webnovel

0 - Sastra Mesin

Renka "Murphy" adalah pemuda berusia tujuh belas tahun yang tengah menempuh pendidikan di SMK 777, jurusan Sastra Mesin. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu terasa seperti mimpi di atas awan kelabu, langit mendung yang menggantung di atas kepala.

Sejak beberapa pekan terakhir, Renka merasakan kejenuhan yang mendalam. Ia merasa hidupnya hanya berputar dalam lingkaran monoton: bangun, sekolah, pulang, tidur, dan ulang lagi.

Sudah 2 minggu ini dirinya tercatat tidak nampak lagi di sekolahnya.

"Apa iya bakal terus begini-gini saja ya?"

Renka menoleh sekitar kamarnya dengan perasaan hampa.

Di meja belajar kecilnya, tumpukan buku-buku Sastra Mesin tergeletak berdebu, tidak tersentuh sejak beberapa waktu yang lalu.

Poster-poster idolanya yang menghiasi dinding kamarnya terlihat samar di bawah lapisan debu yang mulai menumpuk.

Renka duduk di tepi tempat tidurnya, "...yah lagian mau gimana lagi kan? Sepeda yang dulunya hadiah ulang tahun dah dijual pula, mana jarak tempuh ke sekolah sekitar 5,2 km."

Renka menarik nafasnya dalam-dalam, "....bukan salahku juga kalo dialfa akhir-akhir ini kan? Kondisiku sendiri saja seterpuruk ini."

Sejak kepergian ibunya tiga tahun lalu, Renka hidup bergantung pada uang saku tipis yang dirinya peroleh dari pekerjaan part-time setiap malam entah menjaga warung ataupun menjual barang-barang miliknya sendiri.

Dirinya teringat tentang cita-citanya bagaimana dulu dirinya sangat ingin menjadi fotografer, di dalam benak pikirannya jika menjadi seorang fotografer maka dirinnya bisaa lebih sering mengabadikan foto-foto bersama keluarganya.

Nyatanya, justru orang tuanya cerai dan Renka diasuh oleh ibunya seorang, lalu setahun kemudian ibunya menderita penyakit komplikasi dan berpulang lebih dulu sebelum dirinya dapat mewujudkan impiannya.

"...huft, ternyata berat juga ya jadi perintis..." Renka menatap langit-langit kamarnya.

Renka mencoba menciptakan ketenangan di keheningan yang dia ciptakan di dalam kepalanya.

"Disaat-saat kek gini, adakah yang bakal setidaknya... nyariin ya?"

Renka merogoh-rogoh sakunya dan hanya terdapat selembar uang lima ribu rupiah dan seribu rupiah.

"Ke warnet kali ya? Akhir-akhir ini jarang keliatan di sekolah... perlu gak ya kabarin temen di sekolah."

"Eh tapi buat apa ya?"

"....mungkin, setidaknya biar mereka tahu kalo aku masih hidup? Iya deh gitu aja."

Renka menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke warnet.

Dirinya menyelipkan uang lima ribu dan seribu rupiah ke dalam sakunya, mengenakan jaket lusuhnya, dan berjalan keluar dari kamar kosannya yang sempit.

Saat membuka pintu kosannya, udara pagi yang dingin menyambutnya. Dengan langkah gontai, dirinya berjalan menyusuri lorong sempit menuju pintu keluar kosan.

Belum sempat mencapai gerbang, suara tegas terdengar dari belakang.

"Renka! Mana uang kos bulan ini?" suara itu berasal dari Mpok Airin, pemilik kosan yang terkenal galak dan tak kenal kompromi.

Renka menoleh dengan wajah pucat. "Eh, Mpok Airin... Saya belum ada uangnya. Nanti saya bayar begitu gajian, ya?" jawab Renka dengan suara memelas.

Mpok Airin menatapnya dengan tajam. "Kamu udah nunggak dua bulan. Kalau sampai akhir minggu ini kamu belum bayar, maaf-maaf saja, kamu harus cari tempat lain."

Renka hanya bisa mengangguk lemah, merasa semakin terpuruk. Setelah percakapan singkat itu, ia melanjutkan langkahnya menuju warnet yang terletak tak jauh dari kosannya.

Perjalanan menuju warnet terasa panjang meski sebenarnya hanya beberapa ratus meter saja. 

Begitu sampai di warnet, Renka merogoh sakunya dan menyerahkan uang lima ribu rupiah kepada penjaga warnet. "Satu jam aja, Bang," ucap Renka.

Setelah mendapatkan bilik komputer, Renka segera duduk dan menyalakan layar. Ketika halaman beranda terbuka, ia merasa sedikit lebih tenang.

Renka membuka media sosial dan melihat-lihat kabar terbaru teman-temannya.

"Ternyata mereka tetap hidup bahagia ya, meski aku nggak ada," batin Renka.

Renka membuka pesan grup sekolahnya, mencoba mencari tahu apakah ada yang memperhatikan ketidakhadirannya.

Banyak pesan-pesan yang belum terbaca, sebagian besar hanya obrolan ringan dan tugas-tugas sekolah.

Dari sekian pesan tagihan tugas maupun tagihan uang kas kelas.

Ren tersorot pada satu pesan, ada satu pesan dari Faustine, teman sekelasnya yang cukup dekat.

Paustin X SM : "Ren, kamu kemana aja? Udah dua minggu nggak kelihatan di sekolah. Ada masalah?"

Renka menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas,

Anda : "Iya, Tin. Lagi banyak pikiran. Nggak ada yang serius, cuma lagi butuh waktu sendiri."

Faustine merespon dengan cepat, "Kalu butuh bantuan atau teman ngobrol, kasih tahu aja ya."

Renka tersenyum tipis. Setidaknya ada yang peduli.

Ketika hendak menutup pesan tersebut, tiba-tiba muncul notifikasi aneh di emailnya.

"Email kategori spam... loh,

Renka kembali membaca dengan seksama, "...jual umur untuk uang? Alah yang bener aja!"

"...ehh, tapi mungkin gak sih?"

Renka membuka browser dan mengetikkan kalimat "jual umur untuk uang" di kolom pencarian.

Tak disangka, banyak hasil pencarian yang muncul.

Sebagian besar terlihat seperti iklan palsu atau artikel clickbait, matanya tersorot pada satu situs yang menarik perhatiannya.

Situs itu menawarkan layanan untuk "menukar waktu hidup dengan uang," lengkap dengan testimoni dari orang-orang yang mengklaim telah melakukannya.

"Apakah ini benar-benar mungkin?" pikir Renka sambil mengklik tautan tersebut.

Halaman situs terbuka dengan tampilan yang sederhana. Ada kolom pendaftaran yang meminta informasi pribadi dan jumlah waktu hidup yang ingin ditukar.

Renka merasa ragu dan sedikit takut.

"Emangnya apa yang tak takutin yha? Lagian orang udah susah gini, yakali kan makin susah..."

Dengan kondisi yang dialaminya saat ini, apa yang dirinya miliki untuk kehilangan?

Renka mulai mengisi formulir pendaftaran. Setelah semua informasi terisi, dirinya sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol "Submit."

"Apapun yang terjadi, semoga ini bisa membawa perubahan," gumam Renka.

Tak lama setelah itu, layar komputernya menampilkan pesan: "Pendaftaran Anda sedang diproses. Harap tunggu konfirmasi selanjutnya."

Renka menutup browser dan bersandar di kursinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya sekarang dia memiliki sesuatu untuk ditunggu.

Ia bangkit dari kursinya, menyimpan sisa waktu yang belum terpakai di warnet, dan melangkah keluar dengan perasaan campur aduk.

"Tinggal seribu ya? Harus jual barang apalagi dah..." gumamnya sambil berjalan menuju kosannya

"Penasaran, hal apa yang ngebuat diriku ini mengiyakan perjanjian oleh Tuhan, sehingga diriku ini lebih memilih untuk dilahirkan ke dunia?"