webnovel

LIONTIN

Dalam pelukan Xander, kedua alis Calista naik lengkap dengan kedua alisnya yang terangkat. Ia langsung mengangkat kepala saat merasakan sesuatu mengganjal tempatnya bersandar pada dada bidang Xander. Gadis dengan piyama putih itu lantas meraba dengan raut wajah seriusnya, kemudian tertegun saat liontin dengan aksen dan model yang sama dengan kalung miliknya juga berada pada leher laki-laki itu.

"Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Calista masih dengan netra tertuju pada liontin perak itu. Xander yang sebelumnya memejamkan mata dan mengembuskan napas teraturnya langsung menunduk menatap gadis dalam rengkuhannya. Ia menyirit bingung saat pertanyaan yang beberapa detik lalu mengudara, lupakah gadis itu perihal sesuatu?

"Haruskah pertanyaan itu kau lontarkan? Lupakah bila kalung yang menggalung bebas pada lehermu juga pemberianku?" Suara beriton itu membuat tubuh Tita sontak meremang, gadis itu langsung menjauhkan tubuhnya pada dada bidang laki-laki itu.

Mendudukan tubuhnya di sisi ranjang samping Xander saat melihat laki-laki itu mengizinkannya lewat tatapan netra. Bahkan Calista lupa perihal hal sepenting ini? Tahukan gadis itu bila Xander merasakan nyeri pada hatinya walau tak ditampakannya secara langsung?

"Aku lupa, maaf," ujar Tita tidak enak.

Mungkin ini tampak seperti hal kecil, siapapun bisa memakluminya. Namun tidak dengan Xander, laki-laki itu tidak termasuk golongan yang mudah memaklumi apapun.

"Itu lumrah, Xan. Tita sudah tidak bertemu kita bertahun-tahun, wajar ia lupa. Aku tak ingin kau marah dengannya, awas saja!" Jonathan ikut menimpali. Sisi lain Xander itu lebih dulu menyadari perubahan ekspresi pada wajah tita. Terkesan seperti tertekan dan bersalah dalam satu waktu.

"Beristirahatlah, masuk ke kamarmu sendiri," ucap Xander datar. Laki-laki itu bangkit, membawa tubuhnya memasuki walk in closet. Mengacuhkan rontaan Jonathan yang memakinya lantaran mengusir gadis kesayangannya terang-terangan.

Calista termenung di atas ranjang milik Xander, netranya menuduk dan menatap liontin perak pada lehernya cukup lama. Xander tidah tahu bila dimasa lalu terjadi sesuatu yang mengerikan dengan dirinya. Bahkan rupa ibu kandungnya saja Calista tidak tahu.

Dengan raut wajah lesu, Calista turun dari ranjang Xander tanpa kembali memakai sandal rumah milik Xander. Kedua kaki mungil itu berjalan menuju pintu keluar tanpa mengenakan alas apapun. Bohong bila Calista bilang lantai kamar laki-laki itu tidak dingin, sebab pendingin ruangan menyala dengan suhu rendah ditambah aura mencengkram yang berasal dari pemilik kamarnya.

Ia lebih dulu menatap pintu walk in closet yang masih tertutup rapat, kemudian mengembuskan napasnya sebelum menutup pintu kamar Xander dengan gerakan kelewat pelan.

Lorong panjang yang menhubungkan antara kamar Xander dengan kamarnya sendiri membuat langkah kakinya kian memberat. Ia membelokan langkah kakinya sendiri menuruni anak tangga. Kali ini, raut wajahnya sudah lumayan tenang walau gemuruh pada hatinya belum padam karena ketakutannya sendiri.

Jika boleh berkata seenak hati di depan Xander, Calista pasti memilih untuk meluapkan segala hal yang terjadi di masa lalu. Namun keberaniannya tak sebesar itu, ia manusia asing yang secara tak sengaja masuk ke dalam dunia kelam Xander. Ia tak ingin menganggap dirinya istimewa walau orang-orang di dalam rumah ini menganggap dirinya sedemikian.

Hanya kesunyian yang dirinya temukan, tak ada suara selain dentingan jam kuno di sudut ruang tamu lantai satu. Reflek atapun karena disengajakannya, Calista langsung membelokan tubuhnya ke lorong panjang sisi kiri saat mendapati pengawal berpatroli. Lorong panjang ini akan menhubungkan tubuhnya pada kolam renang berbagai ukuran.

Walau masa lalunya tak enak bila diingat, setidaknya denah rumah besar ini masih diingatnya amat sangat. Sepertinya kali ini Calista harus mensyukuri hal itu.

Senyuman tipisnya pada wajah gadis itu terbit, ia melangkahkan kakinya menuju sisi kolam. Menjongkokkan tubuh kecilnya yang hanya terbalut piyama berwarna satin warna putih. Dinginnya udara malam dan air pada kolam rupanya tidak membuat Calista meenggigil, setidaknya untuk saat ini.

Sila menganggap Calista berada diambang kesadarannya, anggap gadis itu gila untuk saat ini.

Kedua kakinya ia masukan ke dalam kolam hingga menyisakan kepala yang tampak pada permukaan, kedua kelopak matanya terpejam saat hawa dingin mulai menyapa tubuhnya.

Calista melepaskan kedua tangan miliknya yang beberapa waktu lalu bertumpu pada pinggiran kolam, menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dasar kolam tanpa bertumpu pada apapun. Anggapannya, ia ingin beristirahat dengan memejamkan matanya sebentar saat sekelibat bayangan masa lalu kembali menghantui malam panjangnya.

Rupanya masa lalu, semua yang berkaitan dengan Xander dan hidupnya tak pernah benar-benar Calista mengerti. Ia tak ingin dihantui mimpi buruk saat terlelap, ia tak ingin rasa takut itu menemuinya, ia juga tak ingin mengulang kesalahan yang sama untuk kali keduannya. Calista tak ingin menjadi gadis bodoh lagi. Entah seberapa lama tepatnya, yang jelas sampai detik ini Calista masih tahan dengan posisi tenggelamnya. Hanya tampak gelembung pada permukaan kolam, setidaknya itu cukup mendeskripsikan bila di dalam kolam terdapat sebuah nyawa.

Berlaku pada Xander, satu detik setelah laki-laki itu memandang ke arah kolam renang yang tampak saat dirinya berada di balkon, Jonathan memekik kencang saat menemukan tubuh seseorang di dasar kolam, itu Tita.

"Cepatkan langkahmu, bodoh!" maki Jonathan di sela perjalan mereka menuju kolam renang. Xander tak menanggapinya, walau raut wajahnya tampak tenang siapapun pasti tahu bila ia sedang dilanda kekhawatiran bila menatap manik jelaganya.

BYUR!

Suara air yang beradur dengan tubuh laki-laki itu terdengar, Xander langsung merengkuh pinggang Calista yang mulai tak sadarkan diri. Joanathan mengumpat kencang saat Calista berada dalam ambang kesadarannya, wajahnya putih pucat, serta bibir merah mudanya yang kini tampak membiru.

"Kau ingin bubuh diri, Tita?!" Xander berucap dengan rahang yang mengeras, rambut rapihnya kini berantakan lantaran air kolam, mata jelaganya juga memarah entah karena hal apa. Setidaknya kondisi Tita yang saat ini sangat berantakan membuat amarahnya seketika memuncak.

Calista tak lagi mampu menopang tubuh atasnya, gadis itu mengalungkan tangannya pada leher Xander dan menyandarkan tubuh kecil miliknya penuh pada Xander. Tubuhnya yang mulai merasakan hawa dingin angin malam kembali menggigil, dan Xander menyadarinya.

Laki-laki itu berjalan menuju sisi kolam, rupanya Robert memiliki insting dan kepekaan yang bagus. Laki-laki yang mengabdi pada Xander bertahun-tahun lamanya itu kini berdiri tak jauh dari kolam setelah menyerahkan handuk putih pada sang tuan.

Xander langsung menerimanya tanpa mengutarakan sepatah kata pun, wajah datar dan tatapan menusuknya mempu membuat siapapun merasa takut. Masih dengan posisi Tita di pinggir kolam dan tubuhnya berada di dalam kolam, Xander menyampirkan handuk itu agar hawa dingin yang ita rasakan sedikit berkurang.

Sayangnya Tita berada dalam pengecualian, gadis itu tak akan pernah merasa takut dengan Xander. Tangannya langsung menepis kasar haduk yang ingin di sampirkan Xander pada tubuhnya. Ia mantap Xander dengan napas yang terengah, mata berkilau milik gadis itu memerah dan berkaca-kaca, ia yakin bila gadis itu mengedipkan matanya satu detik saja, cairan kristal bening yang dihasilkannya langsung meluncur tanpa izin.

Mendapati penolakan secara langsung oleh Calista membuat Xander mengembuskan napas perlahan, ia tak mengerti dengan jalan pikir Calista saat ini. Bila semua orang di Mansionnya mengira Xander lah yang paling mengerti Tita, pemikiran itu salah. Xander tak pernah benar-benar memahami gadis di depannya. Calista terlalu rumit, ia Xander umpamakan sebagai labirin tanpa jalan keluar yang membuat penjelajahnya tersesat.

"Apa yang kau inginkan?" Pertanyaan dengan nada kelewat datar itu terlontar setelah keheningan menyapu keduanya, Xander dan Tita bungkam dengan netra yang setia bersitatap.

Namun melihat Calista tak menanggapi apapun dan tak memiliki niatan untuk menanggapi pertanyaannya, Xander kembali merengkuh pinggang gadis itu.

"Kau ingin mengakhiri hidupmu di dalam kolam bukan? Haruskah kita mencobannya bersama, Tita?" Ajakan itu sontak membuat Calista, Robert, dan Jonathan kaget. Bukan karena apa, nada bicara Xander tak lagi dingin, melainkan melirih dan terdengar sangat putus asa.