webnovel

Tiga

Oliver memandang keluar jendela mobil taksi yang membawanya pulang setelah mengantar Daniel dari bandara Heathrow.

Ia sudah hidup bersama Daniel selama belasan tahun. Baginya, Daniel bukan sekedar teman baik sejak kecil melainkan seperti saudara kandungnya sendiri. Dan selama bertahun-tahun, ia tidak pernah hidup berjauhan dengan lelaki itu. Ia tidak tahu bagaimana caranya hidup sendiri. Selama ini, Daniellah yang mengatur hidupnya dan memperhatikan segala hal yang ia perlukan seperti seorang kakak. Selalu seperti itu, sampai akhirnya Daniel diterima menjadi pemain biola di grup orkestra beberapa tahun lalu dan harus tampil di sana-sini dengan sibuk. Sejak saat itu, ia harus berurusan dengan asisten-asisten tidak becus yang hanya menghancurkan suasana hatinya dan inspirasi untuk menciptakan seni.

Asisten. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan asisten baru.

Oliver berdumal dalam hati lalu mendengus dengan kasar. Ia tahu kalau situasi akan berakhir seperti ini begitu ia mendengar kabar kalau Daniel harus terbang ke Dublin. Karena itu ia telah menyiapkan rencana cadangan.

Mobil taksi yang ia tumpangi berhenti di tepi jalan Mile End Road, tepat di depan gedung tingkat dua letak studionya berada. Oliver baru saja memberikan lembaran uang kepada supir taksi dan baru hendak membuka pintu ketika ia menangkap bayangan seseorang yang berdiri di depan gedung.

Ugh. Oliver menangkap sosok asisten barunya, Maya Edwards, tengah berdiri di depan gedung sambil sesekali mengangkat wajah ke arah lantai dua lalu mengecek jam tangannya. Oliver lagi-lagi mendengus, sebal dan meniup dahinya, kasar. Ia punya firasat kalau hari ini akan menjadi hari yang panjang. Panjang dan melelahkan.

Oliver melangkah turun dari mobil taksi dan berjalan menghampiri gedung. Ia berdiri tepat di belakang Maya, mengamati gadis itu sambil menjejalkan kedua tangan di saku celana.

Kalau diperhatikan, Maya memiliki gaya berpakaian yang tidak sama dengan mantan-mantan asistennya sebelumnya. Kalau gadis-gadis yang pernah bekerja untuknya berpakaian formal, seperti layaknya asisten, gadis yang kini berdiri memunggunginya, memilih untuk mengenakan terusan pendek selutut bermotif bunga yang terlihat begitu... mengganggu. Oliver mengerutkan kening. Sebenarnya gadis itu datang untuk bekerja atau berkencan? Kenapa berpakaian seperti itu?

Maya berjalan mendekati pintu utama gedung lalu tak lama kemudian melangkah mundur dengan cepat. Gerakannya begitu cepat sampai-sampai gadis itu menubruk Oliver yang berdiri di belakangnya. Maya buru-buru berbalik dan berseru, "Maaf! Aku tidak... sengaja..."

Kalimat Maya melemah ketika gadis itu menangkap keberadaan Oliver. Ia langsung melangkah mundur dengan cepat. "Selamat pagi."

"Kukira Daniel sudah memberimu kunci cadangan," kata Oliver, singkat.

Maya mengangkat wajah menatapnya. Tak lama sebelum mengalihkan pandangannya dengan kikuk. "Ah, itu..."

"Kalau kau sudah punya kuncinya, jangan berdiri di sini seperti orang bodoh." Oliver berjalan melewati Maya menuju gedung, mengeluarkan kunci miliknya dan membuka pintu.

"Maaf."

Oliver dapat mendengar Maya bergumam saat memimpin langkah menaiki tangga.

"Apa Anda sudah sarapan? Aku membawakan egg benedict dari toko roti kesukaanku."

Oliver berhenti melangkah. Ia lalu berbalik pada Maya yang berdiri tiga anak tangga di bawahnya. "Ada beberapa peraturan yang harus kau ingat selama bekerja bersamaku. Pertama, dan ini yang paling penting, kau tidak boleh bicara kalau aku tidak mengajakmu bicara. Apa kau bisa melakukannya?"

Maya mendongak tinggi-tinggi. Lalu setelah menelan ludah dengan susah payah, ia menganggukkan kepala.

"Kedua." Oliver mengamati Maya dari puncak kepala hingga ujung kaki. "Berpakaianlah semestinya."

Oliver berputar, melanjutkan langkahnya menaiki tangga, meninggalkan Maya menunduk menatap pakaiannya dengan bingung sebelum akhirnya berlari menyusul Oliver. Begitu tiba di lantai dua, Oliver membuka pintu studionya dan melempar kunci seraya berjalan menuju sofa di sudut ruangan.

Maya memungut kunci apartemen yang tergeletak di lantai, menggantungnya pada gantungan kunci di tembok lalu menutup pintu. Ia lalu berjalan pelan dan meletakkan tas pakaiannya di atas lantai.

Dari sofa, Oliver mengangkat wajah pada Maya. "Kau akan menggunakan kamar tidurku dan aku akan tidur di sini. Aku tidak akan melukis selama tiga bulan ke depan dan meskipun aku harus melakukannya, aku tidak akan melakukannya di sini."

"Apa?"

Oliver mengacungkan jari telunjuk ke udara, memberikan isyarat bagi Maya untuk diam. "Aku belum selesai," ucapnya lalu mencondongkan badan ke depan. "Kau hanya boleh bicara saat mengingatkan jadwal. Kau akan mengemudikan mobilku tapi tidak dengan pakaian seperti itu. Aku hanya makan satu kali sehari. Aku tidak suka ada makanan di ruang kerjaku."

Maya melirik kantung plastik berisi makanan dalam genggamannya lalu menyembunyikannya di balik badan, menimbulkan bunyi gemerisik yang samar.

"Aku hanya mendengarkan musik jazz," lanjut Oliver. "Aku tidak suka menyalakan lampu saat malam hari. Aku tidak punya ponsel, aku yakin kau sudah tahu itu. Dan itulah alasan terbesar kau dibutuhkan di studioku - sebagai pengantar pesan."

Maya merasakan isi kepalanya membengkak dengan pertanyaan yang menyerbu otaknya. Ada begitu banyak yang ingin ia tanyakan tapi, tentu saja ia hanya membungkam mulut dan menelan rasa ingin tahunya bulat-bulat.

"Dan apapun yang terjadi, kau akan memberitahu Daniel kalau segalanya baik-baik saja. Aku yakin kau cukup pintar untuk tidak membuatku mengulang perkataanku."

Maya mengangguk-angguk mantap.

"Apa jadwalku hari ini?"

Maya sontak mengeluarkan ponselnya dan bergerak cepat. "Pertemuan tahunan alumni The Slade School of Fine Arts."

Bersamaan dengan itu Oliver mengerang dan melempar benda terdekat dalam jangkauannya. Dan benda malang itu adalah kaleng berisi kumpulan kuas cat yang telah mengering. Bunyi kaleng yang menabrak tembok serta kuas-kuas cat yang berserakan di lantai membuat Maya terkesiap. Jantungnya melonjak kaget namun ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menunjukkannya.

Tenang Maya... semuanya akan baik-baik saja. Tarik napas dalam-dalam... ya, seperti itu. Maya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Tak lama setelah terdiam cukup lama, Oliver bangkit berdiri dan berjalan mendekati Maya yang sontak melangkah mundur. Ia lalu mengulurkan sebelah tangannya, "Kunci mobil."

Maya mengerjap, bingung.

"Berikan aku kunci mobilku," ulang Oliver sambil menagih dengan tangannya.

"Mr. Young tidak menyarankanmu untuk mengemudi," gumam Mia.

Oliver mencondongkan wajahnya mendekat pada Mia yang menarik diri. "Apakah aku terlihat seperti bisa diajak berkompromi?"

Maya menelan ludah dengan susah payah lalu buru-buru merogoh isi tasnya dan meletakkan kunci mobil pemberian Daniel ke atas permukaan tangan Oliver.

Oliver merampasnya dengan kasar lalu berjalan menuju pintu apartemen. "Ikuti aku," perintahnya dengan tajam.

***

Oliver Wayne membawanya ke sebuah butik mewah di kawasan Mayfair, London. Lelaki itu memerintahnya untuk mengenakan gaun formal selutut berwarna putih pilihannya sementara ia mencoba satu dan dua pasang tuxedo di butik yang sama. Setelah selesai mengenakan gaun, Maya hanya duduk di bangku tunggu di depan ruang ganti, memandang kekosongan dengan bisu.

Mengapa ia mendadak merasa seperti orang bodoh? Seseorang yang menuruti perintah tanpa membantah dan hanya diam saja meski diinjak-injak.

Yah, sebenarnya Oliver tidak benar-benar menginjak harga dirinya. Hanya saja, ia merasa seperti orang bodoh karena tidak tahu apa-apa dan ia tidak diijinkan untuk bertanya karena kalau Maya melakukannya, ia yakin Oliver akan melempar tatapan mematikannya dan siapa yang tahu kalau pria itu sesungguhnya psikopat yang sudah membunuh banyak wanita?

Maya menggelengkan kepala, mengenyahkan isi pikirannya yang mulai melantur. Ia benar-benar sudah terlalu banyak membaca novel kriminal.

Mobil sedan Bentley milik Oliver hanya bisa memuat dua orang di dalamnya. Maya duduk di sebelah Oliver yang terlihat begitu fokus menatap jalanan dengan sebelah tangan mencengkeram roda kemudi dan sebelah tangannya yang lain menggenggam pedal gigi di sampingnya. Meski lelaki itu terlihat menyeramkan seperti sebelumnya, tuxedo hitam mahal yang membalut tubuhnya serta rambut panjangnya yang kini digel rapi membuat Oliver terlihat lebih menarik dari sebelumnya. Lebih berkarisma.

Maya buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela saat mobil Oliver berhenti di lampu merah.

"Pertemuan ini seperti pesta formal. Dan tamunya diharuskan datang berpasangan. Daniel tidak di sini, jadi aku terpaksa mengajakmu," jelas Oliver tanpa melepaskan tatapannya dari jalanan.

Maya dapat merasakan ketegangan pada otot bahunya mengendur. Dan meski ia tahu ia tidak seharusnya bicara, Maya membuka mulut, "Terima kasih karena sudah menjelaskan."

Oliver tak bereaksi. Kemudian ia menginjak pedal gas dengan lembut lalu beberapa menit kemudian mobil berhenti di pelataran lobi sebuah hotel raksasa yang asing. Dari tempat duduknya, Maya dapat melihat mobil-mobil mewah lainnya berhenti untuk menurunkan penumpang-penumpang berpakaian elit. Pemandangan itu membuat Maya menelan ludah dan menunduk menatap pakaiannya. Ah, ya. Ia lupa kalau Oliver sudah mendandaninya. Gaun putih berenda yang ia kenakan benar-benar cantik.

Maya masih tersenyum saat seseorang tiba-tiba membuka pintu di sampingnya. Ia lalu berpaling pada Oliver yang sudah lebih dulu turun dari mobil. Melihat itu, Maya melompat turun lalu berlari-lari kecil menyusul Oliver.

"Aku hanya ingin kau melakukan satu hal," ucap Oliver saat Maya berdiri di sampingnya.

"Jangan mengatakan apapun selama aku berada di dalam. Aku mengerti," balas Maya sambil mengangguk mantap.

Oliver memandang Maya cukup lama sebelum mengeraskan rahang dan berkata, "Berpura-puralah menjadi pasanganku."

***

Seumur hidupnya, Oliver tak pernah memohon kepada seseorang untuk membantunya. Ia harus berpikir dua, tiga sampai belasan kali sebelum akhirnya melontarkan apa yang baru saja ia katakan pada Maya. Kalau wanita itu menolak permintaannya, Oliver bersumpah ia akan memecat Maya saat itu juga dan mungkin akan melakukan hal yang lebih mengerikan daripada itu.

"Tentu," jawab Maya, singkat.

Oliver mengerjap, ringan. Well, itu lebih mudah dari dugaannya. Atau... gadis itu tidak mengerti apa yang dimaksud dengan 'pasangan'? Apakah ia harus menjelaskan lebih detil lagi?

Tidak. Tidak perlu. Ia tak perlu membuat situasi lebih canggung dan rumit dari apa yang sudah ada. Ia hanya melakukan ini karena ia tahu ia harus berhadapan lagi dengan Fred Alfie. Lelaki yang selalu berusaha untuk mempermalukannya di depan umum.

Terakhir kali Oliver berurusan dengan Alfie adalah enam bulan yang lalu, di sebuah pameran lukisan Gold Atson di Paris. Lelaki brengsek itu dengan sengaja membeli karya lukisannya dan menuduhnya telah meniru salah satu karya lukisan Gold Atson di depan awak media. Kalau saja Daniel tidak bersamanya saat itu, ia yakin ia sudah melakukan lebih dari sekedar melayangkan tinju ke wajah Alfie. Lelaki itu pernah menyebarkan rumor yang tidak benar tentang dirinya, mencuri ide seninya, mensabotase transaksinya dengan kolektor seni. Oliver benar-benar tidak mengerti kenapa Alfie selalu mengusiknya sejak hari pertama mereka bertemu.

Oliver membimbing Maya yang menggandeng sikunya lembut, melewati pintu masuk lobi dan menuju aula hotel. Pertemuan alumni The Slade School diadakan dalam bentuk pameran seni yang berlangsung di gedung aula hotel. Begitu memasukinya, Oliver dapat melihat patung pahatan raksasa di tengah ruangan, lukisan-lukisan abstrak dan kontemporer yang tergantung di sana-sini. Alunan musik klasik terdengar menggaung dengan indah, memenuhi setiap sudut aula.

"Apa kau peminum handal?" tanya Oliver pada Maya sambil menyapu seisi ruangan dengan matanya.

"Aku bisa minum satu-dua gelas champagne tanpa masalah," jawab Maya, terus terang.

"Bagus." Oliver memberhentikan seorang pramusaji yang kebetulan melewatinya dengan nampan gelas-gelas kaca berisi anggur putih. Ia mengambil dua gelas dan memberikan satu pada Maya. "Ini."

Oliver dapat melihat Maya menyesap minumannya dan mengernyit samar. Pemandangan itu nyaris membuat Oliver tersenyum.

"Ramai sekali," gumam Maya.

"Kupikir aku sudah mengingatkanmu untuk tidak bicara."

"Aku bicara pada diriku sendiri."

"Itu juga dilarang," tukas Oliver sambil meneguk anggurnya. Beberapa detik setelah itu, Oliver dapat mendengar Maya mendengus keras. Sebuah hembusan napas yang mengartikan kelelahan. Atau... ketidakpuasan? Suara itu membuat Oliver mengerutkan alisnya. "Apa-apaan itu?"

"Apa?" Maya balas bertanya, kali ini sambil mengangkat wajah menatap Oliver. Tatapan yang kini tak dinaungi kecemasan seperti apa yang terlihat sebelumnya. Ada sesuatu dari sinar mata gadis itu yang seolah sedang menantangnya.

"Apa aku baru saja mendengarmu mengeluh?"

"Aku tidak mengatakan apa-apa," bela Maya lalu menyeruput anggurnya sekali lagi.

"Tapi aku mendengarmu mendesah."

"Semua orang mendesah."

"Ya tapi tidak seperti apa yang baru saja kau lakukan," tegur Oliver, kini berdiri menghadap Maya yang menatapnya lurus-lurus.

"Entahlah. Mungkin kau benar. Mungkin aku baru saja menyadari kalau ucapan Mr. Young ada benarnya," jawab Maya lalu meminum anggurnya lagi dan lagi. "Mungkin aku memang harus lebih tegas padamu, Mr. Wayne. Karena sepertinya itulah satu-satunya cara aku bisa bertahan sebagai satu-satunya asisten yang tidak mengundurkan diri setelah diinjak-injak olehmu."

"Apa?"

Oliver belum sempat melanjutkan keluhannya ketika ia merasakan keberadaan seseorang dari balik punggungnya. Ia mengeraskan rahang begitu berbalik dan berhadapan dengan pria yang sejak tadi ia hindari pertemuannya; Fred Alfie.

"Lama tidak bertemu, Wayne."

Alfie berjalan menghampirinya didampingi seorang wanita berambut merah yang mengapit sikunya. Melihat itu, Oliver langsung menarik Maya ke sisinya. "Aku sibuk."

Tatapan mata Alfie tertuju pada Maya saat membalas, "Aku bisa melihat kenapa kau sibuk."

"Ya, bukan urusanmu. Ayo." Sebelah tangan Oliver menempel di balik punggung Maya, mendorongnya untuk berjalan menjauh saat tiba-tiba suara Alfie terdengar lagi. "Apa dia wanita sewaan?"

Suara Alfie sedikit lantang saat melontarkan pertanyaan itu. Oliver bisa merasakan beberapa pasang mata mengarah kepadanya. Ia mengeraskan rahang saat berbalik pada Alfie, "Apa katamu?"

Alfie tersenyum puas sambil melipat tangan di dada. "Aku mendengar dari beberapa orang dari kalangan chef yang sering melihatmu berduaan bersama pria di restoran. Siapa itu - Daniel? Manajer pribadimu? Atau... tunanganmu? Jadi karena itulah kau tidak pernah terlihat bersama wanita? Atau, jangan-jangan... kau menyukaiku?? Ya ampun. Bagaimana ya, aku menyukai wanita."

Oliver merasakan kedua tangannya mengepal, siap melayangkan tinju. Mungkin malam ini saat yang tepat untuk menghajar Alfie sampai babak belur. Karena Daniel tidak ada untuk menghalangnya.

Oliver baru hendak melangkah maju ketika Maya menyentuh lengannya, menahannya dan berjalan melewatinya, mendekati Alfie yang kini mengangkat alisnya tinggi-tinggi ke arah Maya.

Maya kini berdiri berhadapan dengan wanita berambut merah yang menjadi pasangan Alfie. Tanpa menggubris sorot mata tajam Alfie yang melebar, Maya tersenyum pada wanita itu dan membuka suara, "Apa kau salah satu wanita simpanannya?"

Mendengar pertanyaan Maya, wanita itu mendelik kaget. "Apa katamu?!"

"Edwards," panggil Oliver dengan suara rendah.

Namun Maya tak menggubrisnya. Ia lanjut berkata, "Kudengar dari kalangan mahasiswa kalau pasanganmu ini sering berkencan dengan wanita yang berbeda-beda."

"Hei! Jangan bicara macam-macam! Aku bisa saja menuntutmu!" ancam Alfie yang kini berdiri menghadangnya.

Maya tersenyum miring lalu melirik Alfie, "Kalau begitu aku juga bisa melakukan hal yang sama pada Anda. Karena sudah mencemarkan nama baik Oliver Wayne."

Maya memiringkan kepalanya pada pasangan Alfie yang kini membelalakkan mata ke arahnya. "Kalau dilihat-lihat dari jari tanganmu yang kosong, sepertinya pasanganmu ini memang tidak menunjukkan kalau dia serius."

"Hentikan!" bentak wanita itu.

Namun Maya mengangkat tangan kanannya dan memamerkan cincin perak dengan berlian kecil di tengah-tengahnya. "Sayang sekali. Oliver baru saja melamarku hari ini."

Tepat saat itu juga wanita berambut merah yang berdiri di hadapannya angkat kaki dan berlari meninggalkan ruangan dengan beberapa pasang mata mengarah padanya. Tak lama setelahnya, Fred Alfie berlari menyusul wanita itu, meninggalkan ruangan seperti sedia kala. Maya masih berdiri di tempatnya saat Oliver meraih pergelangan tangannya dan menariknya keluar dari sana. "Ikut aku."

Oh, bagus. Maya yakin ia dalam masalah besar.