webnovel

Chapter.2

Sania mengedipkan matanya perlahan. Silau, cahaya matahari yang terlalu terang menyilaukan matanya yang baru terbuka. Mata gadis itu semakin menyipit, kemudian kembali terpejam untuk beberapa saat.

Setelah memastikan matanya bisa beradaptasi dengan cahaya terang matahari. Ia kembali membuka matanya dengan perlahan.

"Dimana aku?" gumam gadis itu dengan heran.

Ia menelisik setiap sudut ruangan yang ia tempati. Sebuah kamar mewah yang luas, karpet bulu yang terlihat lembut, kasur yang empuk dengan tempat tidur luas, serta balkon kamar yang dibatasi kaca besar yang luas.

Diluar terlihat pemandangan perkebunan anggur yang luas. Gadis itu bangkit dari tidurnya, dengan hati-hati ia mencari-cari keberadaan dari barang-barangnya.

"Aku dimana? Dimana barang-barang ku?" bisiknya dengan sedikit frustasi.

Bagaimana tidak frustasi. Setelah memperhatikan bagaimana percintaan panas dari mantan suaminya dengan sang sahabat. Ia berlari dengan tak tentu arah, lalu setelah itu ia tidak mengingat apa-apa lagi selain kegelapan yang mulai menyelimutinya.

Bagaimana jika dia diculik oleh mantan suaminya itu. Kemudian dijual kepada bandot tua hidung belang. Bukankah itu mengerikan.

Seperti belum cukup besar penderitanya. Lagi, dan lagi ia harus mendapatkan cobaan yang tidak ia tahu sampai mana ini akan berakhir.

"Nona, Anda sudah bangun?"

Mendengar suara yang tiba-tiba datang. Sania terlonjak kaget. Tiga orang wanita berpakaian pelayan tengah masuk ke dalam kamarnya membawa banyak barang, dan nampan berisi makanan.

"Siapa kalian? Dimana aku?" tanya Sania dengan gerakan waspada terhadap mereka.

"Anda berada di mansion milik Tuan Calova, Nona. Tuan berpesan agar Anda segera makan dan membersihkan diri jika telah sadarkan diri. Beliau akan menemui Anda setelah beliau kembali dari pekerjaannya." Jelas salah satu pelayan itu dengan senyum yang ramah.

"Siapa Mr.Calova?"

"Anda tidak tahu, Nona? Tapi kata Tuan, Anda calon nyonya kami? Bagaimana bisa Anda tidak tahu?" tanya pelayan yang satunya lagi dengan kening yang berkerut.

"Kalian saja tidak tahu, apalagi aku!" Kesal Sania sembari mendengus. Gadis itu kemudian melirik ke arah luar jendela sekali lagi. Perkebunan anggur. Seingatnya di kota kecil tempatnya tinggal tidak tidak ada perkebunan anggur.

Lagipula siapa yang tertarik dengan kota kecil yang dikelilingi dengan lautan. Jangankan anggur, pohon apel saja harus bersusah paya dijaga agar bisa hidup di kota asalnya itu.

"Ini di mana?"

"Calo--"

"Maksudku, Kota apa?" Sela Sania cepat, memotong ucapan pelayan.

Ketiga pelayan itu tampak semakin bingung. Namun meskipun demikian, mereka tetap berusaha bekerja seprofesional mungkin. "Inggris, Nona."

"Apa?!" pekik gadis itu kaget. Mampus sudah, berakhir lah dia kali ini. Bagaimana ceritanya dia bisa berakhir di Inggris. Padahal jelas-jelas ia hanya berusaha untuk kembali ke kota Nanumaga, meninggalkan ibu kota Tanufuti yang menjadi luka terdalam untuknya.

"Nona, ada apa? Apa--"

"Dimana barang-barang ku?!"

"Apa?"

"Kubilang dimana koper dan tas kecil ku!" sentak sania dengan suara keras kehabisan kesabaran. Bisa gila dia lama-lama.

"I--itu, itu ada kamar ganti Anda Nona." Jawab pelayan takut-takut. Salah satu pelayan segera berlari memasuki satu pintu yang ada di kamar itu, kemudian kembali dengan membawa koper kecil berserta tas miliknya.

Sania bernapas lega. Ia kemudian segera menarik koper itu dari tangan pelayan. Kekuar dari kamar dengan sedikit berlari.

Pergerakan gadia itu terbilang cukup cepat dn tergesa-gesa. Menghiraukan suapa panggilan panjang yang bersahutan dari ketiga pelayan yang ikut mengejarnya dari belakang.

Ketika Sania berhasil menuruni undakan tangga. Sania berpapasan dengan seseorang. Tidak sengaja menabraknya hingga mereka sama-sama terhuyung ke belakang. Hingga membuat Sania jatuh terduduk ke lantai dengan sedikit keras.

"Nona!" pekik ketiga pelayan nyaring. Mereka segera berlari lalu membantu Sania berdiri dengan cepat. "Anda baik-baik saja, Nona?" tanya salah satu pelayan dengan raut wajah cemas.

"Tuan muda maaf. Nona kami sedikit tergesa, hingga tidak sengaja menabrak Anda!" ucap pelayan lainnya membungkukkan badannya hormat.

"Siapa dia? Kenapa kalian kejar-kejaran di dalam mension?" tanya Laki-laki itu dengan mata yang menelisik. Hingga beberapa detik kemudian, ia sepertinya tersadar. Laki-laki itu menjentikkan jarinya dengan kuat, lalu berkata; "Ahh, aku tahu. Kau kakak ipar yang dikatakan oleh gunung es itu bukan?" ucapnya dengan mata yang berbinar.

Sania menolehkan kepala ke belakangnya. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan ketiga pelayan yang ada di belakangnya. "Siapa kakak iparmu? Kemapa seisi mension ini semuanya orang gila!" gerutu Sania sedikit keras. Sehingga masih bisa didengar oleh para pelayan yang lainnya.

"Menyingkir!" Sania kembali menarik kopernya dengan cepat. Sedikit menabrak tubuh laki-laki yang terlihat lebih muda darinya itu sedikit kasar.

Sania tidak tahu apa yang salah. Namun hati kecilnya berbicara, ia harus segera menyingkir dari sini karena tempat ini berbahya.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengannya di kemudian hari. Apalagi ia di bawa kesini tanpa kesadaran sama sekali. Atau lebih tepatnya ia diculik.

Bugh... "Sial!" umpat Sania menggerutu kesal. Lagi, dan lagi ia menabrak seseorang tanpa disengaja. Apa nasibnya memang ditakdirkan untuk sebuah kesialan.

Sania kali ini tidak mendongakkan kepala. Ia melihat ke bawah dengan mengelus keningnya pelan. Sepatu hitam yang bermerek, celana dasar edisi terbaru. Matanya terus menelisik naik secara perlahan. Atasan jas hitam edisi terbatas keluaran terbaru dari Edison. "Mau kemana kamu?" Suara bariton yang tegas menyapa pendengaran Sania.

"Mau pergi?" tanya pria itu lagi dengan nada suara yang semakin tajam menusuk.

Astaga, apa dosanya di kehidupan yang lalu begitu berat. Sehingga kehidupannya yang kali ini, Sania selalu dihadapkan dengan hal-hal yang sial.

"Iya, maaf permisi." Jawab Sania singkat, lalu beranjak untuk melalui pria itu.

Namun sedetik kemudian, Sania merasakan bahwa badannya terangkat ke atas. Ia di angkat seperti kuli mengangkat bahan bangunan. Benar-benar tidak estetik. "Tuan, lepaskan. Apa yang Anda lakukan! Saya mau pergi. Lepaskan!" teriak Sania keras sembari menggelepar kanan dan kiri berusaha lepas dari Kungkungan pria itu.

Pria itu membawanya masuk ke dalam. Ia disambut dengan seorang kepala pelayan tua di depan pintu. Tanpa mempedulikan tatapan para pelayan, pria itu terus membopong badan Sania yang terasa ringan. Setelah tiba di ruang tamu, ia duduk di sofa dengan Sania yang ada di pangkuannya. "Panggil para pelayan yang menjaga Sania!" Teriaknya keras.

Sania memelototi pria tersebut. Bukan karena takut, tetapi ia merasa telinganya berdengung karena teriakan yang sangat keras. "Lepaskan aku, sialan!" Maki Sania terus memberontak.

Pria itu tidak bergeming. rangkuhan-nya terhadap pinggang Sania masih begitu kencang. Seolah-olah tidak peduli bagaimanapun gadis itu mencoba bergerak untuk mengikis jarak.

"Diamlah, Sania. Jangan membuatku hilang kendali, dan memakan mu detik ini juga!" Ancam pria itu dengan tegas.

Tentu saja Sania lebih memilih menurut. Bagaimanapun dia merupakan pria yang pernah bersuami. Meskipun ia belum sempat melepaskan malam pertamanya dengan sang mantan suami. Dia telah mempelajari banyak hal untuk menyenangkan suaminya di masa depan, setidaknya itulah yang sempat ia pikirkan sebulan yang lalu.

Setelah ketiga pelayan yang bertanggungjawab atas Sania berdiri dengan penuh ketakutan di hadapan pria itu. Ia berkata dengan datar, "Apa saja kerja kalian, sehingga Nona yang kalian layani bisa melarikan diri dengan membawa kopernya. Apa kalian yang sengaja membantunya?" tanyanya penuh intimidasi.

Para pelayan itupun terduduk. Berlutut sembari berucap dengan terisak, "Maafkan kami Tuan. Kami benar-benar telah lalai menjalankan tugas, maafkan kami." Mohon mereka dengan ratapan kasihan.

"Aku tidak pernah memaafkan kelalaian. Buang mereka ke tempat seharusnya. Singa-singa itu pasti senang mendapatkan daginga segar," ucap pria itu santai tanpa beban.