Pandanganku terpaku pada wastafel yang berada di pantry. Cairan kental berwarna merah gelap menempel di sebagian keramik putihnya, lalu pandanganku beralih pada botol di tanganku. Ini sudah ketiga kalinya aku mencoba minum darah yang dibawakan oleh Greg, dan ketiga kalinya pula aku memuntahkannya. Apa darah ini kadaluarsa?
Kuletakkan botol itu di atas counter lalu menyalakan keran wastafel hingga seluruh darah yang menempel di keramiknya menghilang. Kuusap perutku sambil meraih handphone yang diberikan Greg sebelumnya, lalu mengirim pesan singkat mengenai suplai darah yang diberikannya sebelum kembali ke tempat tidur. Aku tahu masa awal kehamilan sangat berisiko, setidaknya pada manusia, karena itu aku harus meminta suplai darah baru secepatnya walaupun belum terlalu merasa lapar. Darah Alastair masih cukup untuk beberapa jam ke depan, atau lebih. Kupejamkan mataku saat rasa kantuk menyusupiku. Dimana Nick sekarang? Apa Ia sedang mencariku? Pertanyaan itu menjadi pikiran terakhirku sebelum rasa kantukku tidak bisa dilawan lagi.
***
Salah satu keuntungan dari perubahanku adalah seluruh indraku menjadi lebih sensitif setelah menjadi Leech. Saat suara langkah kaki terdengar dari garasi luas di bawah kedua mataku terbuka dengan otomatis. Dalam diam kutunggu suara langkah kaki itu hingga semakin mendekat tanpa bergerak dari posisi tidurku. Jam berapa ini? Kuharap Greg membawa darah yang lebih fresh.
Setelah suara langkah itu mencapai tangga aku baru turun dari tempat tidur. Perutku terasa tidak enak sejak tadi sore. Bukan tidak enak karena sakit, tapi karena rasa gugup. Mungkin ini adalah salah satu efek kehamilan.
Tiba-tiba pintu apartemen ini menjeblak terbuka dengan bantingan keras, dan berdiri di depannya adalah orang terakhir yang ingin kutemui saat ini.
Jantungku berdebar keras di dalam rongga dadaku. Ini adalah yang kedua kalinya Nick terlihat seberantakan ini. Kedua matanya yang berwarna biru dihiasi oleh lingkaran kemerahan di sekitar matanya yang menunjukkan Ia belum beristirahat sama sekali. Nick mengenakan kemeja berwarna putih gading yang terlihat sangat kusut di bagian kerahnya, seakan-akan seseorang baru saja mencengkeramnya. Dan Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja melewati neraka.
Untukku.
Kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba kering. Bagaimana Ia bisa berada disini? Apa Ia membaca pesanku untuk Greg? Perlahan Ia berjalan ke arahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tapi belum sampai di tengah ruangan tubuhnya membeku tiba-tiba. Dengan ngeri aku melihatnya mengangkat kepalanya sedikit lalu menarik nafasnya dalam-dalam, kedua matanya berubah dari biru tua menjadi hitam seketika. Nafasnya berubah sedikit memburu saat pandangannya kembali padaku, "Ia memberimu darahnya?"
Kakiku melangkah mundur perlahan saat Ia mulai bergerak mendekatiku lagi, hingga punggungku menabrak dinding di belakangku. Nick mengangkat tangannya seperti akan memukulku, kupejamkan kedua mataku erat-erat lalu melindungi perutku dengan kedua tanganku. Sebuah hantaman keras terasa di dinding sebelahku hingga plaster dinding di sebelah kepalaku retak, nafasnya yang memburu terasa hangat di pipiku selama beberapa detik sebelum aku membuka mataku lagi. Saat menatapnya kedua matanya sudah kembali biru lagi. Dan aku melihat lebih dari itu di dalam pandangannya, rasa frustasi dan kemarahannya terpancar jelas darinya.
"Mengapa, Eleanor?" suaranya terdengar sedikit serak dan berat. Rasanya seperti ada gumpalan karet di tenggorokanku yang menahanku untuk berbicara, karena jika aku membuka mulutku aku akan menangis.
"Mengapa?" ulangnya setengah berbisik. Aku tidak bisa bernafas. Air mata mulai berkumpul di sudut mataku. "Apa yang kulakukan hingga layak mendapatkan ini?" Tangan Nick menarik daguku hingga wajah kami semakin mendekat. Seperti disihir kami tidak bisa mengalihkan pandangan kami, sesaat atmosfir di antara kami berubah. Nick masih memandangku dengan tatapan kemarahannya tapi ada sesuatu yang berubah di dalamnya. Sebelum aku siap salah satu tangannya menangkup wajahku dengan sedikit kasar lalu akhirnya bibirnya menciumku dengan marah.
Nick tidak memberiku kesempatan untuk berpikir. Seakan-akan Ia masih ingin menunjukkan kemarahannya di dalam ciumannya, kutarik lehernya hingga kepalanya semakin menunduk ke arahku. Tangan Nick yang lainnya memeluk pinggangku dengan erat, selama beberapa saat aku melupakan segalanya. Hanya ada Nick di pelukanku saat ini. Lalu samar-samar aku bisa mendengar suara nadi di lehernya yang berdenyut cepat diikuti bau yang membuat perutku kembali merasa lapar. Kubuka kedua mataku lagi saat Nick menghentikan ciumannya, Ia menempelkan keningnya di keningku sambil mengatur nafasnya yang memburu. Kedua mata biru gelapnya terlihat sedikit glossy, mungkin ekspresi di wajahnya saat ini sama dengan ekspresi wajahku. Perlahan pandanganku turun ke lehernya, denyut nadinya terlihat begitu mengundang hingga aku tidak bisa menahan untuk menelan ludahku. Aku semakin merasa lapar.
"Ele—"
Kedua taringku menancap di lehernya sebelum Nick menyelesaikan ucapannya, seluruh tubuhku seperti bergerak di luar keinginanku. Darah hangat yang lembut dan nikmat mengguyur tenggorokanku yang kering, aku tidak bisa menahan desahan puasku. Kedua tangan Nick menekan pinggangku lalu nafasnya kembali memburu. Aku bisa merasakan semuanya, detak jantung Nick, suhu tubuhnya yang hangat, tangannya, nafasnya... dan perasaannya padaku. Rasanya rasa hangat dari tubuh Nick berpindah padaku.
"Eleanor." Nick sedikit menggeram saat menyebut namaku. Kubuka kedua mataku saat kurasakan sesuatu yang berubah, detik berikutnya kutarik wajahku menjauh dari lehernya dengan sangat cepat. Beberapa tetes darah menghiasi pangkal lehernya membuatku ingin menjilatnya.
"Ma—Maaf." Gumamku tanpa memandang wajahnya, ada apa denganku? Seakan-akan tubuhku bergerak diluar keinginanku. Aku bahkan tidak menyadari berapa lama aku meminum darah Nick, aku tidak merasa selapar itu hingga masuk ke fase bloodlust. Fase dimana aku merasa sangat lapar hingga tidak menyadari darah siapa yang kuminum. Kutelan ludahku lagi.
"Eleanor... ada apa denganmu?" Nick kembali menarik daguku hingga aku harus melihat wajahnya. Ibu jarinya mengusap darah dari ujung bibirku yang masih terasa sedikit bengkak karena ciuman kami. Kubuka mulutku saat Nick mendorong ibu jarinya ke balik bibirku, lidahku bergerak untuk menjilat sisa darah Nick di ibu jarinya. Kedua mata birunya semakin menggelap saat memandang bibirku. "Kau..." Nick menelan ludahnya saat suaranya terdengar serak, "Kau berubah."
"Apa?" tanyaku setelah Nick menarik ibu jarinya dari bibirku. Ia masih memandangku dengan tatapannya yang sedikit bingung. "Kedua matamu..." gumamnya tanpa mengalihkan pandangannya dari wajahku.
"Ada apa dengan mataku?"
Nick mundur selangkah dariku lalu menarikku menuju cermin yang menempel di lemari besar. Mulutku sedikit terbuka saat melihat wajahku, Nick benar kedua mataku berubah. Warna amber yang sebelumnya semakin terlihat terang hingga hampir menjadi keemasan, dan tidak hanya itu, bibirku terlihat lebih penuh dari sebelumnya. Begitu juga bulu mataku dan rambutku, aku terlihat lebih... berkilau. Kami berdua menatap pantulan wajahku di cermin hingga beberapa menit lamanya. "Semua ini karena darahmu... sebelumnya aku tidak seperti ini." Kataku pelan.
Nick menggeleng perlahan. Dari ekspresinya Ia terlihat sedang berpikir, tapi kedua matanya tidak beranjak dari pantulanku di cermin. "Darahku tidak akan mengubah apapun."
"Lalu... apa yang terjadi padaku?"
Nick hanya terdiam selama beberapa saat. Keningnya sedikit berkerut saat akhirnya Ia menjawabku, "Aku tidak tahu." Lalu tiba-tiba Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan membenamkan wajahnya di leherku dari belakang. "Jangan pergi dariku lagi." Gumamnya di leherku, "Aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Eleanor."
Kalimatnya membuat hatiku terasa seperti diremas, diikuti oleh perasaan bersalah yang menghantuiku. Apa aku harus memberitahunya sekarang? "Nick..."
"Hmm." Jawabnya tanpa mengangkat wajahnya. "Aku..." kutelan ludahku dengan gugup, "Aku ingin pulang." Lanjutku sambil memejamkan kedua mataku. Aku tidak bisa memberitahunya sekarang.
"Lima menit lagi." Bibirnya mencium leherku perlahan hingga membuat kedua kakiku hampir kehilangan kekuatan. Kutarik nafasku dalam-dalam lalu meletakkan kedua tanganku di atas tangannya yang melingkari pinggangku.
"Aku mencintaimu, Nick." Bisikku tanpa bersuara hingga aku yakin Ia tidak mendengarnya. Kusandarkan punggungku pada dadanya, kami terdiam selama beberapa saat untuk menikmati momen ini.
"Aku tahu." Bisiknya tiba-tiba, ciumannya bergerak ke rahangku. Aku harus memiringkan kepalaku agar Ia bisa lebih leluasa. "Aku tahu, Eleanor." Ulangnya lagi tanpa memutus ciumannya. Lalu Ia berhenti untuk menatap mataku dari pantulan kaca, "Aku tidak akan bisa hidup tanpamu lagi."
Kugigit bibirku untuk menahan emosi yang memenuhi hatiku. Ini adalah salah satu cara Nick untuk mengatakan Ia juga mencintaiku. "Aku tahu." Balasku dengan suara serak. Ia tersenyum untuk yang pertama kalinya hari ini lalu melepas pelukannya. Saat Ia menggandengku jarinya mengait pada jari-jariku. "Sekarang waktunya pulang."