webnovel

PANGGILAN SPESIAL

Kedua bola mata membola Calista mendengar perkataan wanita di depannya, terlebih ia berkata ringan tanpa beban apapun. Siapa yang tidak marah di katakan sedemikian?

"Jaga bicaramu!" seru Calista dengan dahi bergelombang menahan kekesalan. Ia memilih untuk membalikan piring, meraih dua lembar roti dan meletakkannya di atas keramik berwarna putih itu. Calista memilih memulai sarapannya tanpa menghiraukan wanita dewasa di depannya. Meneladani orang tak di kenal tidak ada dalam list penting hidup Calista.

Merasa mulai diacuhkan gadis kecil nan songong di depannya, Delisa memilih mengembuskan napasnya. Ikut serta terlarut dalam sarapan tanpa izin pemilik rumah. Yang dilakukan wanita tak dikenal di depannya, menurut Calista seperti sudah mengena Xander sangat dalam.

Namun netranya sesekali menatap wanita yang harus diakuinya teramat cantik, cara makannya sangat anggun dengan dagu runcing yang sedikit terangkat. Bahkan cara mengunyah dan mencerna makanan yang masuk ke dalam mulutnya sangat anggun. Wanita di depannya seperti sudah terlatih melakukannya.

Namun berbeda dengan Calista, gadis itu memilih makan dengan gaya yang bisa membuatnya nyaman. Ia tak ingin memaksa tubuhnya sendiri untuk makan perlahan-lahan dalam durasi yang cukup lama, itu tidak mengenakan okay?

Tepat setelah roti di atas piringnya tandas, Calista menuangkan air mineral yang berada di sisi kiri meja berbentuk persegi panjang ini. Meneguknya hingga tandas dan membawa alat makannya ke washtafle.

Calista tak bohoh, ia tahu bila wanita tak dikenalnya itu kini sedang mengamati pergerakannya mencuci piring, bahkan saat netranya menatap piring wanita itu, roti satu lapis yang dimakannya masih tersisa setengah.

"Jangan menatapku sedemikian, jika ingin pulang kuharap kau tahu pintu keluar," ucapnya mengusir terang-terangan. Calista membalikan badan, keluar dari ruang makan lebih dulu dan berjalan menuju tangga lantai dua. Demi apapun, tatapan wanita itu seolah ingin menyincangnya.

Tatapan iri tanda tersaingi, tetapi mengapa wanita itu merasa tersaingi? Bahkan bila di sejajarkan tubuh dan wajahnya akan jauh berbeda dengan wanita tadi.

"Apa sih, mengapa di tiba-tiba mengataiku sebagai jalang? Menyebalkan sekali," gerutu Calista dengan netra menatap pintu kamarnya yang sudah ia tutup.

Padahal hari masih cerah, Calista malah memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan malas. Moodnya hancur begitu saja hanya karena sebutan tak mengenakan itu keluar dari mulut manusia tak dikenalnya. Tak sadar, matanya kian memberat. Pengelihatan di sekitarnya mulai memburam. Calsita kembali terlelap di pagi hari untuk kesekian kalinya. Ah, kebiasaan buruk ini tak pernah berniat ia akhiri sepertinya.

***

"Tuan," panggil Robert. Laki-laki itu masuk setelah mendapat respon oleh Xander, melangkah dengan tegas dengan raut wajah yang masih datar.

Xander hanya menanggapi panggilan tangan kanannya dengan dehaman kecil, lantas kembali mengetikan sesuatu pada komputer berlogo apel setengah gigitan dengan raut wajah seriusnya.

"Ini tentang nyonya Delisa," ujar Robert membuka pembicaraan.

ketikan Xander pada keyboard langsung berhenti begitu saja, tangannya tiba-tiba mengepal saat kembali mengingat kejadian di masa lalu antar dirinya dengan Delisa, hal itu langsung membuat Xander mendidih dan membutuhkan samsak untuk sasaran tinjuannya.

"Dia berulah lagi?" tanya Xander singkat.

"Nyonya Delisa menemui Nona di Mansion," ujar Robert dengan suara pelan, ia takut dengan respon yang akan diberikan Xander setelah ini. Suasana hati Xander tampak tak baik sejak kejadian malam tadi terjadi. Ia merasa tidak dianggap penting oleh gadis yang lama ia cintai, Jonathan pun begitu. Sisi lain Xander juga menolak berbicara karena sang pujaan melupakan bagian penting di masa lalunya. Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Semua hal yang sudah terjadi, dalam kamus Xander tidak ada kata memaklumi.

"Apa yang dia lakukan?" tanya Xander singkat, untuk kali keduannya.

Robert membelalak, mengapa tuannya berkata sedemikian tenangnya? Sebab biasanya, Xander adalah orang yang paling marah jika sesuatu terjadi deengan nona Tita.

Namun saat kembali memutar memori malam tadi, mungkin saja sesuatu yang tidak mengenakan Xander terjadi. Itu hanya kemungkinan dari akar permasalahan yang Robert perkiraan antar tuan dan nonanya.

"Hanya berbincang, nona tak berbicara banyak. Sepertinya nona masih mengingat perkataan tuan beberapa tahun silam." Robert berkata dengan bahasa yang sedikit ia lembutkan. Bukannya apa, kali ini ia memberikan pembelaan pada nonanya yang sepertinya saat ini tidak dalam kategori pembicaraan yang Xander minati.

"Biarkan, kau bisa keluar. Lanjutkan pekerjaanmu." Tanggapan singkat itu lagi-lagi membuat Rpbert kaget, ini kali pertamanya Xander tidak meminati pembicaraan bertopik pada Tita. Semarah itukah tuannya? Robert sedikit kasihan dengan Calista, gadis kecil itu harus menanggung kemarahan Xander di rumah nanti.

"Baik, saya pamit undur diri, Tuan," pamit Robert setelah membungkukan tubuhnya hormat. Ia memundurkan langkah dan kembali menutup pintu putih buram itu tanpa mengeluarkan suara sekecil apapun. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan tuannya untuk saat ini.

***

"HATCIH!" Suara itu terdengar dari arah tangga.

"Apa Xander sudah pulang?" tanya Calista dengan kedua alis yang terangkat pada maid yang kebetulan lewat di depan tangga.

Maid itu menghentikan langkahnya, kemudian menundukan kepalanya. "Sepertinya tuan lembur, Nona. Biasanya bila jam sembilan malam tidak pulang, artinya tuan menginap di kantor. Saya pamit undur diri," jawab maid itu. Setelah Calista mengucapkan terima kasih dan menatap punggung maid itu kurang lebih satu menit, langkah kakinya turun dari tangga terakhir dan menapak pada lantai satu sepenuhnya.

Bibirnya mengerucut dengan pipi yang meengembung, siapapun yang melihatnya pasti gemas. Manik hazel itu sibuk mengedarkan pandangan dan menatap batas ruang tamu dan ruang utama, berharap tubuh tegap nan tinggi itu muncul tiba-tiba.

Namun setelah melihat jarum jam antik pada sudut ruangan menunjuk angka sepuluh kurang dua puluh menit, ia mengembuskan napas kecewanya. Hari ini Calista sama sekali tak melihat Xander, ini kali pertamanya setelah dirinya tinggal di mansipn besar ini.

Merasa penantiannya tak akan berujung, Calista kembali menaiki lantai dua dengan wajah menunduk dalam. Gadis itu melewatkan makan malam yang dibawakan maid ke dalam kamarnya sendiri. Napsu makannya menrun saat pemilik rumah tak kunjung pulang.

Langkah kaki Calista tak menuju kamarnya sendiri, melainkan menuju kamar Xander yang berada tepat di samping kamarnya. Anggap saja ia lancang, namun izinkan Calista untuk menghirup aroma Xander yang mampu menenangkan tidur malamnya satu kali saja.

Hawa dingin langsung terasa saat seluruh tubuhnya masuk ke dalam kamar dengan ukuran yang lebih besar dibanding kamarnya. Kedua kaki mungil itu berjalan menuju ranjang perlahan dengan netra yang sibuk mengedar.

Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk yang ada di kamar Xander dengn posisi tengkurap. Netranya menatap pantulan tubuhnya lewat cermin tak jauh dari ranjang. Bibirnya mencebik kesal, mengapa Xander tiba-tiba bertindak sedemikian saat hatinya kembali merasakan kenyamanan.

"Dasar laki-laki plin-plan. Aku membencimu!" maki Calista dengan napas yang meenggebu-gebu. Rambut panjangnya yang kini acak-acakan sama sekali tidak dirinya indahkan.

Calista tak ingin berbohong untuk ke sekian kalinya. Ia merindukan Xander saat ini, terlebih merindukan ruasa bariton itu memanggil namanya dengan sebutan ... Tita.