Baru beberapa langkah keluar dari butik itu, Lauren dibuat terkejut oleh kehadiran dua temannya. Siska dan Michel. Dua gadis itu langsung menyerbu Lauren, melirik ke arah Adam yang sedang menatap mereka.
"Ini suami kamu? Gila lo! Suami ganteng gini dianggurin!" kata Michel sambil menyikut pinggang Lauren. Sedangkan Siska sudah berada di sebelah Adam yang memandang bingung ke arahnya.
"Lo Adam kan? Kenalin, gue Siska. Temen Lauren dari jaman masih bocil sampai sekarang. Gini ya, Dam." Siska berdehem hendak memberi petuah. Tapi Lauren dengan cepat menutup mulutnya itu dengan telapak tangan. Dia tahu kalau Siska pasti mau ngomong sesuatu yang aneh dan nyeleneh.
"Gak usah ngomong lo!" kata Lauren.
Siska melawan. Dia masih berjuang untuk bicara dengan Adam lewat Michel yang kini tengah menatapnya. "Jadi, mending kita bicara di sana aja. Lumayan kan bisa kenyang sekalian ngadem, daripada di sini," usul Michel membuat Lauren mendecih sebal.
Dia melepaskan tangannya dari mulut Siska. Mengamati wajah kedua sahabatnya yang tampak merasa menang.
"Kalian berdua mau bicara dengan Lauren atau saya?" tanya Adam.
"Lo!" kata Michel dan Siska bersamaan. Adam terkejut, mungkin agak kaget dengan gaya bicara keduanya yang kasar dan tidak sopan. Tapi sebagai orang yang paling tua di antara mereka, Adam berusaha sabar saja.
Memaklumi apa yang sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka.
"Om jangan mau!" kata Lauren merasa ada yang gak bener dengan dua sahabatnya itu.
"Lo masih manggil suami lo dengan sebutan Om? Lo gila hah? Mau jadi apa lo?" kata Siska marah mendengar nama panggilan yang sudah biasa Lauren ucapkan pada Adam.
"Sudah-sudah, sekarang lebih baik kita ke kafe itu. Kalian benar-benar berisik, saya yang malu dilihatin orang," kata Adam berjalan menuju mobil. Meletakkan beberapa paper bag ke dalam bagasi belakang.
Sedangkan Lauren dan kedua sahabatnya berjalan menuju kafe yang hanya beberapa langkah saja dari butik itu. Lauren menoleh ke arah Adam yang membawa mobil mereka ke halaman parkir di kafe tersebut.
"Kalian berdua mau ngomong apa hah!" kata Lauren melambatkan sedikit langkahnya. Siska dan Michel hanya mengedikkan bahu.
"Kita juga gak tahu. Kan ketemunya dadakan Lauren sayang...," alibi Michel sambil memberi kedipan pada Siska. Keduanya mengangkat kedua alisnya, seakan menang melawan Lauren yang sudah tak berkutik lagi.
Sampai di meja kafe, Lauren hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua sahabatnya memesan banyak makanan. Dia tak bisa memarahi mereka karena Adam juga tampaknya tidak masalah akan hal itu.
Lauren menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Jadi kalian mau apa ha? Jangan-jangan kalian cuma mau morotin Om Adam doang?" tebak Lauren.
Michel dan Siska menggeleng. "Pertama, kenapa lo bilang suami lo dengan sebutan 'OM' hah? Apa kata orang yang denger?" hardik Siska diam-diam membuat Adam senang. Setidaknya ada yang perhatian pada dirinya yang mulai jengah dipanggil begitu oleh Lauren.
Siska memandang Adam. "Lo suka dipanggil 'Om' sama Lauren?" tanya Siska pada Adam yang menunjuk dirinya. Pria itu melirik Lauren yang mendelik. Namun kali ini Adam pikir Siska dan Michel tidak akan berada di pihaknya.
Ketika dia menggelengkan kepala.
Kedua teman Lauren serempak menatap tajam ke arah gadis itu.
"Sejujurnya saya juga risih dipanggil begitu oleh Lauren. Tapi sepertinya dia sudah nyaman dengan panggilan itu," ucap Adam dengan muka pura-pura sedih, sengaja memantik rasa iba dari Siska dan Michel.
"Lo harusnya manggil dia dengan panggilan lain. Sayang, kek! Ayang, kek atau apalah gitu yang menunjukkan rasa sayang. Masa 'Om'? Hih gak tahu terima kasih lu ah!" kata Siska frontal sekali. Tapi sekasar apapun gadis ini bicara, Adam setuju dengan perkataannya.
'Ada apanya nih anak,' batin Adam curiga, namun tetap senang karena dia membela Adam ketimbang Lauren, sahabatnya sendiri.
"Iya, nanti gue pikirin." Lauren menyahut dengan malas. Dan Adam dibuat takjub, karena secepat itu dia menurut.
"Kedua, buat Adam. Tolong jaga Lauren kami ya." Michel menatap Adam dengan pandangan sedih yang membuat Lauren heran.
"Apaan tuh! Kek mau pergi aja," sergahnya. Siska dan Michel menunduk menatap lantai.
"Kita mau lanjutin S2 di luar negri. Gua bakalan ke London. Dan... Michel, lo tahu kan dia suka bikin pastry. Dia mau ke Australia," kata Siska menghantam Lauren dengan perasaan sedih.
Matanya berkaca-kaca. "Lo berdua bercanda ya?" tanyanya tidak terima ditinggal begitu saja.
"Maka dari itu sejujurnya kita mau beliin lo hadiah buat kenang-kenangan. Tapi malah ketemu sama lo dan Adam di sini," kata Michel dengan muka merah padam menahan tangis.
"Kita bakalan pergi. Tapi kalau kita ada kesempatan, kita bakalan balik cepet kok buat jengukin lo." Lauren menyeka sudut matanya yang basah.
"Saya bakalan jaga Lauren sampai kalian kembali." Adam melihat Lauren menunduk. Menghalau air matanya agar tidak terlihat oleh pria itu.
"Tapi, jika dia pengen ketemu. Kalian berdua harus siap menjemputnya." Siska dan Michel mengiyakan dengan cepat.
Lauren diam-diam tersenyum mendengar hal tersebut. Artinya Adam rela menggelontorkan dana besar demi dirinya.
Pertanyaannya, seberapa istimewa Lauren di mata Adam sampai pria ini rela kehilangan uangnya demi kebahagiaan gadis itu?
Lauren menelan ludah. Bibirnya kelu ingin mengucap terima kasih pada Adam.
***
Lauren melempar paper bag di tangannya ke atas kasur. Membuat Adam mendesah sebal ketika melihatnya. Gadis ini memang serampangan sekali, pikirnya.
Pakaian Lauren yang mengundang nilai buruk itu tersingkap saat dia menghempaskan badan ke kasur. Memperlihatkan kaki jenjang Lauren yang begitu menggugah iman Adam.
Sebagai gentle sejati, pengendalian dirinya diuji sekarang. Apalagi Lauren tampaknya tidak pernah merasa risih saat bersama dengannya.
Seolah dia berpikir, kalau Adam akan tahan dengan siksaan yang diberikan secara diam-diam itu. Serangan elegan yang membuat lutut Adam lemas.
"Kamu bisa ganti pakaianmu, Lauren. Tidak malu hah!" tanya Adam ketus. Pria itu menghela napas panjang. Mencoba menetralisir desakan yang membuat setiap inchi kulitnya terasa terbakar.
"Males," sahut Lauren minta dicekik. Adam berdiri di depan kaki Lauren. Sekali lagi menyapukan pandangan pada keindahan di depannya.
"Om melihatku seperti daging segar ya? Dasar otak orang tua!" kata Lauren, bangkit dari tidurnya.
Adam mendekat. Menekan bahu Lauren dan mendorong gadis itu hingga berada di bawah tubuhnya. Mata Lauren berjelajah menyelami manik kecoklatan yang kini terasa menghipnotisnya.
"Jangan panggil aku begitu lagi, kamu lupa janjimu tadi sama Siska dan Michel?" cetus Raja geram melihat wajah Ratu.
"Lalu apa? Adam saja? Serasa gak sopan gak sih?" tanya Lauren.
Adam diam saja. Terus memandangi Lauren tanpa berkedip. Dia mendekatkan wajahnya dan membungkam Lauren dengan cepat.
Tak ada perlawanan. Seperti Adam yang kehausan. Begitu juga Lauren yang menyeimbangkan diri dalam rengkuhan pria itu. Menikmati sentuhan hangat Adam yang menjalar di tungkai kakinya.
Lauren dibawa ke awang-awang oleh Adam. Membuat gadis itu sesaat lupa dengan kekesalannya.
"Kamu juga sama kan?" tanya Adam.
"Sama apanya! Nih rasain!"
"Awwhh! Akhhh! Lauren!" pekik Adam ketika kaki gadis itu dengan mudah menendang masa depannya.
Adam tersungkur. Lauren bangun dan menaruh kakinya di bahu Adam yang terduduk di lantai. "Cemen!" ledeknya.
***
Bersambung