webnovel

8. Emosi puber

Halaman 8, Buku Harian Balerina.

Kita hanya remaja yang menginginkan kedewasaan untuk memuaskan segalanya. Di tengah hiruk pikuk Jakarta, tak menutup kemungkinan jika 'kedewasaan' itu didapat dengan cara yang salah. Kesalahan itu lah yang memaksa kita, para remaja, untuk dewasa secara terpaksa.

---

Warnet tepi kota, malam di Jakarta.

"Kamu pergi dari rumah?" Lyne tertawa, padahal itu bukan lelucon yang pantas untuk ditertawakan. Juli sedang serius dengan kalimatnya, dia datang ke warnet ini bukan hanya sebagai pelanggan VIP yang setia setiap minggunya, tetapi hanya di tempat inilah dia bisa melepaskan semua.

Kekesalan di dalam hatinya.

"Buat apa minggat?" tanya Lyne. Duduk di kursi kosong sisi Juli. Dia menghidupkan komputer, seraya melirik pada temannya. "Kamu bahkan belum kerja sendiri dan bahkan belum punya penghasilan tetap." Menunggu komputer menyala, Lyne mendorong kursinya mendekati Juli. Berharap pembicaraan mereka tidak didengar orang lain.

Seperti biasa, warnetnya benar-benar ramai. Wajar, ini adalah warnet paling murah di Jakarta, teman main anak-anak berkantong tipis seperti mereka. Lyne memang dari anak orang kaya, tetapi mamanya tidak akan mau memberi uang jika tahu Lyne main di tempat seperti ini setelah mendengar mamanya meeting sampai tengah malam.

Secara tidak langsung, dua gadis ini kabur dari kehidupan rutinnya. Warnet adalah tempat untuk melepaskan penat. Kadang lebih nyaman dari rumah.

"Tidak peduli untuk makan, pergi ke warnet saja perlu uang!" Lyne memprotes. Dia mencoba untuk membisikkan kata motivasi pada temannya. "Pulanglah selagi Mama kamu belum benar-benar menganggap kamu minggat. Kamu juga tidak bisa pakai baju itu selama seumur, tidaknya kalau minggat itu bahwa sesuatu."

Padahal Juli yang minggat dari rumah, tetapi Lyne yang mulai risau dengan kehidupannya.

"Bodoh lah!" Juli mengeluh, memukul papan ketik di depannya. Untung saja, dia punya tangan yang kecil, jari jemari yang lentik, meksipun tidak seindah milik Lyne. Jadi pukulan itu tidak menghancurkannya.

"Kamu nggak tanya alasan aku minggat dari rumah malam ini?" Dia menoleh, menatap Lyne. Sepertinya dia salah orang ketika memilih balerina satu ini yang diberi kabar olehnya setelah dia memutuskan pergi dari rumahnya, setelah berdebat kecil dengan sang ibunda.

Lyne mendorong kursinya, kembali ke tempat asal. Dia menggelengkan kepalanya. "Untuk apa?" tanyanya pada gumamnya. Dia berusaha untuk berbicara sendiri, tetapi Juli ternyata lebih sensitif dari biasanya.

"Kamu ini benar-benar teman yang luar biasa! Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu disaat aku butuh seseorang untuk ...." Ucapannya terhenti tatkala gadis yang ada di sisinya memutar kursinya, menatap ke arah Juli.

"Jadi kenapa kamu kabur dari rumah malam-malam begini? Jangan lupa besok ada PR biologi," katanya. Masih tidak rela jika harus mengutarakan pertanyaan itu untuknya.

Dia mendukung semua yang dilakukan oleh temannya, tetapi kalau pasal minggat dari rumah malam ini, dia tidak mendukungnya apapun alasannya.

"Oke, aku akan mengulang pertanyaanku ...." Lyne tahu, Juli mengendus ketidaktulusannya bertanya hal itu padanya. "Jadi apa masalahmu hari ini, Nona Juli?"

Keduanya saling pandang satu sama lain dalam diam, dalam sepersekian detik berjalan tidak ada yang berbicara. Sebelum akhirnya keduanya sama-sama tertawa, ini memang benar-benar sudah gila.

"Katakan!" Lyne menagih. "Tadi katanya kamu pengen aku bertanya seperti itu."

"Mama mau nikah lagi."

Kalimat itu sukses menarik sepasang alis milik Lyne. Ternyata itu berlebihan ditambah dengan mulutnya yang menganga lebar terkejut bukan main. Pasalnya ibu dari teman lamanya ini usianya bahkan jauh lebih tua dari mamanya. Setelah orang tuanya bercerai, mamanya tidak pernah berpikir untuk menikah lagi dan itu adalah rasa syukur yang luar biasa untuk Lyne. Setidaknya dia tidak harus menerima orang baru dalam hidupnya.

"Lihatlah, kamu yang bukan anaknya saja tidak terima!" Juli menyimpulkan dari perubahan ekspresi temannya. "Bayangkan gimana aku yang anak kandungnya dan setiap hari tinggal bersamanya?" Dia bergidik ngeri membayangkan sesuatu yang baru saja terlintas di dalam pikirannya. "Aku harus mendapatkan Papa baru di usiaku yang sudah bukan lagi bocah, aku hampir 19 tahun!"

Anehnya dia malah memprotes semua itu di Lyne. Perdebatan dengan mamanya yang sangat singkat tadi hanya berisi protes bahwa dia tidak mau menerima siapapun dalam keluarga mereka, kebenciannya pada Juni saja sudah menyiksanya.

Rasa nyaman itulah yang membuatnya menggila kalau ada di rumah.

"Gimana aku bisa menerima orang baru di usiaku yang sudah seperti ini?" Dia menggelutut tiada hentinya.

Lyne tersenyum miring. Mendekat ke arah teman lamanya lalu menepuk-nepuk pundaknya. "Aku tahu perasaanmu, jadi lampiaskan saja dengan main game." Dia menunjuk ke arah layar komputer, game kesukaan Juli hampir dimulai.

Juli berdecak, setidaknya dia sudah mengatakan isi hatinya.

"Lalu bagaimana dengan Juni?" tanyanya lagi. Sedikit mencuri fokus perhatiannya.

Sayangnya, Juli tidak pernah mau membahas pasal perasaan saudaranya itu. Alasannya hanya dua, malas dan tidak peduli.

"Setidaknya dia bisa menerimanya," sambung Lyne. Kesimpulan itu membuat lawan bicaranya menoleh padanya. Pandangan mata Juli seakan memprotes, Lyne tidak berhak sok tahu kali ini.

"Itu sebabnya dia tidak minggat dari rumah. Bukankah begitu?"

Juli berdecak, menggelengkan kepalanya. Kembali fokus pada layar komputer yang ada di depannya.

"Lyne?" Seseorang menyapa dirinya, menyita perhatian Lyne dan Juli. Mereka menoleh bersamaan. Sebelum akhirnya Juli memilih untuk tidak peduli, gamenya lebih penting dan menarik ketimbang kedatangan Isam.

"Kamu di sini?"

Tentu saja, Lyne akan bahagia. Isam datang tak diduga.

Isam mengangguk. "Tumben kamu di sini," sahutnya. Mendekati Lyne. "Mama kamu memperolehkan?"

Lyne menggelengkan kepalanya. "Dia akan membunuhku jika dia tahu aku memilih pergi ke warnet ketimbang belajar." Dia tertawa kemudian, melirik ke arah Juli yang tak acuh, benar-benar tak acuh.

"Mau main game juga?"

Isam menggeleng dengan mantap. "Kita harus pulang. Nanti kalau ada yang lihat, ngadu ke Mama kamu, kamu pasti akan dimarahi." Dia memberi saran seperti biasanya, setidaknya itu membuatnya terlihat begitu peduli dengannya.

"Juli juga harus ...."

"Aku minggat ...." Juli menyahut, tetapi tidak mau menoleh ke arah lawan bicaranya.

Isam mengerutkan keningnya.

"Jadi kalian bisa pergi kalau kalian mau, Lyne sudah selesai dengan perannya." Dia berbicara dengan malas. Benar-benar tidak mau menatap dua temannya itu. Hatinya benar-benar kacau sekarang.

"Lebih baik kita pergi," bisik Lyne pada Isam yang baru saja ingin kembali membuka celah bibirnya. Sepertinya dia masih ingin bertanya-tanya pada Juli yang katanya minggat malam ini.

"Come on," bisiknya lagi. "Nanti aku ceritakan," imbuhnya membujuk.

Isam menghela nafas. Menatap sang kekasih. Mau tidak mau dia harus menyerah sekarang.

"Kalau gitu kita pergi dulu, Jul. Jangan pulang kemalaman."

Juli melirik Isam. Dasar si bodoh!

"Aku minggat," jawabnya dengan cara yang sama.

Lyne tersenyum, manggut-manggut. Memberi kode pada Juli lalu 'menyeret' kekasihnya pergi dari sana. Dia tahu, Juli sedang mengaktifkan mode 'gila' di dalam dirinya.

Itu benar-benar menyeramkan.

... Bersambung ...