webnovel

Chapter.1

Sania berjalan terseok-seok, mencoba menarik kakinya yang terasa sangat berat untuk pergi menjauh dari area perumahan elit yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Koper pakaian yang ia bawa terasa semakin berat, seiring tenaganya yang semakin menipis.

Gadis itu berjalan tanpa arah. Tanpa tujuan, tanpa tahu kemana kaki membawa. Ia ingin pergi. Kemanapun, asal tidak berada di kota ini lagi.

"Dunia terlalu kejam, dan Tuhan tidak pernah bersikap adil denganku," ratapnya dengan suara lirih tertahan.

Matanya yang membengkak karena terlalu banyak menangis. Perut kecilnya terus berbunyi karena menahan lapar.

Sania merogoh sakunya. Siapa tahu masih ada sedikit uang yang tersisa. Tapi nihil, tidak ada uang sama sekali di sakunya. Tuhan benar-benar kejam dalam menggariskan benang takdir untuknya.

Di saat kebahagiaan baru menghampirinya. Orang tua yang baru ia temukan setelah dua puluh tahun mencari, meninggal dunia secara bersamaan karena kecelakaan. Paman yang sebelumnya bersikap sangat lembut, berbalik mengasarinya dan tega mengusirnya ke luar rumah.

Sekarang kemana lagi ia harus berjalan. Bukankah dia benar-benar sendirian? Tunggu, sepertinya ia tidak semalang itu.

Bukankah, dia masih memiliki seorang sahabat yang selalu ada untuknya. Iya, benar dia masih memilikinya.

Dengan sedikit mempercepat langkahnya. Sania menarik koper pakaiannya menuju apartemen sang sahabat. Dengan harapan sahabatnya itu mau menerimanya untuk beberapa waktu. Hanya sesaat, paling tidak sampai ia mendapatkan cukup uang untuk kembali ke negara asalnya sebelum bertemu orang tuanya.

Namun alih-alih mendapatkan pertolongan. Sania masih harus mematung di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Di sana, sahabat dan mantan suaminya yang baru saja menceraikannya sehari yang lalu tengah bercinta dengan panas.

"Puft... Hahaha, benar! Ini alasannya, betapa bodohnya aku yang selalu percaya bahwa mereka hanya sekedar teman dekat sebelumnya." Tawa hambar Sania pecah, menggema di seluruh ruang apartemen.

Membuat pasangan yang tengah bergerumul panas di tempat tidur menghentikan kegiatan mereka dengan pias.

"Bagus, lanjutkan. Aku tidak akan mengganggu kegiatan kalian. Silahkan," ucapnya dengan nada datar tanpa raut wajah emosi.

Sania lagi-lagi harus dihadapkan dengan kenyataan yang begitu menyakitkan. Kejam, dunia terlalu kejam dengannya. Ini tidak adil, benar-benar tidak adil.

"Aku ingin membalasnya. Untuk sakit ku, untuk orang tuaku!" desis Sania penuh dengan kilatan dendam yang menyala.

***

"Tuan, kami telah menemukannya!"

"Bawa dia ke mansion. Siapkan kamar khusus untuknya, buat dia senyaman mungkin. Dan ahh, sampaikan pada ayahku jika calon menantu mereka telah ditemukan!" Setelah menyampaikan titah. Pria berbadan atletis sempurna itu menghilang di balik pintu. Memasuki satu kamar luas, yang memperlihatkan keindahan pantai secara langsung.

"Andrew, kau kah itu?" tanya seseorang gadis yang tengah memegang tongkat penyangga untuk membantunya berjalan. Dia tidak cacat, hanya saja karena suatu kemalangan dia terpaksa harus merelakan penglihatannya yang berharga hilang.

"Kau datang?" tanyanya lagi dengan raut wajah berbinar.

"Aku akan menikah." Wanita itu terdiam seketika. Tidak ada komentar dari bibirnya yang tipis. Hanya ada kesunyian di antara mereka.

"Siapa? Apa dia lebih cantik dariku?" tanyanya kemudian dengan nada suara bergetar.

Dengan susah payah gadis itu mencoba untuk bangkit dan berdiri. Namun kakinya benar-benar kehilangan tenaga dalam seketika.

"Yang jelas, dia tidak akan pernah berencana untuk meninggalkan ku seperti seseorang di masa lalu." Sarkas pria yang dipanggil dengan sebutan Andrew itu datar.

Di masa lalu, mereka adalah sepasang kekasih. Namun, gadis itu malah meninggalkannya sendirian. Melawan dunia, melawan ayahnya yang saat itu tidak merestui hubungan mereka sedikit pun.

Tanpa beban, gadis itu menghilang. Lalu dua tahun kemudian, Andrew tidak sengaja menemukannya di tempat terkutuk---perjual-belian human. Dalam keadaan kacau, tidak terurus, dan mengalami kebutaan.

"Andrew, masihkah kau mengungkit masa lalu. Harus berapa kali aku jelaskan padamu, jika itu sebuah keterpaksaan, Andrew. Aku tidak pernah benar-benar berniat meninggalkanmu!"

"Hentikan omong kosong itu, Sintia. Aku datang bukan untuk meminta pendapatmu. Aku datang untuk memperingatkan mu untuk jangan pernah mencariku terlebih dahulu, sebelum aku menemui mu. Bersyukurlah aku masih memiliki rasa kasihan untukmu saat ini."

Gadis itu tidak menjawab. Terdiam dalam kesunyian, hanya suara debur ombak yang terdengar. Matanya yang gelap tanpa cahaya, seketika berkaca-kaca menahan air mata.

Brakk... Suara pintu tertutup dengan sempurna mengalihkan perhatiannya. "Tidak, tidak, Andrew! Kau tidak bisa memperlakukan aku dengan seperti ini. Andrew!" pekik gadis bernama Sintia itu kemudian.

Ia berjalan dengan sedikit tergesa. Melupakan kenyataan bahwa saat ini dia sudah tidak bisa melihat indahnya cahaya sekitar. Brakk... Gadis itu menabrak meja sofa. Sepertinya ia salah arah untuk menuju pintu.

"Jangan lakukan ini untuk membalasku, Andrew. Jangan," lirih gadis itu menangis dengan terisak-isak.

Beberapa saat kemudian, seseorang kembali masuk ke dalam kamarnya. "Andrew," panggilnya dengan penuh harap.

"Nona, Tuan sudah pergi. Ia berpesan untuk waktu yang lama mungkin tidak bisa mengunjungimu. Tuan harus kembali ke Inggris, ada urusan keluarga yang harus ia selesaikan." Jelas pelayan tua yang Andrew pekerjaankan untuk menjaganya.

Gadis itu dibantu untuk berdiri. Dipapah untuk bisa duduk di sisi tempat tidur. Sedetik kemudian Sintia tertawa hambar, lalu menangis dengan sesegukan putus asa.

Setelah sekian lama berharap. Ia kembali bertemu dengan pria pujaannya. Dia pikir dia telah berhasil, berhasil kembali ke dalam pelukan pria yang selalu membahagiakannya sebelumnya.

Meskipun sikapnya yang dingin. Ia tidak peduli. Toh pada dasarnya memang itu sikap dari kekasihnya---Andrew Calova. Seorang pengusaha muda yang menguasai laju jalan perekonomian benua Eropa.

Tetapi pada kenyataannya. Ia salah! Pria itu hanya datang karena kasihan padanya. Bukan karena ia masih mencintai. Lalu bagaimana dengan pengorbanannya.

Tidak ada yang tahu apa yang telah ia pertaruhkan untuk dapat bertahan sebagai kekasih Andrew selama mereka bersama. Melawan restu orang tua, melawan restu dunia, melawan restu Tuhan.

Tapi pada akhirnya, ia sendiri yang terbuang. Terbengkalai dengan segala kekurangan yang telah nyata terjadi. Kehilangan penglihatan dan harga diri.

"Kau bajingan Andrew! Kau sialan! Bastard, sialan!" teriaknya penuh emosi. Sintia melibaskan tongkat ditangannya ke berbagai arah. Menghancurkan setiap benda yang terkena dengan tongkatnya tanpa ampun.

Pelayan tua itu hanya menghembuskan napas sabar. Beginilah sikap Sintia. Tidak terkendali, dan liar. Sangat sulit ditangani dan dibuat untuk mengerti.

Jika bukan atas permintaan Andrew, dia tidak akan mau melayani Sintia yang semakin hari semakin seperti orang gila.

"Nona, tenangkan hati Anda. Tuan hanya pergi untuk beberapa bulan saja," ucap pelayan itu mencoba menenangkan.

"Iya, kau benar. Aku harus tenang, tenang, tenang, dan tenang." Sintia mensugesti dirinya sendiri. "Aku tidak bisa, Laila. Dia pergi untuk menikah! Bagaimana aku bisa tenang. Argg...." Sekali lagi suara gemuruh dari pecahan kaca yang berjatuhan karena terkena libasan tongkat gadis itu terdengar kemana-mana.

"Berhati-hatilah, Anda bisa saja melukai kaki Anda, Nona."

"Aku tidak peduli, Laila. Panggil Andrew kembali ke sini. Jika tidak aku akan mengakhiri hidupku sendiri!"