webnovel

Satu

Daniel Young berjalan pelan sambil berdansa ringan mengikuti alunan musik yang keluar dari earphone tanpa kabel miliknya di telinga. Ia berjalan mendekati salah satu gedung dua tingkat yang berada di pinggir jalan di area Bethnal Green. London yang selalu kelabu hari ini menampakkan cahaya matahari yang hangat. Bukankah ini pertanda kalau hari ini akan menjadi hari yang baik?

Ia percaya begitu. Tapi sepertinya tidak semua orang berpikir demikian. Daniel percaya kalau ada seseorang yang tidak peduli dengan cuaca kota London yang berubah cerah dalam satu hari. Sementara orang-orang bersyukur dan bersenang-senang dengan kehangatan cahaya matahari yang menenangkan di tengah-tengah musim gugur, Daniel tahu ada satu orang yang tidak peduli.

Orang itu tinggal di salah satu gedung tua yang bertengger kokoh di hadapannya saat ini. Sahabat dekatnya sejak kecil, Oliver Wayne.

Daniel sangat yakin kalau Oliver masih menutup jendela kamarnya, membiarkan kanvas tak terpakai serta bekas-bekas cat bergeletakan di atas lantai, terlalu sibuk menciptakan karya-karya lukisan baru untuk menyadari hari apa sekarang atau bahkan untuk menghirup udara segar di luar.

Ia harus memastikan apakah makhluk itu masih hidup dengan cara mengunjunginya secara langsung karena temannya itu hidup tanpa elektronik. Ya, Oliver Wayne adalah satu-satunya orang di lingkar sosialnya yang tidak punya ponsel. Hanya Daniellah yang bisa memastikan kehidupan temannya baik-baik saja karena tak ada satu orang pun yang berani menginjakkan kaki di flat Oliver. Tak ada satu pun, termasuk asisten-asisten yang pernah bekerja untuknya.

Daniel berjalan menaiki tangga ke lantai dua sambil melepaskan earphone dari telinganya. Ia kemudian mengetuk pintu studio kerja sekaligus tempat tinggal Oliver yang terletak di lantai dua. Seperti biasa, tidak ada tanda kehidupan pada ketukan pertama. Karena itu, Daniel menekan bel berulang-kali sampai akhirnya Oliver membuka pintu dengan paksa dan menyapanya dengan raut wajah terusik.

"Oh, syukurlah. Kau masih hidup rupanya," ucap Daniel sambil tersenyum penuh.

"Kau berharap aku mati? Lagipula bukankah kau punya kunci cadangan?" tanyanya lalu membiarkan Daniel masuk.

"Aku harus memastikan kau baik-baik saja. Ingat, 'kan? Tugas seorang manajer," jelas Daniel lalu berjalan memasuki studio kerja Oliver sementara Oliver menutup pintu.

Pemandangan flat Oliver tidak ada perubahan. Ia menyadari ada papan-papan kanvas yang tersandar di sisi tembok. Kanvas dengan lukisan-lukisan yang sudah disempurakan. Daniel membuka tirai jendela ruangan dan membuat cahaya matahari menembus kaca, memenuhi apartemen dengan kehangatan. Ia dapat melihat Oliver mengernyit merasakan sinar matahari menghantam wajahnya.

Ruang duduk studio Oliver hanya dilengkapi sofa kecil di sudut ruangan dan meja pendek di depannya. Oliver sengaja mengosongkan ruang duduknya untuk dipakai bekerja. Lantai kayunya dihiasi bekas cipratan cat yang telah mengering di sana-sini. Bau cat dan udara yang muluk membuat Daniel hampir terbatuk. Ia buru-buru membuka jendela sambil berdeham, "Kau punya janji di galeri Brixton hari ini."

"Hmm," gumam Oliver sambil menyesap air putih di dapur.

"Itu artinya kau harus mandi," ucap Daniel menekankan maksud kedatangannya.

Selain menjadi teman dekat Oliver, Daniel juga bertanggung-jawab mengatur jadwal pertemuan Oliver dengan kolektor seni, pemilik galeri serta pengatur pameran. Entah sejak kapan ia memutuskan untuk membantu Oliver mengatur kehidupannya tapi, Daniel merasa senang bisa menjadi manajer pribadi temannya itu.

"Ya, aku tahu," tukas Oliver sambil menghempaskan badan di atas sofa.

"Sudah berapa lama?"

"Satu minggu."

Daniel menghela napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mengerti bagaimana seseorang bisa bertahan satu minggu tanpa bersentuhan dengan air."

Daniel mendecakkan lidah lalu berdiri di samping sofa di ruang duduk, di mana Oliver mengangkat kaki dengan sikap tak acuh. "Menurutmu mereka akan membelinya dengan harga tinggi kali ini?" tanya Daniel, perhatiannya terkunci pada salah satu papan kanvas terbesar yang bertengger di pojok ruangan.

"Sekurang-kurangnya 10,000 Pounds," gumam Oliver sambil menatap lurus ke arah hasil karyanya. "Aku tidak keluar rumah selama hampir satu bulan demi lukisan itu."

"Benar juga. Kau pantas menerima lebih." Daniel memanggut setuju. "Apalagi kalau diingat-ingat kau bahkan tidak mandi selama berhari-hari dan terlebih lagi, hampir mati kelaparan kalau aku tidak datang beberapa hari sekali."

"Begitulah." Oliver hanya mengendikkan bahu. Ia kemudian membetulkan posisi duduknya, mencondongkan badan sambil setengah membungkuk.

Daniel baru saja hendak beranjak ketika ia teringat sesuatu. Kedua alisnya terangkat tinggi, "Oh, apa aku sudah memberitahumu? Asisten barumu akan datang hari ini."

Oliver hanya melirik temannya saat mendengus. "Kubilang aku bisa mengurus diriku sendiri. Kau hanya akan berada di Dublin selama... satu bulan?"

"Tiga," koreksi Daniel.

Oliver bangkit berdiri dan mengangguk dengan wajah terusik. "Ya, ya. Apalah itu. Aku membutuhkan privasi untuk bekerja. Asisten-asisten kirimanmu itu selalu menggangguku. Aku tidak bisa konsentrasi."

"Mereka hanya berdiri di sudut ruangan dan bernapas, tanpa melakukan apapun. Dan kau memarahi mereka kalau mereka tidak sengaja bersin atau hanya sekedar berdeham."

"Ya, itu mengganggu. Mendengar mereka bernapas benar-benar mengganggu, aku tidak bisa konsentrasi."

Daniel menggelengkan kepala, tidak percaya. Ia mendengus lalu mendecakkan lidah, "Ubahlah sedikit sifatmu itu. Pokoknya selama aku pergi, kau harus baik-baik pada asistenmu kalau tidak mau karirmu melayang ke udara seperti uap."

Oliver berjalan melewati Daniel lalu memasuki kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan kamar tidur. Tak lama setelahnya Daniel dapat mendengar suara pancuran air dari dalam. Dan bersamaan dengan itu, ponselnya berdering nyaring.

Daniel mengeluarkan ponsel kemudian berdiri tegap ketika melihat nama yang muncul di permukaan layar. Ia langsung menjawabnya, "Oh, Miss Edwards? Apa Anda sudah tiba?"

"Ya. Saya sudah ada di depan gedung. Apa saya harus menekan bel?"

Suara wanita di ujung sana terdengar begitu manis, begitu merdu seperti suara penyanyi. Namun Daniel langsung menyadari satu hal tentang asisten baru Oliver begitu mendengar suaranya; wanita itu tak memiliki aksen Britis.

"Aku akan membukakan pintu dan Anda bisa langsung naik ke lantai dua. Studio nomor 201."

Setelah mematikan ponsel, Daniel buru-buru menekan tombol di sudut ruangan untuk membuka pintu utama gedung. Ia memastikan ruang kerja Oliver terlihat layak sebelum akhirnya bersiap untuk membuka pintu studio.

Di depan ambang pintu, berdiri seorang wanita muda bertubuh ramping dengan rambut panjang ikal yang terjuntai menyentuh bahunya. Wajahnya mungil, hidungnya tajam dan kedua matanya memancarkan sinar yang hangat. Wanita itu kemudian tersenyum ramah ketika bertemu-pandang dengan Daniel.

"Miss Maya Edwards?" tanya Daniel lalu menepi, memberikan ruang bagi Maya untuk melangkah masuk.

"Senang bertemu dengan Anda, Mr. Young. Permisi," balas Maya seraya Daniel menutup pintu di belakangnya.

Daniel dapat melihat Maya melihat ke sekeliling studio ketika ia berjalan melewatinya.

"Seperti yang Anda lihat, ini adalah studio pribadi sekaligus tempat tinggal Mr. Wayne atau yang lebih dikenal dengan Oliver Wayne," jelas Daniel. "Pekerjaanmu hanyalah memastikan Mr. Wayne menepati janji temunya dengan klien, mengantar hasil lukisannya ke galeri atau pameran tertentu dan terlebih lagi, memastikan Oliver Wayne masih hidup selama beberapa hari sekali."

Daniel dapat melihat Maya mengangkat kedua alisnya, kaget ketika mendengar kalimat terakhir. Ia tertawa lalu menambahkan, "Well, seperti yang Anda tahu, seniman bisa sering lupa waktu. Mereka bahkan bisa sampai tidak makan berhari-hari. Tugasmu adalah memastikan Oliver tidak lupa waktu. Tapi, itu akan menjadi hal yang sangat sulit."

"Oh, begitu?" Maya akhirnya bereaksi.

Daniel mengangguk, mantap. "Eh, aku mungkin belum memberitahumu tapi, Oliver bukan orang yang ramah. Dia keras kepala, banyak orang yang menilai Oliver sebagai orang yang dingin. Dia akan sering memarahimu karena hal-hal kecil atau bahkan tak menganggapmu ada. Dan satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah bersikap tegas. Kau harus jadi lebih keras darinya."

Maya menelan ludah. Ia tidak tahu ia akan mendengar begitu banyak hal-hal tidak menyenangkan tentang Oliver Wayne dalam pertemuan pertamanya. Ia sengaja melamar kerja sebagai asisten pribadi karena ia tahu ia akan bertemu dengan Oliver Wayne. Tapi, ia tak tahu kalau pekerjaannya akan terdengar sesulit ini. Ia ingin melarikan diri tapi, bukankah sudah terlambat untuk itu?

"Akan saya ingat baik-baik," ucap Maya sambil mengangguk pelan.

"Aku akan mengirim jadwal janji Oliver selama tiga bulan ke depan lewat e-mail. Dan kalau kau kesulitan atau memiliki pertanyaan, kau bisa menghubungiku lewat skype. Oh, dan apa kau bisa menyetir?"

Maya mengangguk, baru hendak menjawab ketika bunyi pancuran air dari dalam kamar mandi yang sejak tadi memenuhi ruangan, mendadak berhenti. Ia melirik ke sumber suara ketika menjawab, "Ya, aku bisa menyetir."

"Oh, itu berita bagus. Karena Oliver tidak suka kendaraan umum. Ia hanya mau menaiki mobil pribadinya."

Daniel sepertinya masih ingin melanjutkan ucapannya tapi kalimatnya terpotong bunyi pintu kamar mandi yang mendadak terbuka. Uap yang tebal mengebul keluar dari dalam, dan bersamaan dengan itu, sesosok pria jangkung berbalut jubah handuk berjalan keluar. Lelaki itu mengusap rambutnya yang basah kuyup dengan handuk kecil di sebelah tangannya. Kemudian matanya yang tajam mengintip dari sela-sela juntaian rambutnya yang meneteskan air ke lantai dan beradu-pandang dengan Maya.

Tepat saat itu, Maya merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Permukaan tangannya mulai berkeringat. Ia menelan ludah saat dirasanya tubuhnya bergetar samar.

Setelah bertahun-tahun mencari, ia tak percaya kalau ia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk bisa melihat Oliver Wayne secara langsung. Pria kepada siapa ia berhutang permintaan maaf.

Maya, awalnya bertekad untuk berterus terang dan mengatakan yang sejujurnya pada Oliver. Tapi, melihat tatapan setajam, sedingin dan semenakutkan itu, siapa yang berani memohon ampun atas apa yang telah ia lakukan?