webnovel

MERAJUK?

Mata indah itu mengerjap perlahan, membiarkan cahaya yang tampak di sela-sela gorden yang tertutup mulai memasuki retinanya.

Setelah mengumpulkan nyawa beberapa detik, tubuh kecil dengan rambut acak-acakan itu bangkit dari posisi tengkurapnya. Calista baru sadar bila ia tidur semalaman dengan posisi tengkurap, parahnya lagi berada di kamar Xander.

Kembali mengingat nama laki-laki itu, Calista langsung mengedarkan netranya ke segala penjuru ruang luas yang kini ditempatinya. Kamar yang saat pertama kali dirinya tempati walau hanya satu hari. C mon, Calista hanya ingin meredam gosip yang sering beredar di sekitarnya.

"Xander!" serunya memanggil dengan kedua mata terfokus pada pintu kamar mandi. Namun nihil, tidak ada sahutan atau jawaban apapun yang mengartikan ada manusia di dalam sana.

Bibirnya langsung memberengut, kemudian memilih turun dari ranjang dan berjalan menuju lantai satu untuk memastikan keberadaan Xander.

Langkah kaki kecil milik Calista tampak terburu-buru, terbukti saat kakinya sesekali melompati dua anak tangga sekaligus.

Senyuman pada wajahnya tak pudar, ia berharap hari ini bisa mengakhiri rasa rindunya pada Xander. Juga, Calista ingin meminta maad tentang kejadian dua hari yang lalu.

Tetapi, senyuman yang terpatri pada wajahnya di sepanjang perjalanan menuju ruang makan langsung pudar seketika saat melihat wanita asing yang kemarin berbincang dengan dirinya kini sedang terduduk di bangku yang biasanya Calista duduki. Xander tampak tak keberatan, walau posisi tubuhnya membelakangi pintu masuk, Calista tahu bila laki-laki itu sedang memakan sarapannya dengan tenang.

Mengapa jadi begini? Mengapa rasanya sakit melihat Xander memulai harinya dengan wanita lain selain dirinya?

Langkah kakinya mundur, memilih untuk tidak mengganggu sepasang manusia yang tampak serasi itu. Calista memilih melangkahkan kakinya menuju taman belakang rumah.

Raut wajah lesu terpampang jelas, membuat sebagian maid yang lewat memberikan berbagai tanggapan.

Tidak terkecuali Amera, kepala maid yang sebelumnya hendak meletakan roti kesukaan Calista di atas meja. Pergerakan wanita berumur tiga puluh delapan tahun itu terhenti saat nona mudanya berlalu dari ruang makan dengan raut wajah lesu saat menemukan wanita lain yang duduk di kursi makannya.

Ia pernah muda, ia pernah meraskan jatuh cinta seperti Calista. Bohong bila ada yang berkata ini tak sakit, mereka hanya ingin menunjukan sisi kuat mereka masing-masing.

Amera memilih memberikan pring panjang berisi roti itu pada maid yang lewat dan memintanya untuk meletakan di atas meja makan. Sedangkan wanita paruh baya itu berjalan mengikuti langkah sang nona muda yang entah bertujuan ke mana.

Dulu, sewaktu semuanya masih baik-baik saja, ia masuk menjadi pekerja Xander pertama kali saat Calista dan Xander memutuskan untuk menjalin hubungan. Walau cukup renta, ingatan Amera boleh dicoba.

Embusan napas lega keluar begitu saja saat melihat Calista mendudukan tubuhnya di bangku kecil aja taman belakang dengan tenang. Sorot matanya kosong, itu menbuat Amera sedikit iba.

Ia memberikan waktu lima menit pada Calista untuk menenangkan dirinya, setelahnya ia berjalan mendekat dengan langkah yang sengaja di buat suara hingga kepala gadis itu menoleh.

Menyadari ada manusia lain di sini, Calista langsung menghapus air mata dan cairan yang keluar dari hidungnya cukup kasar, hal itu membuat wajahnya memerah. Dan semua itu tak luput dari pandangan Amera, jiwa keibuan wanita renta itu bangkit begitu saja.

"Nona, apa anda ingin saya bawakan sarapan?" tawar Amera dengan sopan.

Calista mendonggak menatap kepala maid yang memang selalu baik memperlakukannya.

"Apa tidak merepotokan Bibi Mera?" tanya Calista masih dengan wajah sembabnya.

Amera langsung menggeleng seraya tersenyum manis, "Saya bawakan roti kesukaan nona ke mari, ya," ujarnya kembali dengan sopan. Itu membuat sedikit hati Calista menghangat.

"Terima kasih, Bibi," ujarnya tulus.

Bibi Amera mengangguk dengan senang hati, kemudian pamit undur diri menuju ruang makan untuk mengambil pesanan sang nona.

***

"Apa nona tidak ingin beranjak dan bertemu tuan? Mungkin sebentar lagi tuan berangkat, dan kesempatan nona untuk melihat tuan hilang hari ini." Mera mengagkat alis memberikan ucapan logis yang semoga bisa membuat gadis iru merasa jauh lebih baik. Tubuh Calista bertumpu pada bangku besi taman belakang sejak satu jam yang lalu. Lebih tepatnya setelah menyelesaikan sarapan roti dan selai stroberi kesukannya.

"Biarkan saja, Bi. Xander mempunyai dunia sendiri, dan dunia laki-laki itu tidak selalu tentangku," ucapnya panjang lebar dengan sorot pandang yang masih kosong.

Amera menghela napas, sepertinya merupakan hal yang cuma-cuma untuk memberitahu atau bernegoisasi dengan nona mudanya. Tanggapan Amera, mungkin Calista ingin berdamai dengan dirinya sendiri lebih dulu.

"Baiklah, Bibi tak memaksa kembali. Yang terpenting, bila membutuhkan sesuatu nona bisa mencari bibi, ya." Penjelasan lenbut Bibi Mera hanya ditanggapi Calista dengan anggukan singkat, netranya masih kosong seperi sedia kala.

***

Tampak lesu dan tak semangat menjalani hidup. Hari mulai petang, siluet jinga yang menyerbak di sela pepohonan rindang samping mansion tak membuat atensi gadis itu terpecahkan.

Calista mendudukan tubuhnya di kursi yang tersedia di balkon kamarnya sendiri, lagi-lagi dengan tatapan kosongnya.

Padahal, bila netranya memilih mengedar, hal-hal elok nan menyejukan pandangan dapat dilihatnya sekarang.

"Nona, maaf menggangu waktunya. Nona harus makan setidaknya beberapa suap, sejak pagi anda tidak memakan apapun selain roti," ujar maid dengan nada sopannya. Ia diperintahkan Bibi Amera untuk mengantarkan makan malam sang nona walau di atas nakas makan siang gadis itu belum tersentuh sama sekali.

"Letakan di atas nakas saja," ujar Calista tanoa mengalihkan pandang.

Maid dengan umur cukup muda itu menatap sang nona dengan tatapan kasihan, ia tahu rasanya acuhkan oleh laki-laki yang ia sayang. Dan Calista baru mengalaminya sekarang.

"Jangan lupakan mananan anda, nona. Bila tuan mendengar, tuan pasti sangat mar—"

"Jangan membahas Xander!" Suara gadis itu naik satu oktaf menyela perkataan maid yang belum sepenuhnya selesai terlontar.

"Tapi nona—"

"Kau bisa keluar sekarang, terima kasih sudah membawakanku makanan," ujar Calista kembali.

Merasa suasan hati nona mudanya kurang baik, Maid itu langsung pamit undur diri setelah mendapat respon dehaman singkat dari Calista. Tak lupa kembalu menutup pintu kamar sesuai intruksi sang nona.

Mendengar pintu kamarnya tertutup, Calista bangkit dari posisi duduknya.

Gadis dengan setelan piyama celana dan baju panjang itu berjalan memasuki kamarnya tanpa menutup pintu balkon lebih dulu.

Calista masuk ke dalam kamar mandinta untuk sekadar membasuh wajah masamnya.

Namun gerakan tangan gadis itu saat mencuci tangan langsung terhenti saat meraskan gejolak aneh pada tubuhnya.

Mual, itu yang Calista rasakan sekarang. Satu sekon berikutnya cairan bening yang keluar dari mulutnya langsung ia arahkan ke washtafle. Napasnya terengah dan tak beraturan, rasa tak mengenakan ini mungkin efek samping karena gadis itu terlalu lama diterpa angin dengan perut tanpa isi.

Rambut tergrainya menghalangi jalan keluar cairan bening dari mulutnya, namun semua itu terjadi sebelum tubuhnya meremang saat kukungan erat tubuh kekar milik Xander mengunci pergerakannya.

Satu tangannya betumpu pada pinggiran washtafle, sedangkan tangan yang lainnya menyelipkan anak rambut Tita ke belakang telinga dan mengusap perlahan tengkuk gadis dalam kungkungannya itu.

"Ini akibat melewatkan makanmu. Tita, bisakah kau tak membuatku khawatir satu hari saja, hm?"