"Kita mau kemana hari ini?" Tanya Bima setelah menggeser piring kosong yang tadi Ia gunakan untuk sarapan.
"Terserah, bahkan kau yang mengajak aku kemari."
"OK. Kita jalan – jalan ya.. sekalian cobain baju yang di siapin si Emon buat kamu."
"Jam berapa?"
"Nanti jam sembilan." Sahut Bima sambil menatap sekilas pada jam di pergelangan tangannya.
Sefia hanya manggut – manggut tak menjawab, Ia bangun dari duduknya lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Beberapa menit kemudian Sefia sudah nampak rapi dengan dress yang menutup tubuhnya.
"Ganti baju sana." Titah Sefia pada Bima yang kini justru berdiri tepat di hadapannya, bahkan kedua hidung mancung mereka saling bersentuhan hingga deru nafas hangat keduanya terasa hangat.
"DOOOORR"
Tiba – tiba Bima mengagetkan Sefia yang sedang menatapnya walau dengan wajah yang sedikit Ia mundurkan.
'Aku takut hilaf walau kita halal, Sefia....'
Sontak Sefia mendorong wajah Bima yang kini sedang menertawakannya. Namun bukannya menjauh Bima justru menarik pinggang Sefia kedalam pelukannya.
"Bima..."
"SSssttt, bisa ga sih untuk sekali ini aja kamu ga ketus atau cerewet." Tatapan teduh seorang Bima mampu menghipnotis Sefia, yang tadi meronta kini diam menurut.
"Ada apa?" Tanya Sefia saat menyadari suaminya itu hanya menatap lekat dirinya tanpa kedipan.
"Ada yang mekar tapi bukan bunga." Tutur Bima lembut.
"Lalu apa?" Tanya Sefia dengan polosnya.
"Hatiku." Jawab Bima dengan bisikan menggoda, kemudian berlalu meninggalkan Sefia yang masih terbengong dengan tangannya kirinya yang tiba – tiba memegang dadanya yang sedang bertalu dengan begitu cepat.
Beberapa menit berlalu Bima telah siap dengan kemeja biru navy senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Sefia.
Selama perjalanan menuju ke sebuah tempat yang ingin mereka tuju tak ada satupun perkataan yang keluar dari kedua bibir mereka.
Suasana hati Sefia mendadak berubah menjadi tak menentu, degup jantungnya masih tak beraturan seperti beberapa menit yang lalu, wajahnya kian memerah kala ia mengingat perkataan Bima sebelum mereka berangkat.
"Kamu kenapa Sef? Sakit?" Tanya Bima sambil memutar setir mobilnya.
"Iya, Eh! Enggak." Jawab Sefia gugup, Bima menoleh pada Sefia yang nampak bingung dan terlihat kegugupan diwajahnya.
"Ya udah kita ke rumah sakit dulu ya, nanti baru kita jalan kalau kamu memang baik – baik aja."
"Ga usah, aku ga apa – apa kok, kita lanjut aja."Jawab Sefia sambil mengeleng pelan.
Bima mengangkat satu alisnya, "Serius?"
Sefia mengangguk tegas.
"Dadaku sesak atau jantungmu sakit, sedari tadi aku lihat kamu pegang dada kamu terus, akui jadi khawatir sef, aku takut kenapa – kenapa sama kamu."
"Hah!" Sefia membuang nafas kasar, lalu menutup kedua wajahnya.
"Aku bisa sakit jantung beneran kalau deket kamu terus."
"Hahahaha... Ya Allah Gusti, kirain kamu sakit jantung beneran Sef." Bima tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh istrimya.
Dan tiba – tiba saja Bima menghentikan mobilnya di sisi jalan.
"Ada apa kok berhenti?" Tanya Sefia saat menyadari mobil yang mereka naiki berhenti di bahu jalan.
"Sini." Bima mengubah duduknya menghadap pada Sefia.
"Kenapa?"
"Sini, nurut sama suami ga boleh nolak. Cepetan."
Sefia masih menatap Bima tak mengerti. Dengan tak sabar Bima menarik Sefia kedalam pelukannya.
"Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu dengar?" Sefia mengeratkan pelukannya pada Bima, kedua matanya terpejam menikmati hangatnya pelukan dari lelaki halalnya. Terasa degup jantung yang sama hebatnya dengan apa yang Ia rasakan saat ini.
"Gimana, sama enggak?" Tanya Bima masih dengan mendekap tubuh istrinya.
"Biarkan berjalan apa adanya seperti ini Sef, Sekuat apa pun kita menolak, namun jika Allah berkehendak kita berjodoh, lalu kita bisa apa?" Bima mencium pucuk kepala sang istri dengan sayang.
"Mari kita bersama belajar menikmati kenyamanan saat kita bersama, mungkin saat ini proses itulah yang harus kita jalani, aku hanya ingin kamu merasa nyaman dan aman ketika bersama ku."
Sefia mengurai pelukannya, Ia mendongak menatap teduh kedua mata sang suami yang kini juga menatap padanya.
"Aku akan segera menyelesaikan urusanku dengan Laura, aku akan menepati apa yang sudah aku katakan padamu."
Sefia hanya tersenyum lalu mengangguk.
"Aku mengerti. Jika kita memang berjodoh baik itu Laura atau siapapun di dunia ini tak akan mampu memisahkan kita, namun jika tidak, maka kita bisa apa?"
"Sef..."
"Tak perlu khawatir, kita sudah sama – sama tahu kehidupan kita masing – masing, bahkan akupun punya masa lalu yang sudah saatnya aku lupakan bahkan aku kubur dalam – dalam."
Jalan raya siang ini nampak begitu ramai, berbagai kendaraan berpacu ingin segera sampai ke lokasi tujuan masing – masing.
Saat di lampu merah mobil yang Bima kendarai berhenti, dan matanya meangkap sosok yang baru saja ingin Sefia lupakan menggunakan mobil terbuka bagian atasnya dengan seorang perempuan yang nampak cantik duduk manis di sampingnya.
'Pram?' Batin Sefia.
TIIIINNN
Bunyi klakson pegemudi lain terdengar saat lampu lalu lintas berubah hijau, Bima dengan cepat kembali melajukan mobilnya menuju ke tempat dimana Emon dan Andi telah menunggu mereka.
'Kenapa dia disini? Ya Allah disaat hamba ingin melupakannya mengapa kau perlihat kan dia padaku,'
"Sef..." Bima memgang pundak Sefia yang sedang menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.
"Kamu beneran ga apa – apa?" Tanya Bima khawatir.
"Aku baik – baik saja, hanya belu terbiasa aja kali dengan cuaca disini."
"Oh, Baik lah, ayo turun kita sudah sampai."
Sefia manatap ke segala arah, lalu menatap Bima yang sedang menatap dirinya dengan enyuman lembut.
"Maaf."
"Ok, ayo turun." Ajak Bima setelah membantu melepas sabuk pengamanpada tubuh Sefia.
"Oey! Pengantin baru emang selalu menghabiskan waktu, kita udah lumutan dari tadi nungguin kalian tahu ga." Ucap Andi kesal saat melihat Sefia dan Bima masuk ke dalam butik milik Emon.
"Helah! Ntar juga kamu rasain sendiri kalau jadi pengantin baru, jangan protes." Sahut Bima tak mau kalah.
"Emang dasar Mas Bos, Nih bajunya cobain." Ucap Emon menyodorkan baju couple pada Bima yang langsung menarik Sefia masuk ke dalam bilik untuk mencoba baju mereka.
"Woy gantian! Dilarang berduaan di ruang ganti, bahaya!" Teriak Andi.
"Yang bahaya itu Elo sama Emon kalau masuk ruang ganti bersamaan." Jawab Bima sedikit berteriak.
"IH! Mit Amit" Jawab Andi dan Emon bersamaan lalu saling memalingkan muka.
"Cobalah." Ucap Bima sambil menyerahkan satu gaun yang tadi di berikan Emon padanya.
"Kenapa?" Tanya Bima saat istrinya itu hanya diam sambil menatap padanya.
"Bisa keluar dulu ga?"
"Ga bisa." Jawab Bima cepat.
"Kenapa tidak bisa?"
"Belum masuk makanya ga bisa keluar." Jawab Bima lalu tertawa melihat wajah Sefia yang menunduk dengan rona merah di wajahnya.