Kirana langsung berlalu meninggalkan sang kakak yang masih mematung di tempat yang sama.

Kirana tau jika kakaknya baik. Mungkin sedikit aneh ketika sang kakak tiba-tiba protektif terhadapnya.

****

Suara dentingan piring dan alat-alat memasak lainnya terdengar saling bersahutan dengan air yang mengalir dan desiran minyak panas. Suasana yang sama seperti biasa ketika waktu makan siang sedang berlangsung. Semua pelayan sibuk dengan tugas masing-masing sampai pelanggan sedikit berkurang.

Helaan nafas panjang terdengar ketika suasana di dalam restoran sudah tidak sepadat sebelumnya.

Kirana meletakkan nampan di atas meja, mengambil beberapa piring kotor. Disaat bersamaan seseorang berdiri tepat di depannya.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Kirana mendongak. Jantungnya berdegup kencang lebih dari biasanya. Wanita itu mengedip-kedipkan matanya beberapa kali sampai fokusnya kembali.

"Nita." serunya.

Wanita yang dipanggil Nita itu tersenyum kecil, "Memangnya kau pikir siapa? Kemana fokusmu," tegurnya.

Kirana mendengus pelan. Ia bahkan mengira jika kakaknya lah yang tadi memanggilnya. Padahal jelas-jelas saudaranya itu tidak berada di sini.

'Rasa bersalah.'

Sejak beberapa hari lalu ia bahkan belum bertegur sapa dengan nyaman dengan kakaknya itu. Seolah keadaan membuatnya menjadi serba salah. Padahal Nina tidak melakukan apapun, juga tidak mengetahui apapun tentang keadaanya yang tengah kacau.

"Bisa kita bicara di luar? Ini penting." NIta kembali bertanya ketika ia tidak mendapat jawaban apapun dari Kirana.

"Ini masih jam kerja."

"Aku tau." Nita berseru dengan cepat. Wanita itu mengangkat sebelah tangannya, tanda jika ia akan bicara.

"Cuma sebentar kok. Janji gak akan lama." Nita memohon.

Kirana menghela nafas pelan dan mengangguk. Wanita itu mengikuti langkah Nita ke pintu belakang.

Setelah memastikan keadaan aman, Nita menarik lengan Kirana sedikit menjauh dari pintu.

Wanita itu melotot ke arahnya. Membuat Kirana sedikit tidak nyaman.

"Bagaimana?" gumamnya ambigu.

"Apanya?"

"Cih, yang kemarin. Tuan Mahesa."

Kirana langsung mengangguk paham ketika Nita mengatakan nama tuan Mahesa. Jelas sudah ke mana arah pembicaraan mereka.

"Gagal."

"Hah?" Nita mengerutkan dahinya beberapa saat. Wanita itu tampak berpikir, seolah ada perkataan Kirana yang tidak ia pahami.

"Gagal. Semuanya gagal." Kirana mengeling. Ia bahkan tidak ingin lagi memikirkan kebodohannya malam itu. Mengingat respon dingin laki-laki itu sedikit tidak membuatnya kembali kesal.

"Maksudnya tuan Mahesa tidak mau bertanggung jawab?"

Kirana meringis pelan. kata tanggung jawab sepertinya tidak pas dengan keadaan mereka saat itu. Dimana jelas ia lah yang merencanakan semuanya.

"Padahal kita sudah merekamnya. Apa tidak apa-apa?"

Kirana mengeling. Hanya ia yang merekam kegiatan malam itu. Tidak ada yang lain. Ia berbohong tentang memiliki rekaman lainnya.

"Jadi gimana?"

Kirana menoleh. Ia terdiam beberapa saat sebelum menghela nafas panjang.

"Sebenarnya ada respon lain." Kirana mengambil ponsel, memperlihatkan berkas tentang penawaran kompensasi dari sekretaris tuan Mahesa yang ia foto saat itu.

"Mereka menawarkan kompensasi," lanjut Kirana.

"Uang?"

Kirana mengangguk. "Apa harus aku ambil atau bagaimana?"

Nita mengangkat bahunya. "Terserah, kalau aku jadi dirimu aku akan mengambilnya. Toh kau juga rugi kan."

Kirana mengerang kesal. Kata rugi yang dimaksud jelas ia pahami.

'Bodohnya dia.'

Kirana menghela napas panjang beberapa kali sebelum wanita itu kembali menatap Nita. "Nanti kita bicarakan lagi."

Nita mengangguk paham, mengingat mereka masih dalam jam kerja.

Keduanya bergegas kembali masuk.

"Kalian dari mana?"

degh ...

To be continued....