webnovel

You're My Serenade

serenade, suatu frasa yang merujuk pada alunan lagu yang menggambarkan senja. Biasa ditujukan kepada sosok yang sangat berharga dalam hidup. Melodinya mampu membawa kehangatan dan ketenangan. memikat siapapun yang mendengarnya untuk terlena dalam diam. {} Gavin Aksa Martendra Pria dengan hati yang dingin, bahkan mungkin sanggup mengalahkan es manapun. Sulit diajak bicara merupakan kelemahan yang membuatnya tidak bisa dimengerti oleh siapapun. Gemar menulis dan mengaransemen lagu. Tidak tertarik dengan urusan asmara. Namun tanpa sengaja, Alana menyusup masuk ke dalam hidupnya, mencairkan es di hati Gavin secara perlahan. — Arabella Alana Gadis yang lugu, ramah, dan murah senyum. Biasa dipanggil Alana. Hal yang paling ia kagumi adalah senja dan frasa. Selalu menuliskan rangkaian kata di tiap lembar buku hariannya. Tidak pernah merasakan jatuh hati, setidaknya sebelum ia bertemu dengan Gavin. jika ditanya, hal terhebat apa yang pernah dia lakukan semasa hidupnya... tentu saja, mencairkan hati seorang Gavin Aksa Martendra. Alana bahkan mampu membuat Gavin melakukan banyak hal konyol yang tidak terpikirkan oleh siapapun. ㅤ { UPDATE SEMINGGU SEKALI } ㅤ

HaChoLam20_04 · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
15 Chs

Everything Starts With Curiosity

- segala sesuatu diawali oleh rasa ingin tahu -

Suara monitor dan bau khas rumah sakit menyadarkan Alana. Seluruh badannya masih terasa nyeri dan perih. Ia harus bersusah payah hanya untuk menggerakan anggota tubuhnya.

Perlahan namun pasti, alana menolehkan kepalanya ke samping. Bukan, ini bukan unit kesehatan kampusnya.

Ini... rumah sakit.

ALANA'S POV

Pandanganku teralihkan oleh sesosok pria yang tertidur di bangku samping. Ia menyenderkan kepalanya di tempat tidurku.

Aahh, itu Ga--

"ASTAGA! Apa yang ku lakukan disini? Bukannya tadi aku lagi nyamperin Gavin di ruang musik ya? Terus abis itu --"

"Sehabis anda menghampiri saya dengan keadaan kacau, anda langsung tak sadarkan diri." ucap Gavin yang terbangun dari tidurnya tanpa kusadari.

Aku terdiam.

"Sial, setajam apa pendengarannya? Padahal aku hanya bermonolog perlahan" begitu pikirku.

Gavin bangkit berdiri, kemudian berjalan mennuju pintu keluar tanpa mengeluarkan sepatah katapun lagi.

"Tu-tunggu...!"

Ah sial! Lagi-lagi mulutku langsung berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu.

Benar saja, dia berhenti. Lalu menoleh sembari mengernyitkan keningnya.

"Apa?" ucapnya singkat dengan suara berat andalannya.

Aku terdiam cukup lama hingga kemudian memberanikan diri untuk angkat bicara.

"Ma-maaf, dan... terima kasih"

Aduh! Lagi-lagi aku tak dapat meminta maaf dengan benar. Ayolah Alana, ada apa dengan dirimu?

Sementara Gavin, hanya mengangguk tanpa menjawab apapun lagi. Kemudian ia melanjutkan tujuan awalnya, keluar ruangan.

POV END

// skip //

3 hari berlalu semenjak Alana keluar dari rumah sakit. Ia belum bertemu Gavin lagi sejak saat itu. Anehnya, Gavin bahkan membayar seluruh biaya pengobatan Alana di rumah sakit.

Alana jadi semakin tak enak hati padanya. Ia bukan perempuan yang suka mencari keuntungan dalam kesempitan. Kenapa juga Gavin harus menanggung biaya rumah sakitnya? Padahal, kecerobohan Alana lah yang membuat semuanya terjadi. Gavin sama sekali tak ada hubungannya dengan ini

Sejujurnya, Alana merasa sedih karena rencananya meminta bantuan Gavin untuk mengerjakan tesis jadi berantakan. Namun, tidak mungkin juga ia meminta bantuan Gavin lagi bukan? Alana sudah terlalu banyak merepotkannya.

Luka Alana sudah menutup sebagian. Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Jika saja tak ada Gavin waktu itu, Alana tak akan tahu bagaimana nasibnya kemudian.

"Ah! Kenapa sih aku harus ngacauin semuanya?" rutuk Alana pada dirinya sendiri.

Ia bahkan memukul-mukul kepalanya karena merasa bodoh telah merusak segala hal.

"Bodoh, bodoh, bo--" umpatan Alana terpotong saat ada seseorang yang menahan kepalan tangannya. Padahal, Alana sedang asyik memukul kepalanya sendiri.

"Kamu gila?! Mau masuk rumah sakit lagi?" ucap Gavin dengan sangat mengintimidasi.

Sungguh, entah kenapa Gavin merasa sangat kesal melihat perilaku Alana sejak tadi. Padahal, itu sudah bukan urusannya lagi. Namun tanpa sadar, Gavin malah mencegat Alana memukul kepalanya.

Bagi Gavin, sudah cukup Alana membuatnya sangat kerepotan sedari kemarin.

Keberadaan Alana hanya merepotkannya. Makanya, sejak kejadian di rumah sakit, Gavin menghindari Alana.

Persetan dengan Alana yang meminta bantuannya untuk menyelesaikan tesis. Gavin benar-benar tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengan Alana.

Lagipula, anggap saja biaya administrasi pengobatan Alana yang sudah dibayar oleh Gavin merupakan bentuk tanggung jawabnya atas kejadian yang kurang mengenakkan waktu itu.

GAVIN'S POV

"A-aku mau balikin biaya pengobatan rumah sakit!" ucapnya sebelum aku beranjak pergi.

"Ambil aja" ucapku karena memang aku tak membutuhkannya.

"Enggak! Aku gamau hutang budi sama kamu!" ucapnya dengan penuh keyakinan.

Aku menghela napasku. Sepertinya dia memang suka membuang-buang waktu dan menguji kesabaranku. Ku tenangkan diriku sebelum akhirnya menjawab,

"Kamu ga hutang budi sama saya, Alana. Anggap aja uang itu sebagai ganti pertanggungjawaban saya karena sempat menabrak kamu waktu itu" ucapku dengan penuh penekanan agar ia tak bersikeras lagi.

"I-itu lain cerita! Pokoknya aku mau balikin! Anggap aja kamu udah bertanggung jawab dengan bawa aku ke rumah sakit waktu itu. Dan juga, maafin aku karena udah ngacauin pertemuan kita di ruang musik waktu itu" ucapnya dengan sebesit rasa bersalah di akhir kalimat.

Aku sedikit terenyuh dengan kata-katanya. Namun, segera ku palingkan pandanganku dan melangkahkan kakiku menjauh dari hadapannya."

Namun, malah gantian dia yang menahan tanganku.

Deg...

Ah, sial! Perasaan aneh apa ini.

Kenapa jantungku berdegup kencang?

dan sejujurnya...

tangan miliknya terasa mungil dan hangat.

STOP GAVIN! Berhenti berpikir yang aneh-aneh!

Segera mungkin ku hempaskan perasaan itu.

Aku menghela napas, kemudian membalikkan badanku ke arahnya.

"Apa lagi?" ucapku dengan nada malas.

Sungguh, dia selalu saja membuang-buang waktuku tanpa manfaat yang jelas.

Merepotkan.

"Aku mohon... terima aja! Dengan ini kita baru bener-bener impas. Aku minta maaf karena uda ngebuang waktu kamu sia-sia dan ngerepotin kamu. Jadi tolong jangan buat aku semakin ngerasa bersalah karena udah nyusahin kamu" terang nya dengan sangat panjang lebar.

Lagi, dan lagi...

Ku hela napasku. Aku benar-benar berharap ini semua cepat berakhir.

"Yakin?" tanyaku memastikan.

POV END

"Iya, yakin! Aku gaakan ganggu kamu lagi kok setelah ini" ucap Alana.

Sebenarnya, Alana sedikit menyesali kalimat terakhirnya. Ia ingin terus mengenal Gavin. Namun, ia tahu jika bukan begitu, Gavin tak akan menerima uangnya.

"Oke" jawab Gavin pada akhirnya.

Anehnya, ia merasa sedikit kecewa mendengar Alana berkata bahwa ia tak akan mengganggunya lagi.

Buru-buru Gavin menjauhkan pikirannya. Seharusnya bagus bukan?

Tak akan ada lagi yang mengganggu hari-hari Gavin. Semua akan kembali seperti semula. Tidak akan ada yang berubah. Tentram, dan damai...

Setelah itu, Gavin benar-benar beranjak pergi dari hadapan Alana.

Alana menatap punggung Gavin yang telah meninggalkannya. Ada perasaan sedih karena pada akhirnya, ia tak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya dan menjadi lebih dekat dengan Gavin.

Semua rencananya jadi hancur berantakan. Salahkan dirinya yang terus menerus terkena sial disaat ia sedang benar-benar menantikan sesuatu.

ALANA'S POV

Ah... kali ini benar-benar berakhir ya? Sepertinya keberadaanku memang mengganggu dan menyulitkannya.

Aku juga harus sadar diri. Jangan karena perasaan egoisku, aku jadi mengganggunya.

Aku harap ada kesempatan lain dimana aku bisa lebih mengenalnya...

Sudahlah, Alana. AYO SEMANGAT!!! Masih banyak hal yang harus kamu lakukan.

Mari kita mulai dengan...

ugh, memperbaiki tesisku.

Sungguh, itu benar-benar aktivitas yang paling memuakkan. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Namun, mau tak maupun aku juga tetap harus mengerjakannya.

Lagipula, masih banyak aktivitas baik lain yang menantiku, misalnya...

Menulis buku harianku dan melihat senja di pantai seperti biasanya.

Ya, aku memang suka pergi ke pantai untuk sekedar melihat senja. Biasanya, aku pergi setiap minggu. Cukup rutin bukan? Tentu saja itu karena jarak pantai dengan asrama tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu 15 menit menggunakan bus.

Kalo untuk sehari-harinya sih, biasa aku cuma ngeliatin senja dari jendela kamar asrama aja. Soalnya pemandangan di sekitar asrama juga cukup bagus kok.

dan...

Sehabis liatin senja tuh paling enak ya nulis buku harian. Gaada yang bisa ngalahin deh! Itu sih, uda kayak rutinitas rutin yang mendarah daging buat aku, hehehe.

Oh iya, balik lagi ke awal. Menurut aku Gavin itu sebenernya baik, cuma mungkin dia sulit mengekspresikan diri aja. Kayaknya sih dia ga terlalu terbiasa bersosialisasi.

Makanya, aku coba maklumin sikapnya yang kayak gitu. Semoga, nanti dia ketemu orang yang bisa ngebuka hati dia.

Oh iya, apa kabar lagu nya ya? Kira-kira dia udah dapet inspirasi belum ya? Aku harap dia bener-bener mulai nulis lagu sesuai dengan perasaan yang sesungguhnya.

Tapi, ku akui... dia memang benar-benar pandai memainkan piano. Suaranya juga bagus.

Ah entahlah...

kenapa aku jadi harus mikirin dia terus sih?

Dasar Alana aneh!

POV END

Tanpa sadar, mereka mulai penasaran tentang satu sama lain.

Sebuah kebetulan dapat membawa mereka menuju takdir yang tak terduga.

Mungkin, ini saat dimana perasaan mereka perlahan bertumbuh...

Semua bermula dari rasa ingin tahu bukan?

Siapa yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya?