webnovel

CAFE SYMPHONIC

"Ayolah, aku hanya keluar sebentar saja," ujar Calista dengan nada memohon.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar dengan tubuh yang berbaring mengenaskan. Bosan, itu yang Tita rasakan, seharian penuh berada di dalam kamar ternyata membuatnya merasa sedemikian. Jangan salahkan maid atau Bibi Amera di sini, sebab Tita lah yang tak ingin keluar dari kamarnya sendiri lantaran kesulitan saat menuruni anak tangga. Ia masih memegang teguh prinsipnya, tak membuat orang lain kesusahan.

"Tidak kuizinkan, apa kau lupa dengan luka pada kakimu?" tanya Xander di seberang sana. Ucapan laki-laki itu langsung ditanggapi Calista dengan dengusan tidak senang. Mau bagaimanapun, ia harus tetap mendapat izin dari sang pemilik rumah. Sebab Robert yang ditugasakan untuk menjaganya bersama Bibi Amera tak akan mengizinkannya keluar dari pintu utama bilamana tak mendapat izin dari laki-laki itu.

"Mengapa?" Tanya Calista. Kali ini gadis itu mengubah nada bicaranya. Terdengar memelas dan parau agar Xander mengizinkannya keluar dan bersenang-senang menikmati suasana New York.

Tak ada sahutan, Xander menunggu sepatah ucapan yang akan dilontarkan gadis itu untuk melengkapi pertanyaan dengan nada parau itu. Bahkan Xander bisa meluangkan jam kerjanya di kantor untuk meneladani sikap kekanak-kanakan Calista.

"Kau selalu memintaku untuk mengiyakan segala yang kau inginkan. Tapi mengapa saat aku meminta sesuatu kau selalu mempertimbangkannya amat lama? Bukankah itu tidak adil?" Pertanyaan dengan nada parau itu terlontar, ia yakin Xander di sana sedang mengigit bibirnya sendiri mendengar nada bicaranya yang terkesan membuatnya serba salah.

Calista terkikik tanpa suara, ia menjauhkan ponsel genggam yang baru Xander belikan dengan nomor negara ini agar keduanya bisa berhubungan dengan baik. Jangan kira Calista sedang serius mengatakannya, anggap saja itu sebah acting agar sang tuan mengizinkannya keluar dari mansion luas yang mengurungnya berminggu-minggu.

Terdengar emebusan napas lebih dulu, "Baiklah aku mengizinkanmu," ucapnya dengan nada pasrah. Xander kalah, pada akhirnya pilihan final yang harus dirinya putuskan adalah keputusan yang setidaknya bisa membuat suasana sang gadis jauh lebih baik.

"Kau bisa pergi dengan Robert dan tiga pengawal, untuk hal ini kau tidak bisa melakukan negoisasi denganku," sambung Xander yang membuat eskpresi wajah senang yang baru sajha terpatri pada wajah Calista padam seketika. Ia manatap datar ponsel dalam genggamnya, kemudian menekan icon telepon berwarna merah untuk mengakhiri sesi berbicara dengan Xander yang selalu membuatnya kalah dalam artian sebenarnya.

Kaki kirinya yang terbebas deri perban langsung menendang udara dan mengeluarkan beberapa umpatan dengan nada kecil, di keluar sana banyak penjaga. Ia tidak ingin mereka mendengarnya dan melaporkan hal itu pada Xander.

Namun setelah berpikir matang tentang penawaran Xander, Calista hanya menganggapi ucapannya sebagai sebuah syarat agar dirinya bisa diizinkan keluar dari kurungannya. Calista sedikit tak mempermasalahkannya, lagi pula ia bisa berjalan menggunakan tongkat, dan itu tidak akan menyusahkan siapapun.

Tangan Calista terulur menekan tobol yang kini tersedia di atas nakas, tombol itu mengghubungkan pada ruangan luar kamarnya sendiri, ia menekannya agar Bibi Amera datang dan membantunya bersiap-siap. Kali ini Calista merepotkan orang lain, setidaknya untuk sat ini saja.

Dua menit berlalu, pintu kamarnya terbuka setelah ketukan beberapa kali terdengar. Calista mendonggak, kemudian tersenyum saat melihat Bibi Amera datang dengan seragam yang biasanya wanita paruh baya itu kenakan.

"Nona membutuhkan sesuatu?" tanya Bibi Amera setelah sampai tepat di samping gadis itu.

Calista langsung mengangguk dua kali dengan seutas senyum lebar yang masih terpati jelas pada wajah manisnya.

"Aku sudah meminta izin padam Xander, ia mengizinkanku untuk keluar dari mansion. Bibi, bisakah membantuku untuk memilihkan pakaian yang cocok?" cerocos Calista panjang lebar dnegan nada riang khas-nya.

Sang kepala pelayan itu tersenyum simpul, ada bagian dari dirinya yang menghangat sat gadis itu tersenyum amat manis. Ia merasa kembali bertemu dengan anak perempuannya yang meninggal karena kebakaran rumah saat berumur lima tahun.

"Bi? Apa bibi mendengar ucapanku?" tanya Calista dengan kedua alis yang terangkat. Ia bingung karena Bibi Amera hanya tersenyum simpul, kemudian menatapnya dengan pandangan kosong seolah teringat suatu hal yang membuat wajahnya menyorotkan sebuah keksedihan.

Tubuh wanita paruh baya itu langsung tersentak, kemudian kembali menatap sang nona yang masih menatapnya dengan kedua alis yang terangkat. Itu membuatnya kian tampak menggemaskan dimata orang-orang.

"Iya, Non. Bibi akan mencarikan baju yang cocok untuk dipakai hari ini," ujar Amera dengan senyuman tipis yang kembali tampak. Calista menanggapinya dengan senyuman tak kalah lebar, kemudian netranya bergulir menuju walk in closet saat Bibi Amera memasuki ruangan itu tanpa kembali menatapnya. Itu aneh, mengapa Calista seperti melihat mata wanita paruh baya itu memerah seperti menahan isak tangis? Apa itu hanya pemikirannya saja?

Merasa tak kunjung menemukan titik terang akan pertanyaan yang tidak dirinya dasari dengan apapun, Calista memilih untuk mengendikan bahu acuh. Gadis dengan pakaian yang belum terganti sejak malam itu langsung menurunkan ke dua kakinya perlahan dari rajang, lagi-lagi dengan gerakan yang sangat hati-hati. Ia memikirkan renteran ucapan Xander saat sebelum laki-laki itu berangkat menuju kantornya sendiri.

"Mungkin ini cocok untuk nona pakai, terlihat manis dan lucu," ujar Bibi Amera. Wanita itu menyodorkan satu stel jampsuit jeans sepaha dengan dalaman kaus puth yang sedikit corp. Calista tersenyum melihatnya, lantas mengangguk bila dirinya setuju akan stel pakaian yang Bibi Amera tunjukan.

"Aku menyukainya, Bi!" girang Calista dengan senyuman yang belum luntur pada wajahnya.

Bibi Amera langsung tersenyum, kemudian membantu Calista berdiri. Membawa tubuh mungil dengan luka pada kaki kanannya itu menuju walk in closet untuk mengganti baju yang akan dipakainya keluar dari mansion. Sebenarnya Amera hanya memilihkan baju yang menurutnya bisa dipakai sang nona dengan nyaman dan tak membuatnya kesulitan untuk berjalan.

***

Senyuman yang terpatri pada wajah Calista tak luntur, ia menuruni satu persatu anak tangga dengan dibantu Bibi Amera. Sedangkan tongkat yang akan dirinya bawa diambil alih oleh Robert. Laki-laki itu berdiri satu tangga lebih dulu dibandingkan sang nona untuk meminimalisir kejadian buruk yang mungkin saja terjadi.

"Hati-hati, Nona. Tidak perlu terburu-buru," ujar Robert saat melihat langkah kaki Calista semakin cepat. Gadis itu juga sepertinya tak memperhatikan langkah kakinya, terbukti saat dua bola mata indah itu sibuk bergulir ke arah lain untuk mendapati lantai satu yang sudah tak dikunjunginya sejak kemarin malam. Katakan ia terlalu berlebihan sekarang.

Mereka sampai di lantai satu, tiga pengawal termasuk sopir yang akan mengantar Calista berdiri dengan menundukan kepala hormat. Hal itu sedikit membuat Calista mengembuskan napas tidak suka, ia tak ingin dipandang telalu tinggi oleh pekerja yang ada di sini. Ia hanya orang asing hanya kebetulan bergaris takdir yang sama dengan Xander, tuannya.

"Ini tongkat anda," ujar Robert. Laki-laki itu menyerahkan tongkat yang sudah Xander persiapkan untuk membantu jalan sang nona. Melihat sodoran tongkat dari Robert, Calista langsung menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih," ujarnya dengan nada riang.

Robert hanya menenagguk dengan kepala yang menunduk dalam, ia selalu tidak bisa menahan bulan sabit pada wajahnya bila mendapati sang nona tersenyum sedemikian manis untuk dirinya.

Sial, mengapa malah pemikiran itu yang hinggap? Memang seharusnya laki-laki itu berada di kantor untuk menghandle segala aktivitas Xander seperti biasanya. Namun untuk waktu yang belum diprediksikan, tepatnya setelah Calista kembali bisa menggunakan kaki kanannya dengan bendar, Xander memberi hukuman pada sang tangan kanan dengan cara menjaga Calista baik-baik.

Bertahun-tahun ia hidup dan bekerja pada Xander, hanya hukuman ini yang Robert anggap seperti angin lalu. Namun itu hanya anggapaannya. Sebab, justru menjaga sang berlian seperti Calista lebih membuatnya tak nyaman dibanding memecahkan misi yang tuannya perintahkan.

Bila kode yang digunakannya di dunia bawah sangat rumit, maka pada dunia Xander dalam pekerjaannya Calista jauh lebih dari kata rumit.

"Nona, tempat apa yang ingin anda kunjungi hari ini?" tanya Robert di sela perjalanan mereka menuju teras. Calista menoleh, kemudian kembali tersenyum senang untuk kesekian kalinya. Bibi Amera yang masih setia mengantar mereka ikut tersenyum melihatnya.

"Aku ingin mengunjungi Cafe Symphonic. Cafe yang dulu pernah kusinggahi bersama Xander."