webnovel

X-Code

Ainlanzer memiliki kemampuan bertarung yang tinggi, daya analisa yang kuat, serta daya tangkap yang cepat. Hal itu membuat alam semesta memberinya banyak ujian. Ditambah dengan kode genetik yang unik, membuatnya terpilih menjadi calon 'Utusan Perdamaian'. Ia yang baru saja bergabung dengan Pasukan Independen Cerberus, harus menghadapi sosok Grief -Sang Pengkhianat. Grief dan pasukannya -Abaddon, membawa malapetaka bagi Cerberus juga bagi seluruh daratan Logard. Bersama dengan para sahabatnya -para Pasukan Cerberus, Ain harus menghadapi krisis yang tengah melanda tiga wilayah Logard: Rovan, Munkan dan Zinzam. Pertemuannya dengan Grief, juga dengan Tiash -gadis bangsawan dari Kota Para Dewa, Elyosa- menjadi awal perjalanannya di daratan Logard. Ujian pertama untuk Sang 'Utusan Perdamaian' baru saja dimulai...

Neura_D · Romance
Pas assez d’évaluations
312 Chs

Gerbang Sang Kesatria

Sore itu sinar lembayung terlihat cukup menawan dengan hiasan arakan awan, menambah pesona sang mentari. Terpaan angin cukup kuat, menghembus dedaunan di sebuah hutan sebelah barat daratan Logard.

Sebuah bangunan berdinding logam berwarna hitam berdiri megah. Bangunan yang menjadi markas sekaligus akademi dari pasukan independen yang bernama 'Cerberus'.

Tak jauh dari bangunan itu, seorang pemuda berwajah dingin dengan rambut hitam lurus sedikit panjang melebihi telinga, tengah berhadapan dengan seorang pria yang terlihat lebih tua beberapa tahun darinya. Dilihat dari kondisinya, mereka tengah bertarung. Namun dari mimik wajah mereka bisa ditarik kesimpulan kalau mereka hanya berlatih. Biasanya, para akademisi ataupun pasukan Cerberus berlatih di dalam ruangan latihan yang tersedia di markas. Namun saat ini ruangan latihan itu tengah dipadati oleh para akademisi lain yang juga sedang meningkatkan kemampuan berlatih mereka.

Pemuda yang tengah berlatih di luar bangunan markas itu terlihat cukup kelelahan. Lain lagi dengan pria yang tengah berhadapan dengannya yang malah terlihat tenang tanpa beban.

"Kenapa? bukannya besok kau akan mengikuti ujian kelulusan? Kalau cuma segini saja kau sudah kelelahan, gimana besok?" ujar pria dengan potongan rambut pendek berwarna hitam ke-cokelatan yang disisir rapi ke belakang. Ia terlihat begitu tenang, padahal mereka sudah berlatih berjam-jam lamanya.

Mendengar perkataan pria itu, pemuda yang tengah dilatih untuk persiapan ujiannya besok segera menarik nafas dalam-dalam. Ia mengepalkan tangannya sembari kembali memasang kuda-kuda.

"Ayo Ain! Tunjukan serangan terbaikmu!!" pekik pria itu memberi semangat pada pemuda yang bernama Ain.

Ain melesat dengan lebih cepat lagi dari sebelumnya. Ia menyerang pria itu dengan tangan kirinya. Namun pria itu mampu menepis serangan Ain dengan mudah. Dengan cepat, Ain menarik kembali tangannya, lalu berjongkok dan bergerak ke arah samping untuk mengincar rusuk pria tersebut. Gerakannya cepat, namun tidak cukup cepat untuk melayangkan serangan ke arah pria itu.

"Ain, gerakanmu sudah sangat bagus. Reflekmu juga. Tapi kau masih belum menemukan 'jati diri' mu. Dalam beladiri, setiap orang memiliki gaya bertarungnya masing-masing. Untuk kemampuan fisik, kau memang sudah memenuhi syarat. Tapi kau masih belum menguasai teknik bertarungmu."

Pria itu lantas menendang perut Ain yang tengah bersiap meluncurkan serangan lagi.

Ain terpental agak jauh sampai terjerembab ke tanah. Pemuda yang terkena serangan telak itu hanya terbaring sambil menatap langit senja tanpa ada usaha untuk berdiri.

"Master Heim. Apakah aku layak untuk ikut ujian besok?" Ujar Ain sambil masih menatap langit senja dengan tatapan kosong. Terbesit juga kekhawatiran yang tiba-tiba saja merasuki pikirannya.

Pria yang melatih Ain itu, Heim, menghampirinya lalu jongkok di sebelah Ain sambil menatapnya dengan alis berkerut.

"Malam ini, datanglah ke tempatku. Aku akan mengajarkanmu bagaimana caranya menemukan teknik bertarungmu sendiri."

Usai mengucapkan kalimat itu, Heim beranjak pergi meninggalkan Ain yang masih terbaring menatap langit. Langit senja yang indah terlihat, namun tidak bagi Ain yang masih diselubungi rasa pesimis.

[•X-Code•]

Keesokan harinya, Ain bersama dengan beberapa orang sebaya dengannya tengah berada di sebuah ruangan kelas yang memiliki monitor hologram di setiap meja dan sebuah monitor besar di depan yang tengah menampilkan sebuah logo berbentuk anjing berkepala tiga dengan tulisan 'CERBERUS' di bawahnya. Setelah semua kandidat mengisi ruangan kelas itu, barulah beberapa orang tiba dari pintu di sebelah kanan. Pintu otomatis yang akan terbuka dengan sendirinya kalau ada yang akan masuk.

Seorang pria berdiri di depan, bersiap memberi penjelasan. Pria itu adalah kepala akademi di tempat Ain berada. Para murid memanggil pria itu dengan panggilan 'Maestro', sebutan untuk jabatan tertinggi di setiap cabang Cerberus.

Di belakangnya, berdiri para guru yang disebut 'Master'. Mereka adalah pasukan Cerberus yang ditugaskan untuk melatih para calon anggota pasukan Cerberus. Heim, selaku pelatih di bidang beladiri akademi itu ikut serta berdiri di sana.

Maestro mulai memberi penjelasan. "Hari ini, adalah hari yang menentukan bagi kalian. Seperti yang kalian ketahui, Cerberus merupakan pasukan khusus independen di Logard. Tugas Cerberus adalah menjalankan setiap misi yang diberikan. Lalu, semua misi yang kita terima pasti sangatlah penting. Terkadang menyangkut keselamatan banyak orang. Untuk itu, diperlukan kandidat dengan kemampuan yang cukup agar misi-misi tersebut bisa berhasil dengan baik. Karena itu, kalau kalian berhasil menuntaskan ujian kali ini, kalian akan diangkat sebagai pasukan Cerberus secara resmi. Sekarang ada 150 kandidat yang terdaftar untuk mengikuti ujian. Namun hanya beberapa yang akan diterima. Kami akan menilai dari sikap, kemampuan, cara berpikir, dan tindakan yang kalian ambil selama ujian berlangsung. Bisa jadi, hanya ada seorang yang akan diterima. Atau malah tidak ada sama sekali. Semua tergantung dari bagaimana kalian menjalankan misi tersebut. Aku hanya akan menyampaikan, berjuanglah! Kami akan menunggu kalian di Cerberus."

Setelah Maestro selesai berbicara, ia pun pergi meninggalkan ruangan dengan dikawal oleh sepasang pengawal pribadi miliknya.

Lalu seorang wanita yang terlihat masih sangat muda, maju untuk menggantikan Maestro berbicara. Rambut hitam panjang yang dikuncir miliknya terlihat menawan, serasi dengan wajahnya yang manis, namun terkesan dingin. "Namaku Vabica. Aku yang menjadi penanggung-jawab ujian kali ini. Aku akan menjelaskan sistem dan peraturan dalam ujian. Namun sebelumnya, Kuperingatkan. Kalian mungkin saja kehilangan nyawa dalam ujian kali ini. Kami tidak ingin kandidat setengah matang bergabung dengan Cerberus. Untuk itu, aku beri waktu 5 menit untuk memikirkan kembali ujian ini dengan sebaik-baiknya. Bagi yang masih ragu, harap segera meninggalkan ruangan."

Beberapa kandidat merasa gusar dengan perkataan Vabica. Mereka saling berdiskusi satu sama lain. Ada juga yang langsung berdiri meninggalkan ruangan dan diikuti oleh beberapa kandidat yang merasa masih belum siap. Mereka tidak mau kehilangan nyawa mereka hanya demi bergabung dengan Cerberus.

Wajar mereka mengundurkan diri tanpa berpikir panjang. Waktu mereka tidak begitu lama di akademi. Berbeda dengan Ain yang telah berada di akademi sedari kecil.

Selama ini Ain tidak mengikuti ujian karena usianya belum memenuhi syarat. Oleh karena itu, baru tahun inilah Ain bisa mengikuti ujian.

[•X-Code•]

"Yo, Ain!" Seorang pemuda menepuk pundak Ain dari belakang. Ain menoleh ke belakang untuk melihat pemuda tersebut. Riev, seorang kandidat yang juga teman baik Ain mencondongkan badannya dari bangku di belakang. Ain dan Riev sudah berteman sedari kecil.

"Menurutmu, aku cocok tidak dengan Master Vabica?" Bisik Riev dengan wajah genitnya.

"Tidak," jawab Ain singkat sembari kembali mengarahkan pandangannya ke depan.

"Dih! Coba lihat deh, dia lebih muda dari kita. Tapi sudah jadi pasukan Cerberus. Dia diterima tanpa ujian. Aku dengar, dia berasal dari Cerberus Timur." Riev membungkuk sampai menempelkan dagunya ke bahu Ain, berharap sahabatnya itu ikut mendukungnya. Tapi Ain tidak menghiraukan ocehan Riev. Pikirannya tengah tertuju pada ujian yang akan dihadapinya.

"Hey! Dengar tidak??" Riev sedikit geram.

"Iya, dengar," jawab Ain dengan singkat lagi.

Ain memang memiliki sifat pendiam dan terkesan dingin. Karena itulah, Ain tidak memiliki banyak teman. Walau demikian, Riev yang juga telah berada di akademi sedari kecil tetap memilih untuk menjalin hubungan baik dengan Ain.

Memang, sifat mereka bertolak belakang. Namun hal itu tak menjadi sebuah permasalahan bagi Riev. Lagipula, Riev yang telah lama hidup bersama dengan Ain paham betul kalau sahabatnya itu sebenarnya sangatlah bijak. Ain tidak berbicara banyak, tapi tidak pernah mengabaikan hal-hal penting. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah keadilan, Ain tidak akan tinggal diam kalau melihat ada ketidak-adilan di depannya.

"Eh, bagaimana latihanmu dengan Master Heim? Aku dengar dari Lyona kalau kau masih belum menemukan gaya bertarungmu sendiri ya? Aku gak percaya, aku saja sudah menemukan gaya bertarungku sendiri beberapa tahun yang lalu," Riev mencolok-colok pipi Ain dengan telunjuknya, sedikit menggoda.

Ain hanya terdiam dengan wajah dingin miliknya tanpa merasa terganggu. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh Riev.

"Semalam aku hanya diberi beberapa saran. Master Heim bilang kalau mungkin, di ujian kali ini aku akan menemukan gaya bertarungku," jawab Ain diikuti dengan perubahan raut wajah. Dari yang asalnya terlihat dingin, kini berwajah serius dengan alis sedikit berkerut.

"Oke, 5 menit telah berlalu," Vabica kembali berbicara, memotong percakapan Ain dengan Riev sekaligus membuat para kandidat yang tengah sibuk berbincang kini fokus ke arahnya.

Vabica mengamati para kandidat di ruangan yang sudah berkurang banyak. Hanya kurang dari setengahnya yang masih memiliki kepercayaan diri untuk tetap duduk di tempatnya.

"Aku sengaja tidak memberitahukan hal ini. Semua yang mengundurkan diri, akan dinyatakan gagal seumur hidup. Dalam arti lain, mereka tidak boleh lagi bergabung dengan Akademi seumur hidup mereka. Kalau memang tidak siap, seharusnya dari awal tidak usah ikut. Kalau sudah memutuskan untuk ikut, mau tidak mau harus siap menerima resiko atas keputusannya. Itulah sikap yang diperlukan oleh seorang pasukan Cerberus. Nah, aku akan lanjut menjelaskan."

Di ruangan itu hanya tersisa 60 orang termasuk Ain dan Riev. Tapi mereka sendiri tak menyadari perubahan jumlah para kandidat di ruangan itu. Baik Ain maupun Riev, tidak ada yang memperhatikan sekeliling. Riev sibuk menggoda Ain, sedangkan Ain sibuk memusatkan pikirannya pada ujian hari itu.

"Seperti yang kita ketahui, Cerberus memiliki tiga Akademi yang juga menjadi Markas. Cerberus Timur, Right Head. Cerberus Selatan, Centra Head. Dan tempat kita berada saat ini, Cerberus Barat, Left Head. Saat ini, semua akademi Cerberus juga tengah mengadakan ujian. kita akan bergabung bersama akademi Cerberus dari berbagai penjuru Logard untuk ujian kali ini. Sampai sini, ada pertanyaan?" Seluruh kandidat hanya terdiam, bersiap mendengarkan penjelasan selanjutnya.

"Baiklah, aku akan melanjutkan penjelasan ujian. Layaknya 'Cerberus' (makhluk mitos Anjing berkepala tiga), setiap Cerberus akan bertugas dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang. Oleh karena itu, dalam ujian kali ini, kalian akan disatukan dengan akademi Cerberus lain untuk membentuk sebuah kelompok. Jadi kalian tidak akan bertemu dengan teman-teman kalian di sini. Ingat, seorang Cerberus harus bisa bergerak dalam kondisi seperti apapun. Nah, ujian pertama kalian; Kalian diberi waktu 3 hari untuk sampai ke Centra Head, Markas pusat Cerberus. Di sanalah kalian akan menemukan kelompok masing-masing. Namun, tidak hanya itu. Hanya 10 orang tercepat yang akan lolos. Setelah 10 orang sampai di sana, sisanya akan dinyatakan gugur. Peraturannya hanya satu, kalian harus bergerak sendiri. Semua bebas kalian lakukan untuk sampai ke Centra Head dalam waktu maksimal 72 Jam. Dimulai dari sekarang."

Tidak seorangpun menyangka ujian akan dimulai secepat itu. Para kandidat langsung beranjak pergi meninggalkan ruangan mengingat mereka belum berkemas. Namun Ain dan Riev masih belum beranjak dari bangku mereka.

Bukan hanya Ain dan Reiv, beberapa kandidat juga terlihat masih berada di ruangan itu dengan alis mengkerut. Melihat hal tersebut, Vabica mengajukan pertanyaan pada mereka yang masih terdiam di sana, "Mengapa kalian masih tetap di sini?"

Ain berdiri dan meminta izin untuk mengajukan pertanyaan. Vabica tersenyum, mengizinkan Ain untuk bertanya. "Dari sini ke Centra Head butuh waktu paling cepat 7 hari. Itu pun dengan menggunakan mobil atau sepeda motor. Memang, kami bebas menggunakan segala cara untuk menuju ke Centra Head. Tapi satu-satunya cara menuju Centra Head dari sini dalam waktu paling lama 3 hari, hanya dengan menggunakan Trava, kendaraan anti-gravitasi khusus pasukan Cerberus. Sedangkan kami belum menjadi pasukan Cerberus. Kami tidak punya otoritas untuk memakai Trava. Selain itu, hanya 10 orang yang akan lulus di ujian tahap kali ini. Apakah sebuah kebetulan atau tidak, tapi jumlah Master yang berada di ruangan ini juga 10 orang. Aku rasa ada sesuatu di ujian kali ini. Bukan begitu?" Tanya Ain, mewakili kandidat lain yang juga berpikiran sama.

Vabica tersenyum, membuat parasnya terlihat lebih elok. "Hmm.. Hanya 7 orang?" ujar Vabica sambil mengamati para kandidat yang tersisa di ruangan itu.

"Baiklah, memang benar apa yang dikatakan oleh.. Maaf, siapa namamu?" Vabica menghampiri Ain.

"Ain." Jawab Ain singkat.

Vabica terhenyak mendengar nama pemuda itu. Namun ia tidak menunjukan raut wajah terkejutnya. Sebisa mungkin Vabica tetap memasang wajah tenang, namun terlihat tegas.

"Ya, memang benar apa yang dikatakan oleh Ain. Ujian pertama kali ini, adalah ujian pengetahuan umum. Juga tingkat pengamatan akan kondisi sekitar. Sebuah sikap dasar yang diperlukan oleh pasukan Cerberus. Dengan ini, aku nyatakan. Semua kandidat yang berada di ruangan ini sekarang, dinyatakan lulus!"

Sorak sorai terdengar ricuh di ruangan itu.

"Tapi, ujian selanjutnya akan segera tiba. Nah, kalian memang ditugaskan menuju Centra Head untuk menjalani ujian tahap selanjutnya. Kalian akan didampingi oleh seorang pasukan Cerberus yang ada di sini untuk menuju Centra Head dengan menggunakan Trava," ujar Vabica sembari menoleh ke arah para Master yang sedari tadi berdiri di depan.

"Kami akan berunding untuk menentukan kalian akan berangkat dengan siapa. 10 menit lagi, kami akan mengumumkan hasilnya. Harap meninggalkan ruangan, dan menunggu di luar untuk dipanggil," sambung Vabica.

Para kandidat pun meninggalkan ruangan dengan segera. Mereka merasa begitu antusias, namun juga merasa penasaran pada kelanjutan dari ujian kelulusan itu.

Kini hanya ada 10 orang Master di sana termasuk Vabica dan Heim. Mereka tengah berunding, siapa yang akan mereka bawa. Seorang Master hanya boleh membawa 1 orang kandidat.

Vabica merasa sedikit kecewa. Tadinya, ia akan menguji para kandidat lagi kalau jumlahnya lebih dari 10 orang. Tapi ternyata yang tetap tinggal di ruangan hanya 7 orang.

Heim mengajukan diri untuk membawa Ain. Ia mengemukakan alasannya, bahwa sebenarnya Ain belum menemukan gaya bertarungnya sendiri. Diantara para Master lain, Heim-lah yang paling ahli dalam beladiri di sana. Master lain pun menyetujui keputusan Heim.

Tidak lama mereka menentukan pembagian kandidat tersebut. Setelah itu, para Master lain pergi ke luar untuk mempersiapkan Trava yang akan mereka pakai menuju Centra Head.

Tinggal Heim dan Vabica yang ada di ruangan itu. Vabica memang bertugas untuk memanggil para kandidat satu persatu. Sedangkan Heim tetap tinggal karena Vabica yang meminta. Vabica ingin menanyakan sesuatu pada Heim.

"Kak.. Itu.. Ain yang 'itu' 'kan?" tanya Vabica. Sikapnya berubah drastis saat ia hanya berdua dengan Heim.

"Iya," jawab Heim singkat.

"Begitu, ya..." Vabica tersenyum senang. Ia sangat mengharapkan Ain untuk lulus menjadi pasukan Cerberus. Ternyata Vabica sudah mengenal Ain. Entah masa lalu seperti apa yang ia lalui bersama Ain sehingga bisa mengubah mimik wajah dinginnya menjadi begitu tersipu manis ketika mengetahui kalau Ain ikut serta dalam ujian Cerberus yang tengah ia pegang.

Heim tersenyum tipis sambil mengusap ubun-ubun Vabica yang merupakan adik kandungnya, sebelum akhirnya pergi menyusul para Master lain.