webnovel

YOU, ME, DEATH

Cara termudah untuk melupakan mantan kekasih adalah, mereset kembali pikiran. begitulah yang terjadi pada Junghan, pria kaya yang jatuh miskin karena mantannya. Dia bertekad menjadi orang lain dengan menghapus ingannya untuk memulai lembaran baru. Namun, tak semudah yang direncanakannya. satu persatu masa lalu datang padanya.

Vince_Umino · Urbain
Pas assez d’évaluations
20 Chs

Diintai

Usai pelajaran kedua, waktu istirahat pun berlangsung. Musim panas menuju pertengahan bulan, angin berembus lebih banyak dari biasanya, seperti hari ini.

Aku bersandar, menatap pada daun-daun yang saling bergemerisik bersama bunga-bunga westeria yang menjulur dengan sangat indahnya.

Kadang kala kelopak-kelopak bunga berguguran tertiup angin cukup kencang. Kelopak itu bertaburan bagaikan bunga sakura di musim semi.

Keindahan alami itu membangkitkan mood-ku. Lantunan pembicaraan Fujia dan Kenta terdengar tetapi tak membuat aku terusik, sampai pada akhirnya datang beberapa gadis dari kelas lain.

Dari kejauhan suara mereka menyebut namaku. Aku meluruskan pandangan, dan menyambut mereka dengan senyum palsu.

Saat itu mataku bertemu dengan Kenta yang menatap sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Masio, kau harus makan banyak hari ini."

Tatapanku teralih pada seorang gadis berpakaian ketat yang tadi berucap. Lalu ia melanjutkan, "Beritanya cepat sekali menyebar, mereka mengunggah fotomu di website sekolah dan membuat heboh semua orang." Bibirnya mengenakan lisptik merah, sekali melihat padanya, mata ini selalu tertuju pada warna lisptiknya yang mencolok. Tipe gadis yang senang berdandam.

"Oh ya. Ini untukku?" tanyaku seraya menyentuh kotak berisi cokelat putih dengan bentuk bulat dipenuhi potongan kacang.

Gadis itu mengangguk bersama senyumnya yang cukup menawan.

"Ah, terima kasih. Kebetulan lidahku terasa kebas. Kuharap lain kali tidak jatuh sakit lagi."

Aku melirik Kenta. Gadis Sakit Mental itu mengerutkan keningnya disertai tatapan jijik. Kenta beralih menatap pada Erika yang sedang menatapku.

"Maaf, gadis-gadis, sepertinya Masio masih perlu banyak istirahat. Bisakah beri dia waktu untuk istirahat?" tanya Fujia, tetapi semua hadiah beserta bekal makanan diembat semua olehnya.

Ketika gadis-gadis itu pergi, Fujia terkikik, matanya menatap satu per satu hadiah untukku. Sikap Fujia yang rakus membuat Erika dan Kenta terdiam memandanginya.

"Seperti biasa, dia vakum cleaner yang menyedot semuanya," bisikku pada Erika.

Erika tertawa.

Sebelum meja ini dipenuhi dengan kotak-kotak cokelat dan botol vitamin, sudah ada beberapa rak bekal makanan yang dibawa oleh Erika. Seperti hari sebelumnya, ibu Erika berekperimen lagi.

Kami makan dengan lahap, sesekali kelopak kering bunga westeria jatuh di makanan kami.

Yang paling bersemangat saat makan adalah Fujia. Cokelat dengan nasi kenal dimakannya secara bergantian.

"Sejak tadi, kau sibuk mengetik sesuatu di smartphone itu." Aku melirik pada Erika yang berbicara dengan Kenta.

Gadis Sakit Mental itu malah melirik padaku. Katanya, "Aku sedang melaporkan kondisi Masio pada Paman Rai. Sejak pagi tadi, Paman Rai mengkhawatirkannya."

Aku teringat kalau Kenta juga mendapatkan obat dari ayah. "Apa obatmu sudah dimakan? Terjadi sesuatu?" tanyaku pada Kenta.

"Aku memakannya satu jam yang lalu." Kenta melirik jam tangannya.

"Kau merasakan sesuatu, seperti demam?" Aku bertanya lagi, tetapi Kenta hanya menggeleng.

"Kalian ini sedang sakit?" Erika tampak heran. "Sejak tadi terus membahas tentang obat. Memang obat apa dan untuk apa?"

Kenta meletakkan Smartphone lalu menjawab, "Ah, bukan. Paman Masio memberikan vitamin karena khawatir dengan kesehatan kami. Dia salah satu dokter di rumah sakit di kota ini."

"Paman Rai takut terjadi apa-apa, karena kami tidak ada yang menjaga. Maka dari itu, dia memberikan beberapa vitamin dan obat-obatan lain. Paman sedang pergi ke luar kota, kami hanya tinggal berdua, di rumah sepi sekali ... kapan-kapan datanglah berkunjung ke rumah kami."

Seketika itu, aku menatap tajam pada Kenta. [ Rumah kami, katanya! Ini tidak bisa dibiarkan, dia sudah merusak aturan yang kubuat. ]

Sejak masuk ke sekolah ini, sudah diputuskan sepihak oleh ayah, bahwa aku harus menyembunyikan tentang aku anak seorang ilmuan dan termasuk identitas keluarga kami sebagai salah satu suku Ainu yang masih tersisa.

Untuk menyembunyikannya, aku membuat peraturan bahwa tak ada yang boleh masuk ke rumahku. Tetapi, aturan itu telah rusak oleh kedatangan Fujia dua hari yang lalu. Dan itu berkat Kenta. Ia dengan lancang mengundang semua orang.

Aku hendak membantah perkataan Kenta tetapi Fujia langsung buka suara, "Ah, aku tak yakin untuk ke sana lagi. Sepertinya ini yang disebut trauma."

"Trauma?" tanya Erika.

Fujia mengubah posisi duduk dan tatapannya menjadi sangat serius. "Dua hari yang lalu, aku sempat melihat hal-hal aneh di rumah Masio. Malam itu menyeramkan sekali, mengingatnya saja bikin susah tidur."

"Dia berlebihan sekali!" sergah Kenta. "Tidak, tidak! Aku sendiri tidak yakin dengan apa yang terlihat malam itu."

"Hih, kau bercanda. Tepat di depan mata ... kau bilang tidak yakin," Fujia membalas dengan wajah yang tak terima.

Pikiranku mendadak menyala. Lantas aku mengarang sebuah cerita, "Rumah itu sudah berumur 40 tahun. Pernah terjadi bunuh diri massal yang dilakukan penghuni pertama. Oleh karena itu harga jualnya murah sekali."

Aku hampir tertawa lepas, memperhatikan mereka tercengang. Berbohong rasanya menyenangkan, maka tak tanggung-tanggung lagi, kulanjutkan, "Malam saat Fujia berkunjung, itu kejadian biasa yang sering kulihat. Aku tak ingin bercerita malam itu, takut kalian tak berani menonton film horor."

"Ukhuk ... ukhuk!!!" Fujia tersedak, matanya melebar dan mulutnya yang menganga lekas kujejali dengan onigiri.

Dengan mulut penuh Fujia masih berbicara, "Jadi itu sebab kau melarangku datang ke rumahmu?"

Dengan semangat aku mengangguk. di satu sisi, aku menertawakan mereka yang berhasil termakan kebohongan.

[ Semoga dengan ini, mereka mengurungkan niat datang ke rumahku. ]

....

Sepulang sekolah, hari menjelang sore. Fujia dan Kenta mengajakku mencoba es krim menu baru di kedai Es, tetapi aku menolak.

Aku juga menolak ajakan Erika untuk mampir ke restoran baru ibunya.

Mereka berpisah, Erika mengambil jalan ke kanan sedangkan Fujia dan Kenta mengambil jalan ke kiri.

Sementara itu, aku berdiri di depan gerbang sekolah menunggu tiga orang itu lenyap dari pandangan. Kubuka surat berpeta merah yang tadi diselipkan di laci meja.

Sebuah surat yang setiap kali mendapatkannya, membuat jantungku berdebar.

Surat misterius yang beraroma mawar. Aku memang mendapatkan surat cinta beberapa kali dalam seminggu, tetapi tak ada yang lebih istimewa selain surat ini.

Begitu melihat peta merahnya, aroma mawar menghanyutkanku.

Surat itu membungkus kertas kecil dengan kelopak mawar merah yang sengaja ditempel dengan lem.

* [ ISI SURAT ]

*Pagi ini, orang-orang berlari menyambutmu yang jatuh terkapar. Aku hanya dapat melihatmu dari bayang orang-orang. Tanganmu yang terlepas dariku, jatuh tanpa tenaga. Aku melihatmu, seperti aku kehilangan cahayaku. Ingin datang dan merawatmu, tetapi kesempatan tidak berpihak padaku. Aku rindu kau tersenyum. Masio, teruslah sehat dan menjadi cahayaku.

--Dari seorang yang menatapmu, hari ini—

Orang ini menulis kata-kata manis. Aku tidak sabar, ingin tahu siapa yang menulis ini. Kusimpan kembali surat berpita merah itu.

Sekitar lima belas menit berlalu, aku bersama siswa lain berjalan menuju halte bus. Sepanjang jalan, aku terpikirkan komponen darah yang ditemukan hari ini. Walaupun tubuhku sekarang hanya menyisakan demam ringan tetap saja, aku berharap dapat menciptakan sesuatu untuk menghalau zat apa pun yang masuk ke tubuhku.

[ Aku tidak ingin mati di tangan ayah! ]

<>

Bersama siswa lain, aku naik bus. Tak berapa lama, Bus berhenti di Golden Street.

Pada sebuah toko bertingkat dua, bagian bawahnya dipenuhi buku-buku, adapun di lantai atas, tersedia kafe perpustakaan.

Aku masuk ke tempat itu dan mendaftarkan kehadiranku pada meja petugas.

Wangi buku selalu membuat aku merasa tua. Aku menyusuri rak-rak besar. Mencari jurnal-jurnal kedokteran yang masih terbungkus dengan plastik dari perusahaan penerbitnya.

Selesai menggeledak beberapa rak, aku menemukan buku penelitian.

Oleh perasaan risih, mataku dituntun mengarah pada jendela besar toko. Suasana luar, mulai ramai dengan pengunjung. Orang-orang berlalu lalang melewati jendela itu.

Entah kenapa aku merasa terpanggil untuk terus melihat ke luar jendela. Seperti ada yang mengawasi.

Begitu menemukan buku yang menarik, aku membelinya lalu pergi dari toko.

Dalam dua jam lagi, hari akan malam, aku berjalan berlawanan dengan beberapa orang dan singgah di sebuah toko elektronik lalu membeli kamera infrared untuk dipasang di depan rumah.

Kamera kecil yang cukup mahal itu, telah kukantongi. Aku pergi meninggalkan hiruk-pikuk keramaian Golden Street.

Perasaan diawasi kembali terasa. Sambil berjalan, aku menoleh ke depan kemudian ke belakang. Namun, nihil orang.

Aku menarik napas dan melebarkan langkah. Di ujung, atap rumah tuaku telah terlihat.

Sesampainya di rumah, pintu lekas kukunci. Gorden jendela di samping pintu kubuka sedikit.

Di seberang jalan, seorang pria bertubuh tinggi besar berkaca mata hitam sedang mengintai rumah ini.

Gelagatnya mencurigakan sekali. Aku membuang napas tegang.

"Akhir-akhir ini aku merasa banyak orang tertarik dengan rumah ini? Apakah ayah berulah lagi? Jangan-jangan penyusup yang masuk malam kemarin. Tetapi, tak ada barang yang hilang, lalu apa yang dicarinya? Ah ... aku sungguh tak mengerti."