webnovel

1. Berpisah

~🅩🅐🅡🅝🅘🅝🅖  21+~

Dalam cerita ini mengandung unsur-unsur yang tidak seharusnya untuk ditiru, jadi pintarlah dalam memilih bacaan. ^_~

***

Bandara Soekarno-Hatta, terlihat satu keluarga tengah tergopoh-gopoh membawa beberapa koper dan barang bawaan lainnya memasuki bandara. Erick Vale Gaincarlo, putra tunggal dari pengusaha ternama Hendri Jax Gaincarlo dengan mendiang istri pertamanya Helen Geyle Gaincarlo. Helen meninggal saat Erick masih berusia lima tahun kerena sakit. 

"Er, ayo cepat kita harus check in dulu. Kamu tidak lupa tiket dan paspormu kan?" Mili berjalan tergesa-gesa menuju tempat pengecekan tiket untuk mendapatkan boarding pass yang akan diperlukan saat akan naik pesawat nanti. Mili adalah ibu sambung Erick sejak usianya masih tujuh tahun, tepatnya dua tahun setelah kepergian ibu kandungnya. 

"Iya Ma, Erick tidak lupa kok." Dengan malas Erick menjawab dan berjalan gontai mengikuti kedua orang tuanya dari belakang.

"Hei Bung, apa kau sedang menunggu seseorang?" Hendri merangkul bahu Erick dan bertanya kepada anaknya. "Apa kau sedang menunggunya?" Tanyanya lagi dengan satu alis ia naik turunkan untuk menggoda putranya. 

"Apa maksud Papa? Erick tidak menunggu siapa-siapa." jawab Erick cepat, namun di dalam hatinya tentu berbeda karena dia sangat berharap bisa melihat wanitanya untuk yang terakhir kalinya.

"Kau yakin?" Tanya Hendri kembali, namun hanya dijawab anggukan oleh Erick. 

"Di mana dia? Apa dia benar-benar tidak ingin melihatku sebelum aku pergi" Erick bermonolog dalam hatinya, seraya menundukkan wajahnya. Ditatapnya paspor dan tiket yang berada di genggaman tangannya. Apa keputusan yang aku ambil sudah benar Nai? Apa aku bisa melepasmu, meski itu hanya untuk sesaat? Batinnya lagi. Tanpa terasa matanya meneteskan cairan bening membasahi paspor yang ia bawa. Hatinya bergejolak seolah enggan untuk meninggalkan negara ini.

Dari jauh, samar-samar Erick mendengar derap langkah kaki seseorang tengah mendekat ke arahnya, hingga kini matanya mendapati sepasang kaki yang berhenti tepat di hadapannya. Sesaat ia menatap kaki itu, lalu beberapa saat kemudian ia baru menyadari siapa pemilik sepatu yang dipakai itu. Senyum di sudut bibirnya perlahan muncul, lalu ia mengarahkan pandangannya ke depan. Erick merengkuh tubuh yang berada di hadapannya itu dan memeluknya dengan sangat erat. "Kau datang sayang? Aku kira kau sudah tidak ingin melihatku lagi." Ucapnya, lalu ia bergegas menghapus air mata yang sudah menganak sungai di wajahnya sebelum Naira menyadarinya. 

Putri Naira Rachman biasa dipanggil Naira, dia adalah kekasih Erick. Usianya tiga tahun lebih muda dari Erick dan kini dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. 

"Maaf aku terlambat, apa kau menungguku?" Goda Naira mencoba untuk menghibur Erick, dia sadar kalau Erick tengah menangis di belakangnya saat ini. 

"Ck, kau terlalu percaya diri! Siapa yang mengatakan kalau aku menunggumu, aku sedang menunggu antrian untuk Check in." Dengan cepat Erick kembali menghapus air matanya yang sejak tadi sudah mengalir deras di kedua pipinya lalu ia melepas pelukannya secara perlahan.

"Oh, jadi aku tidak diharapkan di sini? Ya sudah, aku pergi saja!" Seloroh Naira yang kemudian memutar badannya lalu beranjak untuk pergi.

Baru satu langkah ia melangkahkan kakinya, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Erick sehingga Naira terjatuh dalam dekapan Erick lagi. "Aaaahh.." Erangnya, ia terkejut dengan tarikan tangan Erick yang membuat tubuhnya membentur tubuh kekar Erick hingga kini jarak antara keduanya menjadi begitu sangat dekat.

"Hei, kenapa cemberut begitu? Apa kau sengaja untuk menggodaku?" Ucap Erick saat melihat wajah kesal Naira yang justru membuatnya begitu gemas. Bukannya menjawab, Naira malah mengerucutkan bibirnya hingga Erick tidak bisa menahan rasa gemasnya lagi. Dengan cepat Erick merengkuh tubuh wanita mungil itu, lalu dia melumatnya dengan sangat rakus bibir ranum yang selalu terlihat menggoda di matanya. 

Mata Naira terbelalak saat mendapat serangan mendadak dari Erick. Kedua tangannya berusaha untuk mendorong tubuh Erick, namun bukannya menjauh justru Erick malah mengeratkan pelukannya, mengikis jarak di antara keduanya. Kini ciumannya semakin Erick perdalam, bahkan ia memberikan gigitan kecil di bagian kenyal itu saat Naira enggan untuk membuka mulutnya. Karena gigitan kecil itu, Naira mengerang dan reflek membuka sedikit mulutnya. "Aammmph.." Erangnya tertahan, karena Erick kembali melumat bibirnya. 

Erick yang mendapat kesempatan itu, langsung menghisap dan melumat bibir Naira. Hisapan demi hisapan Erick berikan untuk merasakan nikmatanya bibir yang selalu menggoda itu. 

Meski enggan, Erick terpaksa harus melepas pangutan bibirnya kerena dia tahu kekasihnya saat ini sudah kehabisan oksigen karena ulahnya. 

"Kau ini, kenapa jadi mesum begini?" Gerutu Naira dengan melihat sekeliling, bahkan kini nafasnya tersengal-sengal karena kehabisan oksigen. Meski tak dapat dipungkiri, dia begitu menikmati permainan bibir Erick namun dia tidak menyangka jika Erick akan melakukannya di tempat umum.

"Aku hanya mesum padamu sayang, tidak dengan yang lain." Kilahnya, Erick menggerakkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah untuk menggoda Naira. "Kemarilah sayang, bukankah kau menikmati ciumanku tadi?" Godanya lagi, bahkan tangannya kini merangkul posesif pinggang Naira.

"Lihatlah Pa, betapa romantisnya putramu itu." Mili bergelayut manja di lengan suaminya dan menuntunnya untuk mendekat ke arah di mana Erick dan Naira berada. 

"Ck, romantis apanya? Bisa-bisanya dia berbuat mesum di tempat umum!" Keluh Hendri dengan kaki yang melangkah mengikuti ajakan sang istri untuk mendekati Erick dan Naira. 

"Kau lupa atau pura-pura lupa? Bukankah sifat mesumnya itu menurun darimu." Seru Mili menggoda suaminya, namun Hendri enggan untuk menjawab dan hanya melirik istrinya saja. 

"Nai, kamu yakin tidak ingin ikut dengan kami?" Ucap Mili memastikan lagi, karena dia tahu putranya akan sulit untuk berpisah dengan kekasihnya. 

"Tidak Tante, Nai harus melanjutkan pendidikan Nai di sini. Nai juga harus bisa mendapatkan beasiswa untuk pendidikan Nai selanjutnya." Jawab Naira memaksakan senyumnya, namun di dalam hatinya sebenanya dia juga tidak ingin berpisah dengan Erick. 

"Jika kau mau, aku bisa memindahkan sekolahmu juga." Sela Erick yakin. 

"Aiish, kau kira kau itu aladin bisa memindahkan sesuatu dengan mudah!" Sanggah Naira saat mendengar ucapan Erick. 

"Tapi, bukankah kau bisa pindah tempat semaumu sayang?" Bisik Erick di telinga Naira, dia tahu betul tentang kelebihan kekasihnya itu yang bisa berpindah tempat dengan hanya memejamkan mata saja. "Bagiku, kau adalah Aladinaku." Erick terkekeh dengan ucapannya sendiri, Aladina pikirnya.

"Dan aku akan tertidur selama berbulan-bulan jika melakukan hal itu!" Naira melirik tajam ke arah Erick dengan ekor matanya. "Dan setelah itu, kau akan bebas mencari wanita lain untuk menggantikanku!" Selorohnya lagi. 

"Jangan menatapku seperti itu sayang, bisa-bisa kau menghancurkan bandara ini nanti." Serunya, Erick memutar tubuhnya dan memeluk Naira dari belakang, ia merebahkan dagunya di bahu Naira dengan harapan tatapan menakutkan itu bisa segera menghilang. Dia ingat betul terakhir kali saat dia membuat Naira marah, hal itu malah berakhir dengan dirinya tersangkut di atas pohon dan tentu saja itu akibat dari ulah kekasihnya yang melempar tubuhnya jauh ke atas pohon. Meski dia seorang wanita, tapi jika dia sudah emosi, kekuatannya akan bertambah bahkan seribu kali lipat melebihi kekuatan seorang pria yang bertubuh besar. 

"Hei, apa yang kalian bicaraka? Kenapa berbisik-bisik seperti itu?" Selidik Mili penasaran. 

"Mama mau tahu saja urusan anak muda!" Sarkas Erick mengalihkan perhatian. Tidak banyak orang yang tahu tentang kelebihan kekasihnya selain dirinya sendiri, bahkan kedua orang tua Naira pun hanya mengetahui kalau Naira hanya bisa melihat sesuatu yang akan terjadi di masa  yang akan datang saja. Namun saat ini Naira hidup sebatang kara, karena kedua orang tuanya sudah meninggal satu tahun yang lalu akibat kecelakaan mobil. Dan sejak saat itu Naira baru mengetahui kalau dirinya bisa berpindah tempat dengan hanya memejamkan mata dan memikirkannya saja, namun saat Naira melakukan hal itu untuk pertama kalinya dia malah kehilangan semua energinya dan membuatnya berada di rumah sakit kerena tertidur selama berbulan-bulan. 

Mili yang tidak mendapatkan jawaban dari putranya, memilih untuk berpamitan. "Nai, kita berangkat ya." Mili mengambil alih Naira dari dekapan putranya lalu memeluknya. 

"Iya Tante, Nai harap Tante dan Om selalu sehat di sana." Naira membalas pelukan Mili dan mengusap punggung Mili dengan lembut. Baginya, Mili merupakan ibu pengganti saat dia merindukan ibu kandungnya, namun saat ini dia harus kembali kehilangan sosok seorang ibu dalam hidupnya, meski begitu dia mencoba untuk menahan tetesan bening di matanya agar tidak terjatuh. 

"Ah satu lagi, semoga Erick tidak berbuat onar di sana." Mili mengurai pelukannya dan berbisik di telinga Naira. "Karena jika hal itu terjadi pasti Tante dan Om akan kesulitan untuk  mengatasinya, karena pawangnya tertinggal di sini." Imbuh Mili lagi sambil terkekeh. 

"Tante ada-ada saja, memangnya dia Ular yang punya pawang." Naira turut berbisik dan terkekeh mendengar penuturan Mili. 

"Hei, apa kalian sedang membicarakanku?" Erick menelisik dengan ekor matanya, saat melihat kedua wanita di hadapannya tengah berbisik. 

"Ck, kau terlalu percaya diri!" Naira berdecak dan memutar bola matanya malas, namun itu justru membuat Erick menjadi tergelak. 

"Om juga harap kamu bisa jaga diri di sini Nai." Ucap Hendri yang perlahan melangkahkan kakinya. 

"Aaaarrgh."