webnovel

SISI TERSEMBUNYI XANDER DAN TITA

"Berhenti meminta uang padaku!" seru Calista untuk ketiga kalinya dalam sesi ini. Gadis itu selalu merasa tertekan saat mendapat panggilan dari ibu tirinya yang menetap di New York.

Katakan saja ia anak durhaka karena pergi dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun setelah kematian ayah kandungnya. Menurut Calista, kadang menjadi buronan untuk menyelamatkan diri sendiri itu perlu..

Namun ternyata penderitaannya tak berhenti sampai disitu, tepat saat dirinya diterima kerja di salah satu caffe take a rest tiga bulan yang lalu, ibu tirinya kembali menerornya kembali. Entah dari siapa wanita ular itu mendapat nomornya, koneksinya terlalu banyak hinga Calista tak perlu merasa heran.

"Dasar anak tak tahu diuntung, jika bukan aku yang membesarkanmu, kau pasti sudah mati!" seru Martha kencang di seberang sana.

Calista menjauhkan benda pipih menyala dalam genggam tangannya, ia mengadahkan wajah untuk menyeka air mata yang entah mengapa kembali terjun kali ini. Rasanya sesak bila ibu tirinya berkata sedemikian. Kalaupun ia tak diinginkan, mengapa ia tidak dilenyapkan bersmaan dengan saudara kembarnya empat tahun silam?

"Aku hidup dengan uang ayahku sendiri," ujar Calista dengan nada yng kini mulai terkontrol. Ia tak mungkin menangis di dalam telepon dan berakhir menjadi gadis cengeng dan berdaya kembali di depan Martha.

"Dan ayahmu itu suamiku, sialan!" serunya kencang untuk kali keduannya. Kali ini, Calista memenjamkan netra, ia meremas benda pipih di tangannya kelewat kencang hingga tangan kanannya memerah.

"Kau hanya parasit dalam hubungan ayah dan ibu kandungku!" Calista muak dengan semua ini, ia menaikan oktaf suaranya sebelum memutuskan pangguilan sepihak. Dadanya naik turun menahan emosi yang meluap, ia memang lemah bila orang lain berkata menyangkut kedua orang tuanya.

Tubuhnya merosot ke lantai, cairan bening yang turun dari kedua bola matanya membuat isakan kembbali mengudara di dalam penginapan yang sudah ditempatinya itu tiga bulan pas. Ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut yang sudah tertekuk, Calista butuh sandaran saat ini.

Bahkan dalam saat-saat seperti ini, nama Xander yang pertama kali muncul dalam benaknya.

"X-xander," panggilnya di sela isakan.

Calista bukan gadis kuat yang memang selama ini terlihat, ia gadis rapuh yang begitu mendambakan kasih sayang orang-orang sekitarnya. Ia bohong bila mengatakan baik-baik saja, jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat membutuhkan sandaran kala ia tumbang. Dan sandaran itu tidak ada di sini sekarang.

***

Di dalam jet pribadinya, Xander menyadarkan tubuh dengan kedua mata yang terpejam. Setelah satu jam memikirkan hal ini, laki-laki itu memilih lepas landas menuju New York untuk menuntaskan pekerjaannya lebih dulu.

"Kau egois meninggalkan gadisku sendirian di Indonesia," ucap suara lain di dalam hati Xander.

Ia Jonathan, sisi lain dari dirinya yang kini kembali berbicara setelah bertahun-tahun mendiamkan diri di dalam sana.

Xander tetap menampakan sikap tenangnya, "Dia juga gadisku."

Sedangkan Robert sang tangan kanan yang baru kembali dari toilet memilih bungkam setelah merasakan aura berbeda menguar di sekitar tuannya. Tanpa harus bertanyapun ia tahu bila Xander sedang berkomunikasi dengan bagian dari dirinya yang lain.

Robert memilih duduk di tempatnya semula, laki-laki dengan kemeja hitam itu memilih mengecek pekerjaannya yang terlantar karena meneladeni keresahan sang tuan karena pertemuannya dengan Calista

"Aku akan kembali secepatnya, Nath. Jangan bertindak gegabah!" Nada bicara Xander mulai naik satu oktaf saat sisi lainnya ingin mengambil alih tubuhnya. Rahangnya mengeras tiba-tiba.

"Pastikan ia baik-baik saja," ujar Nathan dengan nada datar. Selama ini ia bersembunyi sebab sang kekasih hati tak lagi menampakan wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak empat tahun silam, Jonathan muncul karena mendengar suara lembut nan menggemaskan itu.

"Tanpa harus kau peringatkan pun aku pasti menjaganya, bodoh. Pergilah ke dalam, aku sedang tidak dalam suasana yang baik untuk meneladenimu." Xander langsung memutuskan pihak ucapannya dengan Nathan setelah menyelesaikan ucapannya.

Ia tak paham dengan sisi lainnya yang terlalu over protective dengan Calista, yang jelas Jonathan selalu meronta ingin mengambil alih tubuhnya saat Calista di sisinya.

Xander kembali membuka kedua kelopak mata kala merasakan tubuh lain yang duduk di atas tubuhnya. Seorang pramugari dengan pakaian cukup pendek duduk di atas pahanya dengan senyuman menggoda. Sesekali wanita itu membusungkan dadanya untuk memancing napsu Xander yang selama ini padam. Entah mendapat keberanian dari mana, wanita matang itu secara tidak langsung menyerahkan nyawanya pada Xander tanpa susah payah.

Begitu pula dengan Robert yang mendelik tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, tangan kanan Xander itu bahkan berdiri untuk segera meminta pramugari itu turun dari tubuh Xander.

"Tuan," panggilnya pada Xander untuk meminta persetujuan. Pasalnya laki-laki itu sangat jarang melepaskan mangsanya begitu saja.

"Biarkan saja," jawab laki-laki itu kelewat santai.

Mendengar jawaban Xander, pramugari itu tersenyum menang sembari menatap Robert yang menatap keduanya tak percaya. Ia merasa berhasil menaklukan hati sang tuan yang terkenal dingin dan tak tersentuh. Nyatanya, Xander sangat mudah didekati. Bahkan ia tak perlu membutukan waktu yang menyita.

Wanita itu beralih menatap Xander dengan tatapan menggodanya, ia menyentuh dada bidang laki-laki itu dengan gerakan sensual. Setelahnya tangannya bergerak membuka kancing kemeja putih Xander setelah berhasil melepas jas laki-laki dewasa itu.

Xander membiarkan mangsanya bergerak sesuka hati, ia mengangkat alisnya heran saat mendapati wanita itu menggoyang-goyangkan tubuh bawahnya bak cacing yang kepanasan. Sungguh, Xander laki-laki normal. Siapa yang tidak tergoda bila disuguhkan adegan seperti ini? Bila boleh dan Jonathan juga menginkannya, ia pasti langsung memakan mangsa di depannya.

"Kau suruhan orang itu, benar?" tanya Xander stertuju pada seorang tanpa menyebutkan namanya. Tangan kirinya yang terbebas di udara kini mengerogoh saju celana bahan yang ia kenakan. Sebuahpisau lipat dengan ujung yang terdapat racun mematikan siap mengoyak siapapun yang diinginkannya.

"Hancurkan wajahnya lebih dulu, Xander. Aku muak melihatnya," usul Jonathan yang ternyata ikut merasakan.

Xander tetap diam, menikmati raut wajah ketakutan wanita di pangkuannya yang kini sudah pucat pasi. Ia tak menghuraukan dua kancing teratasnya yang telah terbuka.

"Jawab atau pisau ini membuat darah keluar dari tubuhmu," ujar Xander dengan nada yang masih terkendali. Sebenarnya, hatinya meronta ingin segera menuntaskan hasrat membunuhnya.

"Tuan, biar saya yang mengurusnya." Robert menawarkan diri agar wanita itu terlepas dari intimidasi Xander. Bukan apa, ia hanya tak ingin melihat satu nyawa jatuh bebas dari ketinggian ini.

Sudah ia bilang bila Xander tak akan pernah gentar melakukan apapun.

Wanita itu setia menatap Xander dan Robert secara bergantian, "M-maafkan saya Tuan. Saya benar-benar tidak bermaksud menganggu anda," ujarnya dengan nada ketakutan.

Xander kembali menganggkat Alisnya, dimana sifat menggoda yang sebelumnya wanita itu layangkan kepadanya? Mungkinkah padam karena ketakutannya pada pisau yang kini ia pegang?

"Nona, pilihlah salah satu. Ingin pisau lipat ini tertancap pada jantungmu atau tubuhmu terjun dari ketinggian ini?"

Pilihan yang tak menguntungkan mangsanya.