webnovel

Dua

"Apa?! Ratusan ribu Poundsterling?! Lukisannya berharga semahal itu?" bisik Maya pada Daniel yang berdiri di sampingnya di koridor museum. "Tidak dapat dipercaya."

Daniel mengangguk ringan sambil tersenyum puas. Entah mengapa ia merasa begitu bangga memamerkan temannya kepada orang lain meski ia tak begitu menikmati hasil kerja keras Oliver. Rupanya menjadi teman seorang seniman yang kaya raya memiliki kebanggaannya tersendiri. "Begitulah. Dia seniman yang berbakat."

Maya menggigit bibir sambil sesekali melirik pintu ruang rapat yang tertutup di seberangnya. "Begitu rupanya," ucapnya dengan nada yang terdengar kecewa.

Awalnya, Maya merasa lega karena ia berhasil menemukan Oliver Wayne setelah mencari selama bertahun-tahun lewat usahanya yang payah di internet. Kemudian ia berpikir, mungkin ia dapat bicara empat mata dengan Oliver soal kejadian yang pasti telah membuat hidupnya hancur. Dan tentang siapa yang menyebabkan insiden itu terjadi. Lalu, menurutnya setelah belasan tahun berlalu, Maya yakin kalau Oliver Wayne telah tumbuh menjadi lelaki yang dewasa dan bijaksana, karena telah melewati begitu banyak hal pahit. Namun saat menemukan sebuah website dengan nama lengkap Oliver Wayne, menemukan lukisan-lukisan hasil karya lelaki itu di galeri seni dan menyadari betapa terkenalnya Oliver di bidang seni, Maya merasakan harapannya pupus.

Oliver Wayne rupanya bukan sosok pria biasa yang tinggal di pemukiman pinggiran London seperti dirinya. Oliver Wayne yang sebenarnya adalah pria berkelas, dengan bakat seni yang mengagumkan. Karya-karya seninya dihargai ratusan ribu Pounds dan begitu melihatnya secara langsung, Maya bahkan kehilangan angannya yang mengharapkan pria itu dapat menerima permohonan maafnya. Oliver memiliki sifat yang bertolak belakang dengan yang ada di bayangannya. Kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia dapat meminta maaf pada orang yang berhati dingin- tidak, kepada orang yang tak memiliki hati sama sekali?

Bagaimana kalau ternyata Oliver sudah tahu siapa ia sebenarnya? Karena itukah lelaki itu sama sekali tak memandangnya? Apakah karena itu Oliver bersikap dingin kepadanya?

Tidak. Tidak, tidak. Daniel sudah memperingatkannya soal sifat kejam lelaki itu. Itu berarti Oliver memang bersikap seperti itu kepada orang lain bahkan sebelum bertemu dengannya.

"Maya? Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan Daniel membuat Maya hampir terkesiap. Ia mengerjap dan berdeham, kikuk. "Eh, ya. Aku sedang memproses semua ini."

"Aku tahu. Sepertinya kau sedikit syok. Oliver pasti sangat menakutkan, bukan? Dia itu hanya terlihat seperti itu dari luar. Kalau kau mengenalnya cukup lama, dia akan melunak. Itulah masalah dengan asisten-asisten sebelumnya. Mereka berhenti bahkan sebelum Oliver sempat membuka hati," jelas Daniel sambil melipat tangan di dada. Kemudian ia berbalik menghadap Maya dan melanjutkan, "Karena itu kuharap kau bertahan. Meski tidak lama, setidaknya sampai aku kembali."

"Maaf kalau aku lancang tapi, kemana Anda pergi?"

Daniel mengerjap sebelum menjawab, "Apa aku belum memberitahumu? Aku seorang pemain biola dalam grup orkestra. Dan grupku harus tur ke Irlandia selama tiga bulan, lebih tepatnya di Dublin. Kau pernah ke sana?"

Maya menggeleng, "Aku belum pernah menginjakkan kaki di negara lain."

"Oh? Tapi aksenmu terdengar berbeda."

"Oh, ya. Orang tuaku tidak dari Inggris. Ibuku dari Indonesia dan Ayahku berasal dari Boston, Amerika."

Daniel mengangguk-angguk, mengerti. "Ah, itu sebabnya kau memiliki aksen Amerika."

"Ya." Maya mengiyakan sambil tersenyum.

Daniel dan Oliver benar-benar bertolak-belakang. Oliver seperti gunung es yang sulit untuk dipecahkan sedangkan Daniel, begitu ramah. Berada di dekatnya terasa hangat dan menenangkan. Maya berharap dalam hati kalau ia bisa bekerja sebagai asisten Daniel saja.

KLEK!

Suara pintu terbuka di sampingnya membuat Maya mendongak. Ia dan Daniel serempak berbalik menghadap Oliver yang kini berjalan keluar dari ruang meeting diikuti pria tua berjas yang kemudian mengulurkan tangannya pada Oliver. Lelaki tua itu tersenyum puas saat Oliver balas menjabat tangan.

"Kami akan mengirim uangnya dalam hitungan jam hari ini. Terima kasih, Mr. Wayne. Senang berbisnis denganmu," ucap lelaki tua di hadapannya yang hanya dibalas dengan sunggingan senyum miring oleh Oliver.

Setelah lelaki tua itu kembali memasuki ruangannya dan menutup pintu, Daniel langsung menyeletuk, "Jadi? Berapa yang ia tawarkan?"

"150,000," jawab Oliver, datar.

Kedua mata Maya melebar mendengarnya. Rahangnya terbuka samar di saat yang bersamaan. Reaksi itu mengundang perhatian Oliver yang tiba-tiba beralih ke arahnya. Lelaki itu menatapnya cukup lama, membuat Maya begitu gugup sampai-sampai ia mengalihkan pandangannya.

Meski tak lama, Maya akhirnya mendapatkan kesempatan untuk benar-benar memperhatikan penampilan Oliver. Tubuhnya tinggi dan atletis, rambut hitamnya bergaya undercut dengan bagian atas rambutnya yang dibiarkan memanjang. Maya dapat melihat pancaran kilau lampu ruangan dari puncak kepala Oliver, yang menandakan pria itu menggunakan gel untuk mengatur rambutnya. Tapi, sepertinya lelaki itu tak menggunakannya cukup banyak karena ia dapat melihat bagian rambut Oliver jatuh menutupi dahi, bahkan nyaris menyentuh matanya. Matanya berwarna hijau terang. Meski terlihat mematikan, Maya dapat merasakan secercah kehangat dari pancaran sinar mata Oliver. Sedikit, meski hanya sedikit. Oliver memiliki fitur wajah khas pria Inggris - tulang hidung yang tinggi, bibir yang tipis serta warna kulit yang kelewat pucat. Mungkin Oliver pantas menyandang nama panggilan 'vampir' atau semacamnya.

Kalau dibandingkan dengan Daniel, memang benar-benar berbeda. Ya, seperti air dan api.

Daniel, bertubuh tinggi namun beberapa sentimeter lebih pendek dari Oliver. Warna rambutnya cokelat terang dan berkulit sedikit lebih gelap. Sudut-sudut matanya tertarik turun, berbentuk seperti bulan yang terbelah dua. Saat tersenyum, barisan giginya yang rapi mengintip dari sela-sela bibirnya yang tebal. Dan meski Daniel memiliki aksen British yang sangat kental, ada bagian dari penampilannya yang membuat Maya yakin lelaki itu memiliki darah campuran. Mungkin, dari Asia?

"Apa yang dia lakukan di sini?" Oliver akhirnya membuka suara sambil beralih pada Daniel.

Maya setengah menunduk saat yakin ialah yang dimaksud Oliver.

"Aku mengajaknya agar ia tahu tugas-tugasnya selama menggantikanku. Bukankah itu sudah jelas? Aku akan berangkat besok, jadi hari ini adalah satu-satunya waktu yang tersisa bagi Maya untuk mendapatkan bimbingan," jelas Daniel sambil sesekali tersenyum pada Maya dan menepuk bahunya.

Maya hanya menelan ludah dengan cemas saat dirasanya Oliver lagi-lagi melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

"Kalian tidak lapar? Bagaimana kalau kita makan makanan Korea di restoran dekat akademi tempat Oliver mengajar?" tanya Daniel, memecahkan ketegangan di antara Maya dan Oliver.

Ajakan Daniel membuat Maya mengangkat wajah, "Mr. Wayne mengajar seni?"

Daniel mengangguk, "Ya, aku sudah mengirim jadwalnya ke e-mailmu. Dia mengajar setiap hari Rabu pagi dan tugasmu adalah mengantarnya satu jam lebih awal."

Oliver memutar bola matanya kemudian berjalan meninggalkan Daniel dan Maya yang masih berdiri di tempat.

Tak berapa lama kemudian, Maya, Oliver dan Daniel tiba di sebuah restoran Barbeque ala Korea yang terletak berseberangan dengan Royal Academy of Arts London. Maya tak menyadari betapa kelaparannya ia sampai ia menghirup aroma daging bakar dari dalam restoran. Ia dan kedua lelaki yang memimpin langkahnya diarahkan ke sebuah ruangan VIP di sudut restoran. Setelah memesan, Daniel lagi-lagi memecahkan keheningan. "Jadi, Maya, tugasmu tidak berat, bukan? Kau hanya mengantar Oliver ke sana-sini lalu setelah hari yang panjang, memastikan dia memakan makanannya supaya tidak mati. Dan yang lebih penting, kau tidak perlu bicara dengannya kalau dia tidak mau bicara denganmu."

Daniel menoleh pada Oliver sambil tertawa menggoda. "Aku hanya bercanda," tambah Daniel lalu mencondongkan tubuhnya pada Oliver yang mengerutkan alisnya samar, menatap Maya di seberangnya dengan tatapan terusik. "Kau, Wayne, bukan karena kau benci bicara itu berarti kau bisa mengabaikan Maya seenak hati. Apa kau mengerti?"

Oliver tak menjawab. Lelaki itu masih mengamati Maya dari tempat duduknya seperti orang yang sedang berpikir keras.

Maya berusaha mati-matian untuk tak membalas tatapan mematikan Oliver karena ia tahu kalau ia melakukannya, sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Siapa namamu?"

Daniel yang sebelumnya tersenyum lebar langsung mendelik kaget saat mendengar Oliver bicara. Ia kemudian berpaling pada Maya yang mengerjap, bingung.

"Ma-maya. Maya Edwards," jawab Maya, singkat.

Hening. Daniel yang duduk di antara Maya dan Oliver pada meja bundar di ruangan itu, memandang kedua orang di sebelahnya secara bergantian.

"Kau bisa menyetir?"

"Ya."

"Tempat tinggalmu?"

"Aku tinggal di daerah Mitcham, Selatan London."

"Terlalu jauh," komentar Oliver. Ia lalu menoleh pada Daniel saat menambahkan, "Aku mau dia tinggal di studio. Kalau dia menolak, aku tidak butuh asisten."

"Aku tidak keberatan!"

Jawaban Maya yang lebih terdengar seperti seruan, membuat Daniel mengerjap kaget.

Oliver kembali berpaling pada Maya. Lalu, "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Pertanyaan itu sontak membuat kedua mata Maya melebar, kaget. Ia mendadak kehilangan kemampuan dasarnya untuk bernapas atau untuk sekedar mengedipkan mata. Dadanya terasa sesak dan napasnya tercekat.

Oh, tidak. Kenapa Oliver bertanya seperti itu?

Apa... apa lelaki itu sudah tahu siapa dirinya sebenarnya? Apa... Oliver Wayne mengenalinya?