webnovel

FESTIVAL MUSIK KLASIK

"Kau sudah siap?" tanya Eveline.

Calista menoleh, kemudian menegakan tubuhnya menghadap wanita yang lebih tua dibandingkan dirinya dengan senyuman manis yang terpatri pada wajahnya. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu memutarkan tubuhnya agar sang teman dekat mengamati dres berwarna pink pastel yang melekat pada tubuh rampingnya.

"Kau selalu sempurna, ayo berangkat!" Eveline memuji Calista, kemudian meminta gadis itu berjalan keluar dari kamarnya sendiri.

Semuanya berlanjut, setelah pertemuan Calista dengan Xander di Caffe tempat mereka bekerja. Lebih tepatnya berjalan normal dalam artian baik-baik saja. Kembali seperti sedia kala walaupun dua pemeran utama masih memikirkan hal-hal di masa lampau yang hanya bisa mereka kenang. Senyuman kelewat manis yang muncul pada wajah keduanya berasal dari festival musik klasik yang akan mereka datangi. Tempatnya di pusat kota, perjalanan ke sana membutuhkan waktu kurang lebih satu jam.

"Kau benar-benar sudah lebih sehat?" tanya Calista di tengah perjalanan mereka menuruni anak tangga penginapan tempat keduanya tinggal.

"Aku sudah baik-baik saja, tidak perlu menghawatirkan hal itu," jawab Eveline dengan senyuman tipis. Wanita yang kini memakai celana panjang cukup longgar dan blouse motif garis horizontal itu memang dua hari yang lalu hanya bisa terkapar di atas ranjangnya saja. Magh yang diderita Eveline sejak masih remaja masih menghantuinya di umur cukup dewasanya.

Calista memilih mengangguk-angguk untuk menjadi respon, keduanya keluar dari pintu utama dan menuju mobil rental yang akan mereka gunakan.

***

Alunan musik pembuka yang terdengar kala pengunjung festifal masuk ke ruangan utama membuat Calista terdiam membeku. Genggaman tangannya pada dompet tangan yang ia bawa kian mengerat. Walau sorot matanya masih memancarkan ketenangan, kenyataan hatinya tidak setenang itu.

Yang Calista pahami, semua bagian dari hidupnya selalu memiliki sangkut paut dengan Xander.

"Kita duduk di sana." Eveline menunjuk dua bangku kosoong di barisan nomor tiga. Kursi exclusive untuk barisan paling depan hanya ada empat, hanya mereka yang mempunyai kekuasaan yang bisa duduk di kursi empuk itu.

Calista ikut menoleh ke arah tunjuk sang teman, kemudian mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya bersama dengan Eveline menuju bangku tempat mereka duduk.

Namun sepertinya kenangan tak ingin memihak pada Calista saat ini, tepat pada saat diriya mendudukan tubuh pada kursi samping Eveline, musik klasik Minuet In G karagan Beethoven mengalun indah tanda dimulainya festival. Ia hanya mampu memejamkan mata, kenangan di masa lampau saat dirinya dan Xander masih merajut asa kembali diingatnya. Semua itu berhasil membuat gemuruh pada dada Calista menggila dua kali lebih cepat. Tak ada yang mengerti selain dua insan yang memilih mengasingkan diri itu, Xander dan Calista sama-sama terkurung dalam jeratan masa lampau yang masih mereka kenang dalam hati keduanya.

Bedanya, kali ini Calista yang memiliki nasib kurang bagus. Kepalanya pusing karena puing-puing masa lalu itu kembali muncul setelah sekian lama dirinya pendam sendirian.

"Ada apa, Cal? Kau tidak menyukai lagunya?" tanya Eveline yang ternyata mengamati gerak-gerik Calista.

Gadis itu langsung membuka matanya, membenarkan helai rambutnya yang terurai ke belakang telinga sebelum tersenyum dan menggelengkan kepalanya seolah berkata dirinya tidak apa-apa.

"Aku hanya menikmatinya dengan mata terpejam." Kali ini, biarkan Calista memberikan alasan sesukanya. Ia tak akan penah tahu kehidupannya setelah ini, bukan?

Tiga jam berlalu begitu cepat, festival di akhiri oleh sambutan penyelenggara dan alunan kasik yang terdengar memilukan. Calista dan Eveline bangkit dari duduk mereka bersamaan dengan manusia-manusia lain yang juga berebut keluar dari ruang utama walau ada beberapa dari mereka yang bercipika-cipiki dengan segerombol pembawa acara.

"Ah, walaupun pegal tiga jam lamanya terduduk di kursi tak empuk itu, rasa pegalnya hilang setiap kali alunan klasik itu masuk ke dalam indra pendengaran," ujar eveline yang secara tidak langsung sedang mengeluh. Sedangkan Calista hanya menanggapinya dengan kekehan kecil, mereka berjalan menuju pintu keluar dan memilih untuk langsung pulang ke penginapan mengingat hari sudah larut malam.

Dua gadis itu langsung disuguhkan oleh gemerlap lampu malam pusat kota jakarta dan deru kendaraan yang terdengar memekikan.

"Aku sedikit lapar, haruskah kita malam malam terlebih dahulu, Cal?" tanya Eveline sesampainya mereka di parkiran luas gedung berlantai tujuh ini. Calista tampak menimang-nimang beberapa detik, kemudian mengangguk tanda dirinya setuju. Senyuman pada wajah Eveline tampak melihat respon gadis di sampingnya.

"Aku tahu lestoran enak tak jauh dari gedung ini, ayo jalan kaki saja!" ajaknya dengan nada penuh binar.

Tak ingin membuat kebahagiaan temannya luntur karena tolakananya, Calista memilih menganggukan kepala kembali serya menampilkan senyuman manis.

Mereka kembali menyusuri trotoar dengan semilir angin malam yang menerpa wajah keduanya. Jam menunjukan pukul 22.03 WIB, keadaan yang tampak tak baik untuk keduanya. Sesekali tangan Calista memegangi dres yang dipakainya sendiri saat angin menerpa tubuh bagian bawahnya, ia merasa menyesal menggunakan dress selutut tampa tangan dengan kondisi dingin seperti malam ini.

"Ev, sepertinya kau ke caffe duluan saja ya. Aku harus menarik uang untuk membayar makananku nanti," ujar Calista di tengah perjalanan mereka.

"Itu bukan masalah besar, Cal. Kau bisa memakai uangku," tawar Eveline dengan nada menenangkan, wanita itu memang sangat baik kepada siapapun.

Namun Calista menggelang, "Aku juga membutuhkan uang untuk membeli keperluannku satu bulan ke depan, Ev," ujarnya memberitahu.

Eveline mengangguk-angguk paham, "Baiklah aku akan menunggu di sini, jangan terlalu lama ya!"

Keduanya saliang melambaikan tangan, Calista menyebrangi jalan raya untuk mengaambil uangnya terlebih dulu, sedangkan Eveline memundurkan tubuhnya dan memilih menunggu di sisi trotoar.

***

Calista menyirit kebingungan saat mendapati segerombol manusia yang mengerumuni sesuatu di pinggir trotoar yang seelumnya di singgahi Eveline. Kedua bola matanya membelalak, ia baru ingat bile Eveline baru saja sembuh dari sakitnya. Kedua kaki Calista bergerak tidak nyaman dengan kedua bola mata menatap lampu merah yang tak kunjung berubah menjadi warna hijau. Dua menit berikutnya, gadis itu berlari membiarkan angin malam menyapu rambut panjang tergerainya.

Calista menerobos kerumunan dengan mudah setelah mengatakan dirinya mengenal siapa yang terkapar di atas paving trotoar.

"Astaga Eve!" pekik Calista dengan nada kahawatirnya.

"Apa kau mengenalnya? Aku melihat gadis itu terjatuh begitu saja, itu mengundang perhatian beberapa orang yang melintas," ujar laki-laki dengan seragam putih seperti seorang satpam.

Calista menganggauk, " Ia temanku," jawab Calista masih denagn nada khawatir.

"Maaf saya tidak bisa membantu membawa teman anda ke Rumah Sakit, saya masih harus bertugas di kantor, permisi," ujar satpam itu kembudian melenggang pergi saat mendapati anggukan dari sang lawan bicara.

Hanya ada keheningan, Calista mengedarkan pandangannya kembali untuk mencari pertolongan. Kali ini, ia merasa bodoh.

Namun saat melihat mobil hitam melintas di jalurnya, Calista nekat karena tak memiliki pemikiran lain. Gadis dengan flatshoes berwarna senada dengan gaun birunya itu langsung berlari ke tengah-tengah jalan dengan kedua tangan yang direntangkan. Ia harap orang yang melintas memilih singgah dan membantunya membawa Eveline menuju Rumah Sakit terdekat.

Gaun yang dipakainya disapu angin, rambut tergerainya acak-acakan, ia tak memikirkan hawa dingin yang begitu menusuk kulitnya langsung.

TINNN!

Suara klakson membuat kedua kelopak mata Calista terpejam, ia merasa gila dan tak bisa berpikir jernih sekarang. Apa ia akan ditabrak karena terlalu kecil dan tidak terlihat oleh sang pengendara mobil?

Namun saat mendapati bagian perutnya terkena sesuatu yang ia sadari sebagai bagian depan kap mobil, gadis itu langsung membuka kedua matanya. Ia langsung berjalan menuju sisi kemudi, mengetuk kaca hitam yang tak menampakan pemandangan apapun dengan gerakan terburu-buru.

Perlu beberapa detik unuk jendela hitam itu terbuka. Sial, ia bingung harus memaki siapa sekarang.

Sepertinya Calista memang tak memiliki stok keberuntungan beberapa hari terakhir.

Mata gadis itu membelalak, wajah tak percayanya tampak saat mengetahui siapa pengendara mobil yang diberhentikannya. Mengapa semesta lebih sering mempermainkan keduanya sekarang?

"XANDER?!" pekik gadis itu memberikan dialog terakhir untuk bab ini.