webnovel

ZEMA : Zombie's War

Keempat remaja itu harus menguatkan tekad mereka untuk menemukan misteri tentang menyebarnya virus Zombie yang membinasakan teman-teman serta keluarganya. *** Bangunan-bangunan yang sudah tak layak ditinggali, dengan gosong disana-sini, menjadi pemandangan sehari-hari bagi keempat siswi SMA itu. Mereka hanyalah remaja yang baru memasuki jenjang pendidikan tingkat akhir, yang secara kebetulan di tempatkan di satu kamar di sebuah asrama sekolah. Ah Tidak, ternyata bukan hanya kebetulan belaka yang melandasi kebersamaan mereka. Mereka ada disana karena diasingkan. Dan diasingkan karena terlalu mencolok diantara yang lain. Mereka yang saling bertolak belakang itu, sekarang harus menyesuaikan diri dan membangun kekuatan bersama untuk bertahan hidup. Tak ada lagi makanan pagi milik kantin yang selalu hambar. Kini mereka harus bersusah payah demi mendapat segenggam roti sisa, itupun jika sedang bernasib baik. Start : 8 Maret 2021 End : ....

KacaHitamBaja · Adolescents et jeunes adultes
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Orang Asing

Tiba-tiba kaki ku tak bisa bergerak sama sekali, layaknya telah dipaku dan tak dibiarkan untuk pergi. Ya, kami berdua mematung ditempat. Tak tahu harus bagaimana. Sampai si Penjagal itu mengacungkan pedangnya, dan dengan satu ayunan, kepala Charise menggelinding dibuatnya.

Aku makin ketakutan, tak sempat bersedih hati menangisi tubuh Charise yang perlahan ambruk tanpa kepala. Lagi, pedang itu kembali diangkat ke udara. Kali ini pasti sasarannya adalah aku.

Dan saat pedang itu hendak diayunkan dengan kecepatan super cepatnya, aku telah menutup mata. Pasrah. Janji ku pada Charise tak bisa ku tepati, bahkan aku tak berusaha melindunginya. Sedangkan aku lah yang menyeretnya ke sini. Betapa hinanya, Aku memang pantas mati.

Ku tegak ludah sendiri, menanti, bertanya-tanya, apakah kematian yang akan ku hadapi ini menyakitkan?

Aku meringis kecil ketika merasakan sesuatu yang dingin menyapa kulit leherku, mengirisnya, dan pedih pun menjalar di sekitarnya. Sial, kenapa gerakannya lambat sekali? Kenapa seolah-olah ia ingin menyiksaku terlebih dahulu? Ah sial, Aku tak kuat, reflek aku berteriak nyaring.

Benar saja, gesekan pedang dengan kulitku itu langsung terhenti begitu saja. Membuatku takut-takut membuka mata dan perlahan mendongakkan kepala.

Aku melihatnya, mata hitam tajam itu menghunus telak netraku. Hitam, hampa, dan kelam, hampir seperti kau melihat kedalam sumur di malam hari. Hidung dan mulutnya ditutupi kain hitam, menambah aura seramnya.

"A-aku manusia." Tak ada tanggapan darinya. Lelaki itu masih menatapku dengan tatapan yang sama sekali tak berubah. Aku kebingungan. Mungkinkah ia tak menghiraukan siapapun yang ia bunuh?

Tapi aku tak ingin mati!

"Hidrogen, Helium, Lithium, Beryllium, Boron, Karbon, Nitrogen, Oksigen, Fluorine, Neon, Sodium, Magnesium, Aluminium—"

"Cukup."

Aku tersendat seketika, rasa-rasanya suara itu tak begitu asing di telinga. Namun aku tak menghiraukannya, aku sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya.

Lelaki itu menurunkan pedangnya dari leherku, menumpukan bilahnya pada beton lapangan. Tangan kirinya sibuk merogoh saku celana, untuk kemudian mengeluarkan sesuatu yang membuat detak jantungku tak terdeteksi beberapa detik.

Itu pistol.

Sial, apa karena aku mangsa terakhirnya, maka dia ingin menjadikanku istimewa? Tidak, tidak. Aku memundurkan langkahku, dan kemudian..

Dor! Terkesiap, aku mematung. Peluru logam itu hampir mengenai cuping telinga ku! Bahkan angin yang terbawa oleh peluru itu, seakan berbisik kepadaku. Aku menatap ngeri manusia dihadapanku, matanya menyipit kebingungan melihatku yang semakin membuat jarak diantara kami.

Ia menghela nafasnya, lantas..

Tak! Aku menangkap pistol yang dilemparkan asal kearahku. Menangkapnya dengan kedua tangan dan terheran-heran mengapa hal tersebut dilakukan.

"Bertahanlah beberapa hari lagi. Akan tiba saatnya, kita bertemu lagi." Itu kalimat terakhirnya sebelum terbang pergi meninggalkanku, sendirian diantara para mayat yang terbaring tak bergerak.

***

"Maka, yang menata para mayat Zombie itu adalah kau?" Arify mengangguk lemas, mungkin ia teringat betapa mengerikannya malam itu. Malam dimana ia hanya dikelilingi badan tanpa nyawa, dan malam dimana sahabatnya pergi dengan tiba-tiba. Zen meringis, merasa pertanyaan nya tidak senonoh untuk dilontarkan, ia pun menepuk-nepuk bahu Arify.

"Baiklah, terimakasih." pangkas Aeghys singkat. Arify dibuat melongo, ia bercerita sedetail itu dan balasannya hanyalah 'baiklah, terimakasih'? Bukannya hal itu sedikit keterlaluan?

Menyadari ketidaknyamanan Arify, Zen segera ambil tindakan.

"Baiklah, sekarang boleh ku dengar apa rencanamu yang sebenarnya, Aeghys?" Pintar sekali Zen membanting stir topik pembicaraan, sehingga berhasil menyita seluruh atensi khalayak di ruangan itu.

Aeghys menatap lekat-lekat kearah Zen, sepertinya ia tahu tujuan pembicaraan ini di bincangkan. Gadis itu pun menghela nafas berat, kemudian bersiap membuka mulutnya.

"Tak banyak, Aku hanya sedikit menaruh curiga pada Lilyana. Ah, tidak. Jangan potong penjelasanku, atau aku batal menjelaskan." Aeghys menatap sengit Arify yang mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Arify menggembungkan pipi, lalu kemudian perlahan menurunkan acungan tangannya walau bersungut-sungut.

"Malam itu Lilyana seperti benar-benar terdesak, tak punya banyak waktu hingga dia menyuruh kita belajar di malam hari—"

"Aku tahu itu, Intinya saja." El menyela, membuat Aeghys memutar bola mata lantas mengangguk pasrah.

"Aku akan mengadakan penelitian disini. Entah sampai kapan, tapi ku usahakan secepatnya. Itu pointnya." Semuanya mengangguk-angguk paham, merasa apa yang dikatakan Aeghys masuk akal.

"Lalu, siapa saja yang ikut dalam penelitian itu?" tanya Myra setelah sempat mengangkat tangannya.

"Aku dan Arify."

"Lantas apa tugas kami?" El menunjuk dirinya sendiri, Myra, dan Zen bergantian.

"Mengawasi."

"Kenapa harus Arify?"

Kali ini Aeghys tak langsung menjawab pertanyaan El, ia termenung untuk beberapa saat, mungkin mengumpat dalam hati. Akan tetapi, gadis berambut emas itu tetap menjawab pertanyaan El.

"Arify, dia ada di kelas dua belas, jelas dua tahun lebih tua dari kita. Setahuku, dia lah sang Juara olimpiade Kimia semenjak sekolah dasar. Sudah cukup?" El terdiam sejenak, menatap ke bawah, tepatnya ke arah ubin putih kotak-kotak yang sedikit berdebu. Kemudian tatapannya beralih pada Arify, yang ternyata juga sudah menatap dirinya sedari tadi.

Lama El menatap wajah baru itu, lalu mengangguk setuju.

"Baiklah, pembagian tugas selesai dan Rencana sudah jelas mau kemana. Jadi sekarang, kita akhiri pertemuan tengah malam ini, dan kembali masuk ke alam mimpi masing-masing, setuju?" Semuanya berseru serempak, menyerukan hal yang sama, yaitu kata setuju. Kecuali satu orang, Aeghys.

"Arify, bisa kita bicara sebentar?" tutur Aeghys tepat setelah mereka semua balik kanan bubar jalan. Myra yang mendengar seruan Aeghys menolehkan kepala, mengangkat alis lalu memincingkan mata.

"Hanya kita berdua, empat mata, empat telinga." Perkataan sarkas itu telak memukul rohani Myra. Gadis itu tersenyum kecut, lalu kembali berjalan menuju meja peristirahatan nya malam ini.

Arify yang melihat kejadian singkat itu terkekeh kecil, lantas mengangguk. Cepat, keduanya segera keluar dari ruangan.

"Apa kita bisa langsung melakukannya malam ini?" Arify mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan Aeghys yang terdengar memaksa.

"Aku tak bisa. Kau tahu kondisi mental dan fisikku masih belum dalam keadaan baik, itu tentu bisa mempengaruhi penelitian kita. Itu membuat fokusku tidak berlangsung dengan sempurna sebagaimana semestinya. Maafkan aku, Aeghys." Panjang lebar Arify memberi jawaban, dan balasan Aeghys hanyalah anggukan kecil.

Mereka bahkan mengobrol tanpa bertatapan satu sama lain. Keduanya menyandarkan punggung pada tembok dengan tatapan lurus kedepan.

"Tapi Aeghys, apakah kau se-antusias itu untuk berkolaborasi denganku? Haha, begini, Aku tak bermaksud menyombong, tapi kualitas ku memang tidak bisa diragukan, dan aku tahu benar hal itu." Arify tertawa kecil, sedangkan Aeghys hanya menghela nafas dan perlahan menolehkan kepalanya.

"Ah, jangan-jangan, kau salah satu fans beratku? Aah.. maaf, maaf, seharusnya aku menyadari—"

"Setiap detik, satu orang bahkan lebih, bermutasi menjadi Zombie. Setiap detik, satu orang bahkan lebih, mati sia-sia dengan peristirahatan yang tak layak." Aeghys menjeda kalimatnya, menatap tajam netra Arify.

"Aku ingin segera memenangkan game busuk ini. Menyelamatkan mereka yang tengah menunggu giliran untuk mati, dan membawa keadilan yang didamba oleh mereka yang telah tiada." Arify menelan susah payah salivanya. Sedang Aeghys, ia kembali menatap lurus kedepan. Menatap kearah jejeran manusia-manusia tanpa nyawa.

"Aeghys.."

"Tidurlah se-nyenyak mungkin, persiapkan tenaga untuk esok hari. Aku tak mau, kau tiba-tiba pingsan saat tengah memotong daun di Rumah Kaca." Aeghys menepuk-nepuk bahu Arify beberapa kali, lantas membalikkan badan, berniat kembali masuk ke ruangan.

Baru dua langkah gadis itu berjalan, Arify telah bersorak membuat langkahnya terhenti.

"Hei, Aku ini Kakak Kelas kalian, jangan perlakukan aku seperti teman sebaya kalian! Itu melukai harga diriku, tahu!" Aeghys bergeming. Namun tanpa Arify sadari, gadis itu menyeringai kecil.

"Maaf-maaf saja, sayangnya kami bahkan tidak di beri kesempatan untuk menghormati ataupun menghargai orang tua kami. Jadi bagaimana mungkin, kami bisa melakukan hal itu pada orang lain?" Arify mematung. Niat dari seruannya tentu bukanlah untuk keseriusan, melainkan mencairkan suasana. Namun, mengetahui fakta itu, Arify semakin memandang simpati pada punggung yang perlahan mengecil lalu menghilang di belokan.

***

Aroma masakan menguar ke seluruh ruangan, membangunkan satu-persatu manusia itu dari tidur lelapnya. Myra, gadis itu tertatih-tatih menghampiri meja yang sudah penuh hidangan.

Ia menatap El penasaran. Namun El tak perduli, ia asyik sendiri dengan Cup Mie miliknya, menyeruput kuah. Myra mendengus, gadis itu kemudian mengambil salah satu Cup Mie lainnya, membuka tutupnya, dan terkejut sekaligus terpesona.

Lihat dedaunan yang lembek itu! Yang bertebaran di sekitar telur! Kenapa mewah sekali?

Myra mendongak, menatap El sembari memincingkan mata.

"Ini.."

"Ya, aku yang membuatnya. Sudah, makan saja! Jangan banyak kata!" Wajah El memerah padam, entah kepedasan, kepanasan sebab uap Cup Mie-nya, atau malu.

Myra memutar bola matanya, lantas mulai mengaduk-aduk Cup Mie dan memasukkannya ke dalam mulut. Satu kunyahan, mata gadis itu langsung berbinar. Cepat-cepat ia habiskan seluruh Mie itu, bahkan wajahnya kini belepotan.

Tak! Myra mengusap mulutnya dengan lengan bajunya, membuat El yang menyaksikan hal tersebut, bergidik ngeri.

"El! Kau! Kau benar-benar! Mengapa kau tidak menunjukkan kemampuan masakmu sedari di Asrama dulu?! Kau membuatku merasa bersalah setiap kali kalian pergi ke kamar mandi setelah memakan masakan ku!" El mengernyitkan dahi, lalu menghela nafas panjang.

"Aku hanya bisa memasak Cup Mie. Sedangkan di Asrama, itu tidak ada." El berdiri, bersiap melemparkan Cup kosong nya kedalam kotak sampah di luar sana.

Grep! Tangan Myra cekatan mencengkram pergelangan tangan El, membuat sang Empu menoleh kebingungan sambil mengangkat satu alisnya.

"Sekalian." Myra nyengir lebar saat di sodorkannya satu Cup kosong lainnya. El mendengus, merampasnya cepat dan berjalan keluar ruangan.

Tepat setelah si Rambut Hitam tak lagi terlihat, lenguhan Zen terdengar. Myra langsung menatap gadis itu, memberi tanda lewat mata, menunjukkan bahwa masih tersisa satu Cup Mie di meja. Zen pun bangkit, menghampiri Myra, dan mulai memakan Mie nya.

"Siapa yang membuat ini? Benar-benar sedap sekali!"

"Tentu saja aku—"

"Aku." Potong El tiba-tiba, sembari ditatapnya tajam Myra yang tengah menyengir lebar. El segera mengambil kursi lain, dan duduk bersama kedua kawannya.

"Kau benar-benar berbakat, El! Setahuku, ini adalah masakan ringan khas mereka yang tinggal sendirian." Zen mengacungkan jempolnya, tersenyum lebar. Akan tetapi tidak dengan El, raut wajah remaja berambut hitam itu berubah drastis. Auranya menggelap.

"Aku ke toilet." El langsung angkat kaki, kembali meninggalkan ruangan. Itu jelas membuat Zen dan Myra saling tatap, tak bisa dipungkiri, mereka merasakan hawa ketidaknyamanan. Beruntungnya itu tak berlangsung lama, Zen kembali memfokuskan diri pada makanan dihadapannya.

"Oh ya, dimana yang lain? Aeghys dan Arify?"

"Tentu saja, mereka ada di Laboratorium sejak pagi buta. Aku tak sengaja melihat keduanya pada jam lima pagi tadi saat aku akan ke kamar mandi." Zen mengangguk paham. Percakapan ringan terus berlanjut bermenit-menit kemudian, El tak kunjung kembali ke ruangan, namun keduanya menganggap bahwa El sedang ikut campur dalam penelitian. Hingga Cup Mie itu hanya menyisakan Cup kosong tanpa isi, keduanya baru pergi mencari El.

Memasuki ruang penelitian yang lebih tepatnya adalah Laboratorium Kimia, kedua nya malah kebingungan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran El disana.

"Aeghys, kemana El?" Aeghys mengendikkan bahu, ia sama sekali tak menoleh bahkan melirik kearah dua orang yang kehilangan jejak kawannya itu. Ia masih fokus meletakkan satu matanya di atas mikroskop.

"Baiklah, terimakasih." Kemudian dua orang itu hengkang. Mereka berdiskusi di luar ruangan, tentang dimana gerangan El sekarang.

"Apa boleh buat, kita harus menelusuri semua sudut sekolah ini. Hitung-hitung sekalian mencari para manusia yang masih hidup mungkin?" Ide Myra langsung disetujui Zen. Keduanya pun berlanjut memeriksa seluruh ruangan. Dari mulai Lab-Lab, kelas-kelas, bahkan kamar mandi.

"El benar-benar sepeti lenyap ditelan bumi. Dia tak ada dimana-mana!" Keluh Myra. Keduanya kini bersiap menuju lantai dua kelas dua belas, ini adalah lokasi terakhir mereka. Sengaja begitu, sebab di lantai dua ini baunya amatlah parah.

"El!" Pekik Zen dan Myra bersamaan. El sendiri gelagapan, segera di usapnya pipi dan mata asal-asalan demi menghilangkan bekas air mata. Namun sialnya, mata merahnya itu tidak bisa dihilangkan pula. Satu detik kemudian, Myra dan Zen langsung mengetahui bahwa El habis menangis.

Mereka pun duduk di samping El, menepuk-nepuk punggung kawannya yang sedang bersedih entah sebab apa.

"Kau kenapa El?" Pertanyaan itu keluar setelah bermenit-menit lamanya. El terkekeh kecil, begitu merdu namun menyesakkan, dan itu membuat Myra juga Zen keheranan.

"Aku tak apa. Hanya sedikit teringat kenangan yang tidak bagus." El menundukkan kepala nya dalam-dalam, menggeleng pelan, kemudian mengangkatnya kembali.

"El.."

"Hei, bukannya tugas kita mengawasi? si Rambut Kuning pasti marah jika kita berleha-leha disini." El berdiri, menepuk-nepuk pantat nya demi menghilangkan debu. Ia kemudian melangkah, namun segera berbalik menatap kedua temannya.

"Nanti. Aku akan ceritakan semuanya, jika aku telah siap. Untuk sekarang, maafkan aku." El tersenyum, ia lalu melanjutkan perjalanan nya, menuruni anak tangga disusul dua orang lainnya yang merasa iba.

—BERSAMBUNG— 22.00 — 06-04-2021—