webnovel

Lima

Musim gugur, 1998

Maya memberengut sebal ketika berjalan menuju belokan jalan yang mengarah ke rumahnya. Sebelah tangannya menggenggam erat tali balon merah yang ia dapatkan dari guru favoritnya, Miss Raymonds. Kata Miss Raymonds, ia adalah murid terbaik bulan ini di TK Bright Sun dan tentu saja ia mau memamerkannya pada ayahnya. Tapi, satu-satunya orang yang ingin ia buat terkesan malah tidak datang. Kata Miss Raymonds, ayahnya mendapatkan panggilan mendadak dari kantor pemadam kebakaran yang membuatnya tidak bisa datang.

Suasana hatinya yang riang berubah buruk seketika. Saking sebalnya, Maya memutuskan untuk keluar dari sekolah dan diam-diam berjalan pulang sendiri. Dia sudah besar. Dia ingat dan tahu jalan menuju rumahnya. Ia tidak butuh orang dewasa untuk menuntunnya pulang. Untuk apa mempunyai orang dewasa menuntunnya pulang kalau orang itu tidak ada saat dibutuhkan?

Hmph!

Orang-orang bilang ayahnya adalah pahlawan kota London. Namanya terpampang di sana-sini bahkan Maya dapat melihat foto ayahnya di papan pengumuman sekolahnya. Awalnya ia merasa bangga tapi, lama kelamaan, ia tidak menikmatinya sama sekali.

Pahlawan yang terkenal itu tidak pernah ada di rumah. Tidak pernah bermain dengannya, melewatkan ulang tahunnya yang kelima beberapa hari lalu. Pahlawan macam apa itu? Siapa yang bangga mempunyai ayah seperti itu? Untuk apa menyelamatkan banyak orang kalau dia sendiri tidak sayang pada puterinya?

Hmph!

Maya menghentakkan kaki untuk kesekian kalinya, seolah tindakannya itu bisa menghilangkan gemuruh rasa sebal yang membuat kedua pipinya merah saat ini. Gerakan kakinya membuat Maya sadar kalau sebelah tali sepatunya lepas. Maya seketika berhenti berjalan.

Ia menunduk menatap tali sepatunya yang terkulai menyentuh tanah. Lalu ia mengangkat wajah tinggi-tinggi ke arah balon merah yang terbang tinggi di udara. Maya menelan ludah lalu mempererat genggaman tangannya pada tali balon.

Maya berjongkok di pinggir jalan lalu berpikir keras. "Kalau aku mengikat tali sepatu, siapa yang memegangi balonku?... Atau aku bisa mengikatnya di suatu tempat sementara aku mengikat tali sepatu... ya, itu ide yang bagus," pikir Maya dalam hati.

Benda kokoh terdekat yang bisa ia gunakan saat ini adalah kotak pos hitam yang bertengger di pinggir jalan. Maya berjalan dengan hati-hati lalu mengikat tali balonnya pada tiang kotak pos dengan cepat.

"Kalau tidak salah, mengikat tali itu seperti ini, bukan? Diputar begini... lalu masukkan ekor talinya ke dalam dan diikat seperti ini..." Maya berpikir keras, tak menyadari lidahnya yang menjulur keluar saat berkonsentrasi.

Setelah yakin balonnya berdiri dengan kokoh, Maya beralih pada tali sepatunya. Nah, sekarang bagaimana caranya mengikat tali sepatu?

Maya menarik dua tali sepatunya dengan hati-hati, memutarnya, memasukkannya, menyilangkannya dan menariknya lagi dan lagi. Namun ia menggeram sebal saat kedua tali menyebalkan itu tak kunjung terikat.

"Ugh!!"

Bersamaan dengan erangan Maya yang nyaring, tali balon merah yang terikat di tiang kotak pos mengendur dan perlahan-lahan bergerak tertiup angin. Tepat saat tali balon merah Maya terlepas, Maya mengangkat wajah dan melompat kaget.

"Balonku!!"

Angin musim gugur meniup balon merah Maya ke arah jalan raya. Maya melompat-lompat, berusaha meraih tali balonnya yang terulur ke arahnya. Sedikit lagi... sedikit lagi...

"Ugh... ugh!"

Maya melambai-lambaikan sebelah tangannya sambil melompat-lompat tinggi, berharap usahanya dapat mengangkatnya lebih tinggi, lebih dekat untuk meraih balonnya. Jari-jarinya terulur ke udara, jari tengahnya menyentuh tali balon yang menjuntai ke arahnya, satu lompatan terakhir dan... HAP!!

"Berhasil!!! Balonku!"

Maya tersenyum penuh ketika akhirnya berhasil menggenggam tali balon merahnya. Wajahnya terangkat tinggi ke udara, menatap balonnya, tak menyadari suara klakson mobil nyaring yang mendekat ke arahnya. Maya mengikuti sumber suara tersebut dan menjerit histeris saat sebuah mobil sedan melaju kencang ke arahnya. Ia menutup matanya erat-erat, tak ingin melihat apa yang akan terjadi padanya selanjutnya.

Namun hal selanjutnya yang ia tahu, sebuah kekuatan besar mendorong Maya hingga terlempar ke trotoar di seberang jalan. Suara letusan balon yang nyaring bercampur dengan suara decitan roda mobil yang beradu dengan aspal. Maya dapat mendengar suara wanita yang kesakitan setelahnya.

Tak lama setelah itu, Maya memberanikan diri membuka mata.

Keadaan sudah kacau-balau. Beberapa mobil saling menubruk satu sama lain, asap yang mengebul dari kap mobil yang rungsuk serta orang-orang yang berlari mengerumuni lokasi kecelakaan. Maya hanya bisa berdiri di pinggir jalan saat seseorang menghampirinya sambil bertanya, "Apa kau baik-baik saja, Nak?"

Maya tak menjawab. Kedua matanya tertuju pada wanita yang kini tergeletak di atas jalan, berselimut darah yang menggenang di aspal. Wanita itu terdampar tak berdaya di sana, dikelilingi orang-orang yang sesekali melempar tatapan syok ke arahnya.

Tak lama kemudian, dua bocah laki-laki berlari, menerobos kerumunan orang. Salah satu anak lelaki itu jatuh bersujud di samping wanita yang tergeletak di sana, mengguncang-guncang tubuhnya sambil menjerit histeris. "Mum!! Mum!! Mum!!"

Mum.

Anak lelaki itu... wanita itu... wanita itu adalah ibunya. Wanita itu tak menjawab. Apa yang sebenarnya terjadi?

Maya masih tak bergeming saat melihat pemandangan itu. Ia baru hendak berjalan menghampiri wanita itu ketika bocah lelaki yang sejak tadi berjongkok di sana tiba-tiba berdiri dan berlari cepat ke arahnya. Kedua mata Maya melebar histeris ketika bocah lelaki itu mendorong tubuhnya dengan kuat, membuatnya nyaris terjatuh ke tanah.

"Ini semua salahmu!!! Ini semua karena kau! Kau membunuh ibuku!!"

Seorang wanita yang sejak tadi berdiri di sampingnya, berjongkok di antara dirinya dan bocah lelaki itu, mencoba melerai.. Bocah lelaki yang menatapnya dengan penuh kebencian yang membara di kedua matanya yang merah. Lelaki dengan topi biru tua dan jaket seragam sekolah yang membalutnya. Dari tempatnya berdiri Maya dapat melihat label nama yang tertempel di jaketbseragamnya. Label bertuliskan 'Oliver Wayne'.