webnovel

Empat

Oliver menarik Maya ke balkon aula di lantai dua, dimana pelataran lobi hotel serta mobil yang berlalu-lalang tampak begitu jelas. Langit sudah berubah gelap dengan sinar bulan sabit yang bertengger di atas. Kedatangan mereka membuat keberadaan beberapa tamu yang ada di balkon mengosongkan tempat, menyisakan hanya Oliver dan Maya di atas balkon.

Maya langsung menyudut di pojok balkon saat mendengar Oliver menghembuskan napas dengan kasar.

"Apa yang kau pikirkan?!" seru Oliver, membuat Maya nyaris terhentak.

Biasanya, Maya hanya diam saja dan mungkin menahan tangis jika dibentak seperti itu. Tapi, pengaruh alkohol dalam darahnya membuatnya berpaling pada Oliver dengan kedua mata terbuka. "Aku tidak bisa diam saja melihat orang seperti itu. Apalagi saat dia menjelek-jelekkan namamu. Apalagi, saat aku melihatmu sudah siap melayangkan tinju ke wajahnya."

"Aku tidak berencana untuk memukulnya!" Oliver mengelak.

Maya mengendus, "Benarkah? Kepalan tanganmu yang memerah tidak terlihat begitu."

"Tapi kau tidak perlu berbohong untuk menyudutkannya! Kau tidak tahu seperti apa pria itu. Dia akan mencari cara untuk menjatuhkanmu sekarang."

"Aku tidak berbohong," aku Maya. Kedua matanya terpaku pada Oliver yang berdiri dua meter di hadapannya. "Aku tahu siapa laki-laki itu. Teman dekatku adalah salah satu korbannya."

Penjelasan Maya membuat Oliver mengerutkan keningnya, samar.

"Temanku kuliah di institut seni yang sama dengan Anda, Mr. Wayne. Kudengar Fred Alfie adalah salah satu dosen pendatang yang sesekali memberikan kuliah tentang Filosofi Seni di sana. Temanku bercerita dari bagaimana dalamnya kuliah-kuliah yang dia berikan sampai bagaimana lelaki itu meminta nomor pribadinya dan memintanya untuk datang ke apartemennya untuk membantunya mempersiapkan materi kuliah. Emily bukan satu-satunya mahasiswa yang diperlakukan seperti itu. Karena itu aku melakukannya," jelas Maya lalu berbalik menghadap jalanan sambil meletakkan sikunya di atas pagar balkon.

Oliver terdiam. Ia tidak berpikir kalau Maya memiliki alasan yang kuat soal tindakannya. Well, sebenarnya Oliver tak sepenuhnya merasa kesal dengan apa yang telah Maya lakukan pada Alfie. Selama ini, Oliverlah yang dibuat pergi dari ruangan dengan malu oleh Alfie. Dan harus ia akui, melihat Alfie kabur dengan wajah merah padam seperti tadi terasa memuaskan. Dan ia berhutang pada Maya.

Namun, bukankah ia tetap saja atasan yang seharusnya dihormati oleh Maya? Bagaimana pun, Maya telah melewati batas dan tidak mendengarkannya. Karena itu ia membawa gadis itu ke sini untuk memarahinya.

Oliver menjejalkan tangan ke dalam saku celana dan berjalan menghampiri Maya lalu berdiri tak jauh di sampingnya. "Aku tidak membenci apa yang kau lakukan pada Alfie."

Maya mengerjap dan berpaling pada Oliver.

"Tapi aku tidak tahu bagaimana kau akan bertanggungjawab atas ucapanmu yang mengklaim diriku sebagai tunanganmu?"

Pertanyaan Oliver membuat Maya mendelik. Lalu ia menelan ludah sebelum menjawab, "Maksudku, dia menyebarkan rumor tentangmu dan Mr. Young. Dan kupikir untuk membuktikan kalau dia salah adalah memberitahunya kalau kau... menyukai wanita."

"Tentu saja aku menyukai wanita!"

Maya menarik wajahnya menjauh, "Oke, oke. Aku mengerti. Tidak perlu berteriak begitu."

Oliver menghela napas dengan kasar. Selama beberapa detik yang lama, ia dan Maya hanya termenung, menunduk menatap pemandangan jalan dari pagar balkon. Lalu suara dering ponsel yang nyaring memecahkan keheningan. Dari sudut matanya, Oliver dapat melihat Maya mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya yang kecil.

"Halo?" Terdengar suara Maya menjawab telepon. "Oh, hai, babe. Ada apa?"

Oliver mendapati dirinya mendelik kaget. Apa? Apa katanya tadi? 'Babe'?

"Hmm, sudah... Well, begitulah. Sedikit menyebalkan."

Apa? Menyebalkan? Apakah gadis itu sedang membicarakan dirinya? Kepada seseorang yang baru saja dipanggil 'babe' olehnya? Bagaimana mungkin seseorang yang sudah memiliki pasangan bisa memanggil pria lain sebagai tunangannya? Oliver mengerutkan alisnya histeris sambil berusaha keras untuk tak berpaling melihat Maya di sudut balkon.

"Baguslah kalau begitu. Ngomong-ngomong, aku sedang di luar. Bolehkah aku menghubungimu lagi nanti?... Hmm, sampai jumpa."

Begitu Maya menutup teleponnya, Oliver berbalik lalu berjalan cepat memasuki aula, meninggalkan Maya yang kemudian buru-buru mengejar Oliver.

"Apa kita akan pulang sekarang? Apa kau mau aku mengemudikan mobilmu?" tanya Maya sambil berlari-lari kecil di samping Oliver yang mempercepat langkahnya.

"Menurutmu aku akan mempertaruhkan nyawaku kepada seseorang yang akan mengemudikan mobilku dalam keadaan mabuk?" celetuk Oliver kemudian mendadak menghentikan langkahnya dan berpaling pada Maya. "Kau, pulanglah naik taksi. Aku harus pergi ke suatu tempat."

Mendengar itu, kedua mata serta rahang Maya melebar tak percaya. Kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu, dan bagaimana lelaki itu mengucapkannya benar-benar membuatnya geram. Bagaimana mungkin seorang lelaki bisa meninggalkan wanita sendirian di tempat yang tak dikenal terlebih lagi dalam pakaian seperti ini?!

Ugh. Maya menghela napas berat. Awalnya, ia memang merasa seperti mau menyerah saja. Oliver Wayne benar-benar memiliki sifat yang kelewat kasar. Tidak sopan, angkuh, pemarah. Tapi, kalau dipikir-pikir, ia sepertinya ingin mencoba apa yang disarankan Daniel kepadanya. Ia mungkin memang harus bersikap lebih keras pada Oliver Wayne.

Untuk sementara, ia harus melupakan alasan utamanya bekerja sebagai asisten Oliver. Untuk sementara, ia harus mengesampingkan masa lalunya dan berada di masa kini. Entah sampai kapan. Tapi setidaknya sampai Daniel kembali.

Maya membalut punggungnya yang terbuka dengan kain sutera tipis yang didapatnya dari butik. Ia kemudian berjalan turun ke lantai dasar dan keluar mencegat taksi. Tepat saat ia memasuki mobil taksi yang datang, Maya mendengar ponselnya berdering nyaring.

Taksi yang ia kendarai melaju memasuki arus lalu lintas ketika Maya menjawab teleponnya.

"Halo? Maya? Jadi? Apa kau sudah di rumah? Apa kau sudah bisa memberitahuku?"

Maya hampir memutar bola matanya ketika mendengar suara Barbara Smith lagi-lagi menyapa gendang telinganya. Sahabatnya itu memiliki salah satu kelemahan yang terkadang begitu mengganggu. Seperti contohnya, tidak bisa menahan diri kalau ada sesuatu yang mengusik rasa ingin tahunya.

"Sudah kubilang, aku akan memberitahumu begitu sampai di rumah," keluh Maya sambil melempar pandangan keluar jendela mobil.

"Jadi kau belum sampai di rumah? Tidak apa-apa. Apa kau tidak bisa memberitahuku karena kau sedang berada bersamanya sekarang? Apa dia ada di sampingmu?"

Selain tidak bisa menahan rasa ingin tahunya, Barbara atau yang lebih sering disapa 'Baby' oleh teman-temannya itu juga banyak bicara. Kadang-kadang kelebihan -atau kelemahan- Baby itu bisa begitu menganggu. Dan sangat membuat sakit kepala.

"Aku tidak sedang bersamanya," jelas Maya sambil menghela napas panjang. "Aku sedang dalam perjalanan pulang menggunakan taksi."

"Taksi?! Dia mengirimmu pulang dengan taksi?!"

Ya, dia yang dimaksud oleh Baby adalah Oliver Wayne. Barbara adalah satu-satunya orang yang mengetahui siapa Oliver Wayne bagi Maya. Dan begitu mengetahui kalau sahabat dekatnya akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Oliver, tentu saja Barbara tidak bisa menahan diri untuk mencari tahu lebih lanjut.

"Ya, dia tidak seramah yang kita pikirkan," gumam Maya, lebih kepada dirinya sendiri.

Namun Barbara menimpali, "Ya, mungkin itu disebabkan oleh-,"

"Aku," sela Maya.

"Tidak. Kau tidak boleh berpikir seperti itu. Apa yang terjadi padamu dan juga ibunya adalah murni kecelakaan. Kau bukannya dengan sengaja ingin menyeberang jalan untuk mencelakakan ibunya, bukan? Lagipula kau masih kecil sekali waktu itu. Lima tahun?"

Kenyataan itu membuat Maya menarik napas dalam-dalam. "Ya. Aku cukup pintar untuk mengecek keadaan jalan sebelum menyeberang. Itu seperti pengetahuan dasar yang diajarkan pertama kali saat kau masuk taman kanak-kanak. Aku memang bodoh."

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Maya. Kalau ini membantu, ada kekuatan besar di luar kendali kita yang sudah mengatur hidupmu sejak kau lahir dan mungkin sampai kau mati nanti. Dan itu disebut takdir. Kau tidak cukup kuat untuk mengubahnya," jelas Barbara panjang-lebar. "Dan meski bukan ibunya, aku yakin ada orang lain yang akan menyelematkanmu kalau kau memang ditakdirkan untuk tidak mati waktu itu."

Lucunya, Maya berharap dalam hati kalau ia saja yang mati.

Takdir. Satu hal yang selalu dibangga-banggakan oleh Barbara tanpa henti sejak kecil. Temannya yang satu itu begitu percaya dengan yang namanya takdir. Kalau segala hal dalam kehidupan sudah diatur dan tidak bisa berubah. Namun menurut Maya segala sesuatu yang ia lakukan memberikan dampak untuk kehidupan orang-orang lain. Seperti merampas nyawa ibu anak lelaki yang tidak bersalah, misalnya.

"Begitulah. Tapi, sepertinya aku tidak akan memberitahunya dalam waktu dekat," aku Maya.

"Oh, ya? Menurutmu waktunya tidak tepat?"

Maya mengangguk, melupakan fakta kalau tidak ada yang bisa melihatnya. "Mm-hmm. Mungkin aku akan memberitahunya saat Daniel kembali nanti. Untuk saat ini, lelaki itu membutuhkan seseorang untuk mengatur hidupnya. Aku harus melakukan pekerjaanku yang sebenarnya."