webnovel

Acara Kampus

STARME akan diadakan lima menit lagi. Starme adalah acara dimana para kreator program pengaplikasian kampus bertanding secara akurat. Ariana benar-benar tidak mengerti acara semacam ini. Mungkin di era ini, persaingan teknologi memang begitu sengit, dan Ariana sama sekali tak paham mengenai hal itu.

Sejak tadi Ariana melongo di tempat. Grace dan Qila tiba-tiba menggandengnya paksa menuju lapangan kampus yang saat itu telah dipenuhi oleh mahasiswa. Oh My God! Ariana baru menyadari jika mahasiswa di sini tak ada yang cacat rupa. Mereka sempurna!

"Itu abang lo!" tunjuk Qila pada sosok Mike yang berdiri dengan tiga orang temannya—mempresentasikan sebuah aplikasi buatan mereka sendiri.

"Perlu kita ketahui, bahwa teknologi dan cara berpikir orang masa kini sungguh ironis. Teknologi sering disalahgunakan hanya demi uang maupun kekuasaan. Cara berpikir atau mindset seseorang lebih cenderung melihat aspek banyaknya pundi rupiah yang diperoleh dari teknologi ciptaannya, daripada memperhatikan nilai guna, nilai moral, nilai sosial, dan nilai keagamaan serta lainnya." Seorang pria yang pernah sekali ditemui Ariana, saat di kantin bersama Mike, menjelaskan secara rinci presentasinya. "Oleh karena itu, kami bertiga membuat aplikasi untuk mendeteksi tanda tangan. Aplikasi berfungsi untuk mendeteksi apakah tanda tangan ini asli atau palsu."

"Coba kalian perhatikan."

Bla bla bla. Entahlah. Ariana tak ingin melihat pertunjukan membosankan di sini. Dia lebih tertarik ke arah Baron yang sibuk dengan seekor kucing di pojok kampus. Kegiatan itu cukup menyita perhatian Ariana.

"Eh, Nes. Mau kemana?"

"Ke sana, sama Baron!" teriak Ariana dan dibalas acungan jempol saja oleh Grace.

Baron berjongkok serta mengusap lembut bulu kucing yang berwarna hitam dengan sedikit corak putih. Kedua mata kucing itu terlihat tajam dan menyilaukan. Baron selalu ingin memelihara kucing seperti ini, namun Ayahnya malah lebih suka memelihara anjing.

"Ekhem..." Ariana berdiri tepat di hadapan Baron. Mau tak mau Baron mendongak—melihat pemandangan menjengahkan untuknya. "Apa?" sahutnya dengan nada ketus.

"Ngapain? Lo nggak ikut tampil di acara itu?" tanya Ariana dengan lagak sedikit angkuh. Dia bahkan bertanya tanpa menatap Baron.

Baron melepas elusan pada bulu kucing itu dan membiarkan hewan tersebut pergi. Dia mensejajarkan tubuh dan menatap lurus ke arah Ariana yang tengah melipat kedua tangan di depan dada. Memang dasar menyebalkan, pikirnya.

"Lo buta? Yang tampil cuma buat anak semester akhir."

"Hah?" Ariana seakan bak bayi yang baru belajar merangkak. Dia sungguh terlihat bodoh di mata Baron. Mengapa Ariana menjadi seperti ini? Sejauh dia hidup, tak pernah sekali pun dia bersikap bodoh di depan orang lain seperti ini.

"Lo emang nggak pernah berubah. Lo masih be-go!" Salah satu jari telunjuk Baron menyentuh dahi Ariana hingga membuat gadis itu tersentak. "Singkirin tangan lo!"

Baron semakin menyeringai.

"Kayaknya mulai minggu depan kita bakal dapet matkul bareng. Lo jangan pernah nempel-nempel sama gue kayak dulu!" Baron mengancam Ariana dengan serius.

"Cih, minggu depan gue bakal minggat dari sini," sinis Ariana pelan. Banyak hal yang perlu dia lakukan, namun semua jawaban dari setiap pertanyaan yang terngiang di kepalanya masih abu-abu.

"Sono minggat jauh-jauh." Baron tak mau kalah. Mungkin akhir-akhir ini dia menjadi lebih terbiasa bertengkar dengan Agnes yang sekarang. Gadis itu berubah galak, mungkin dia juga siap menampar siapa saja yang mengganggunya, tak terkecuali dirinya.

Tiba-tiba suara notif pelan terdengar dari ponselnya. Dia mendengus, terlalu jijik melihat postingan kiriman dari Grace. Postingan itu memperlihatkan Grace dan Qila yang sedang berpose alay di antara banyaknya mahasiswa yang berkerumun untuk melihat acara di lapangan kampus itu.

"Ron, lo di sini? Dicariin juga dari tadi," celetuk seorang lelaki yang memakai jersey warna navy. Pandangannya beralih menatap Ariana, "Eh, Agnes. Gue baru ngeliat lo setelah lo ilang kemarin. Ternyata lo masih be-go ya, masih mau aja deketan sama Baron si bocah sableng ini."

Hanya dengan satu delikan mata, lelaki yang tadi merangkul Baron seenaknya itu pun terkekeh.

"Bego kata lo?!?"

Ariana semakin kehilangan kendali akan dirinya sendiri. Dia yang dulu cenderung pendiam, introvert meskipun tingkatnya masih standar, dan selalu penyabar itu, tergantikan oleh sosok lain yang sungguh berbanding balik dari dirinya yang asli. Jiwa Ariana mungkin telah menyatu dengan jiwa Agnes, dan Ariana cukup kaget akan kejutan-kejutan kecil dari reaksi tubuhnya sendiri. Tidak. Ini bukan tubuhnya. 'Ini tubuh Agnes,' batinnya meneriaki.

"Santuy, Nes." Lelaki itu menunjukkan dua jarinya membentuk sebuah peaches. Sungguh, Ariana tak mengenal siapa pria berambut jabrik di depannya itu. 'Kali ini siapa lagi, Ya Tuhan?' lirihnya dalam hati.

"Baron, Andre, kalian di sini? Wah anjir, nggak asik kalian main ninggalin gue gitu aja. Ih, ayang Baron, jangan deket-deket sama dia!"

"Diem, Kunyuk! Gue slepet muka lo sama ban motornya Andre nih!"

Shock. Tentu saja. Andre dan si Kunyuk, alias Dino. Andre si mahasiswa jomblo sejati namun tak jarang mendapat simpati dari adek tingkat, lalu Dino si mahasiswa yang teramat berisik, namun otaknya terlalu encer.

"Minggir lo, Nder." Dino langsung melepas rangkulan tangan Andre pada pundak Baron.

"Ndar Nder. Andre, Nyuk! Lo lama-lama..."

"Ih apaan dah syirik aja. Tuh lo ladenin aja tuh fans berat lo, apasih tuh namanya. Ander lovers, Ander-ander lumut, An...." Belum sempat Dino menyelesaikan perkataannya, namun Ariana tertawa terbahak di sana.

Hal itu membuat ketiga pria menatapnya aneh. 'Apa cewek ini udah gila?' lintas pikir mereka bertiga.

"Nes, lo sakit?" tanya Andre tiba-tiba mendekatkan tangannya menyentuh kulit mulus dahi Ariana.

"Kalian kocak banget sih. Nggak salah gue ciptain..... "

"Ciptain?" sela Andre membuat Ariana bungkam.

"N-nggak. Nggak apa-apa," kilahnya seraya membuang muka.

"Nes, gue lihat-lihat lo makin cakep juga. Lo masih biasa clubbing nggak?" Dino menaik turunkan alis sembari memperhatikan Ariana yang terkejut.

Clubbing? Oh, No! Bahkan Ariana tak pernah menginjakkan kaki sama sekali di tempat laknat itu. Terbesit rasa ingin ke sana pun tak ada sama sekali.

"Maksud lo?!? Gue nggak pernah ke club."

"Pfft, ngadi-ngadi," ucap Andre menahan tawa. Di sampingnya terlihat Baron yang menggelengkan kepala dengan helaan napas panjang. "Udah lah nggak usah ladenin cewek sinting kayak dia." Baron memberi instruksi agar kedua temannya mau mengikutinya.

"Dih maksudnya apa coba? Siapa yang pernah ke club. Eh, tapi..."

Ariana hampir melupakan suatu fakta jika ini bukanlah tubuhnya. Ingat Ariana, mereka tidak mengenalmu, mereka hanya mengenal Agnes, tidak denganmu. Ariana terus merapal kan kalimat tersebut, supaya dia terus mengingatnya.

"Kayaknya Agnes emang beneran amnesia," tutur Baron pelan. Lelaki itu masih memperhatikan Agnes dari kejauhan. Dia terhenyak ketika mendapati Agnes yang berbicara sendirian, "Dia juga udah gila. Eww."