webnovel

Bab 3

“Mau kubantu?” anak lelaki itu mengulurkan tangannya pada gadis kecil yang jatuh terduduk. Ia kemudian menerima uluran tangannya, lalu berdiri.

“Terima kasih.” kata gadis kecil itu sambil tersenyum manis.

“Kamu gak apa-apa?” tanya anak lelaki itu padanya.

“Gak apa, gak ada yang lecet.” gadis kecil itu memperhatikan kaki dan telapak tangannya.

“Tapi rokmu kotor.” anak lelaki itu memperhatikan pakaian teman di depannya. Lalu dia berbalik melihat dua gadis kecil yang tadi mendorong anak itu.

“Tidak perlu, biarkan aja, aku baik-baik saja kok.” gadis kecil itu seolah mengetahui maksud bocah lelaki itu memandangi dua gadis yang kini sedang bermain ayunan.

“Gak usah dibales, kalo dibales nanti malah bikin pusing, aku tidak suka pusing.” kata gadis itu meyakinkan.

“Yasudah, ayo, aku bantu bersihin rok kamu aja.” jawab anak lelaki itu dengan ketus lalu menarik tangan gadis kecil itu ke arah keran air terdekat.

Kedua anak itu mulai membersihkan rok kuning yang kotor, sambil sesekali tertawa dan bercanda. Sampai saat ada seorang wanita paruh baya mendatangi dua anak itu.

“Ya ampun, kalian ini! Apa-apaan ini, ayo El pulang. Tante nyariin kamu, ternyata kamu disini lagi mainan air ya. Ayo, pulang, ibumu dirumah nungguin kamu khawatir, ayo!”

Wanita itu datang dan langsung meluapkan emosinya pada dua anak kecil yang sedang sibuk bermain. Ia langsung menarik lengan anak lelaki yang sedang membantu temannya itu untuk pulang.

“Iya sebentar tante, El mau bantu membersihkan ini dulu.”

“Tidak ada nanti, ayo sekarang pulang!”

Belum selesai anak lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong lebih dulu oleh wanita itu. Ia kemudian menarik lagi dengan paksa lengan baju keponakannya. Anak itu hanya bisa pasrah. Lalu dia menengok, menatap gadis kecil itu dengan tatapan meminta maaf dan meninggalkannya sendiri dengan rok kotor yang kini basah karena air keran.

-*#*-

'Kriing-kriing-kriiiiing’

Jam wekerku berbunyi nyaring, kubuka mataku dan kulihat jarum jam di weker. Sudah pagi.

Kumatikan jam itu lalu bangun, duduk diam diatas ranjangku. Menguap.

“Mimpi itu,” kataku bergumam

“lagi.”

Kuusap wajahku dengan kasar, menyadarkan diriku harus cepat-cepat terbebas dari mimpi itu. Aku segera beranjak dari tempat tidur, memulai aktivitas pagi seperti biasanya. Mandi, sarapan, dan bersiap menuju sekolah.

Biasanya aku berangkat naik bus, tapi kali ini kakak mengantarku ke sekolah.

“Makasih kakak tercinta, udah mau anterin Ra ke sekolah.” kataku saat Kak Azka menghentikan motornya tepat di pinggir jalan seberang sekolah.

“Heem, nanti sore pulang sendiri ya, aku ada kuliah sore sampai malem, eh petang, eh, iya intinya sampai jam tujuh aku masih ada kelas.” ingat Kak Azka. Aku hanya menganggukan kepala tanda mengerti. Setelah itu berpamitan menuju ke sekolah, mencium tangannya dan melambaikan tangan padanya. Barulah aku menyeberang.

Jalanan pagi ini ramai. Kendaraan berlalu lalang. Ini jam pagi, semua orang berlomba untuk sampai ke tujuan mereka secepat mungkin.

Pagi itu aku datang lebih pagi dari biasanya. Dua puluh menit sebelum bel berbunyi. Sepagi itu Anya, teman sebangkuku belum datang. Jadi kuputuskan untuk menuju kelas Mera. Berbincang sekaligus ingin menanyakan sesuatu. Jadi aku keluar kelas, melangkah ke koridor menuju kelas XI A4, kelas Mera dan Zeta. Saat sampai di depan kelasnya, kulihat seisi kelas itu. Seharusnya sudah berangkat dia sepagi ini. Tapi aku belum melihatnya.

“Ara , sedang apa kau disini?” tanya seseorang dari belakang. Aku mengenali suaranya, itu Zeta. Kubalikkan badanku untuk melihatnya. Dia masih membawa tas kuningnya. Baru sampai sekolah.

“Oh, ini aku sedang mencari Mera, kau melihatnya?” aku menjawab pertanyaannya sekaligus bertanya dimana Mera berada.

“Oh nyariin Mera, kurang tahu si, tadi sewaktu aku jalan menuju kelaspun aku tidak melihatnya. Oh aku tanya ke teman yang lain dulu ya, barangkali mereka melihat Mera.”

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Zeta melangkah masuk ke dalam kelas, menaruh tasnya, lalu bertanya ke teman lain kemana Mera pergi sepagi ini. 15 menit lagi bel akan berbunyi. Kusandarkan punggungku di tembok sembari menunggu Zeta keluar kelas membawa kabar dimana si Mera itu berada.

“Araa, kata teman sebangkunya, Bunga, dia lagi ke kantin. Sarapan katanya.” Zeta keluar dari kelasnya sembari memberitahuku.

“Ohh, oke, terima kasih, kalau gitu aku ke kantin dulu ya.” lalu melangkahkan kaki menuju kantin tempat si cerewet itu berada.

“Ra, bentar, aku ikut deh, mau beli minum juga, botol minumku tertinggal dirumah.” katanya menyusulku.

Kami berjalan menuju kantin, saat sampai di depan kantin kulihat si Mera sedang duduk, menyantap bubur ayam, kami menghampirinya. Dia sendiri di meja itu.

“Pagii Meraaa.” sapa Zeta riang, ia langsung duduk di sebelah Mera.

“Mm hmm. Pagi juga Ta.” Jawab Mera dengan mulut penuh oleh bubur. Lalu aku duduk di bangku seberang mereka, kami berhadapan.

“Kalian ngapain kesini, bukannya emm 10 menit lagi bel bunyi?”

Tanya Mera sambil melihat jam tangan merahnya, lalu kembali menghabiskan dua sendok sisa bubur ayamnya.

“Ya tadinya aku ingin berbicara sesuatu, tapi bel sebentar lagi bunyi kan. Zeta juga katanya mau membeli air minum.” jawabku sambil melirik Zeta.

“Oh, iya, sebentar.” dia langsung beranjak membeli air minum. Aku hanya memperhatikan, melihatnya berjalan menuju ke arah ibu kantin paling ujung. Mera telah menghabiskan buburnya. Juga teh manis hangat itu.

“Kamu mau nanya apa memang?”

“Emm, nanti saja, saat istirahat lagipun sebentar lagi bel masuk berbunyi”

Mera hanya mengangguk mengiyakan, lalu Zeta kembali.

“Dah. Balik kelas?” tanya Zeta sambil mengayunkan air mineral dingin itu. Aku mengangguk dan Mera menjawabnya dengan semangat.

Kami berjalan beriringan di koridor, sambil bercakap-cakap tentang banyak hal. Waktu tujuh menit yang terasa sangat cepat. Mera dan Zeta lebih dulu masuk kelas, lalu aku berjalan sendiri ke kelas, mempercepat gerakan kakiku higga sampai di kelas bersamaan dengan bel sekolah berbunyi nyaring.

-*#*-

“Terima kasih bu.” Jawab kami sekelas bersamaan setelah seorang guru mengakhiri pelajaran untuk istirahat. Murid lainnya langsung membereskan buku, baru setelahnya keluar kelas. Ada pula yang tanpa membereskan buku sudah langsung berlari menyerbu kantin sekolah. Dan beberapa yang lain tidak keluar kelas, beristirahat di dalam kelas. Aku sendiri biasanya tidak keluar kelas, menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku ataupun tidur, kalaupun keluar kelas aku tidak pernah sekalipun membereskan mejaku lebih dulu. Hanya menutup buku dan alat tulis lain masih berserakan di meja, berbeda jauh dengan meja Anya yang rapi.

Istirahat kali ini Anya kembali mengajakku ke kantin, tapi aku menolaknya karena akan menuju ke taman sekolah. Dia mengerti, lalu berjalan keluar kelas dengan teman lainnya.

Aku berjalan keluar kelas tanpa menolehkan kepalaku ke kanan kiri, kini koridor itu sudah mulai sepi, anak lainnya sudah berada di kantin. Lalu tiba-tiba saja seseorang memanggilku. Itu Agam. Tidak biasanya dia memanggilku saat istirahat. Aku membalikkan badan dan memasang muka bertanya-tanya, mungkin bisa dikatakan mukaku berkata ‘Ada apa?’ tapi aku tak membuka mulut sama sekali.

“Mau kemana?” pertanyaan standar yang menjadi tidak standar ketika ditanyakan oleh Agam.

“Bertemu Mera, kau mau ikut tidak?” jawabku sekaligus bertanya menawarkan padanya.

“Kemana? Mungkin menyusul saja. Aku akan ke ruang guru lebih dulu” Jawabnya sambil berjalan ke arahku. Lalu dia berhenti tepat didepanku, menunggu jawaban yang akan kuberikan.

“Okey kalau begitu, kami akan ada di taman samping sekolah.” Jawabku sambil mulai berjalan menuju taman itu. Dia mengikutiku, di samping. Dia juga hanya mengangguk mendengar jawabanku. Saat sampai di depan kelas XIA6 kami berpisah, dia berbelok ke kanan menuju ruang guru, sedangkan aku lurus menuju taman sekolah.

Yah, memang untuk sampai di taman kami harus melewati, bukan, maksudku memutari seluruh ruang kelas sebelas terlebih dahulu.

Saat sampai di taman, aku langsung menuju tempat Mera dan Zeta berada, juga Rian yang entah kenapa ada disana. Mereka ada di bawah pohon mangga kedua dari ujung. Bisa dibilang posisi strategis.

Taman kami dibuat minimalis, tapi sayangnya banyak yang tak tertarik untuk duduk disana, karena selain tempatnya yang agak jauh dari ruang kelas, panas matahari juga lebih menyengat di luar sini. Walaupun ada lima pohon besar disana tapi tetap saja kemalasan siswa lebih besar dari itu.

Taman kami tidak seperti taman sekolah pada umumnya menurutku. Tidak ada bangku, namun ada beberapa lampu taman yang ditanam disana. Di bagian tengah taman dari ujung ke ujung, terdapat sungai buatan yang mengalir menyejukkan. Membelah taman menjadi dua. Jembatan kayu dibuat untuk menghubungkan kedua bagian taman. Tidak ada jalan setapak yang dibuat, semuanya beralaskan rumput yang hijau.

Aku sampai di pohon kedua itu. Melihat Mera dan Rian bertengkar tentang sungai di taman itu. Antara di tambah katak atau tidak. Sedangkan Zeta sedang menulis dengan ditemani suara radio dari gawainya. Aku duduk di samping Zeta, lalu menatap ke arah sungai, melihat gerombolan laki-laki bermain video game di seberang.

“Jadii?” tanya Mera padaku dengan mimik wajah yang ikut bertanya.

“Sebentar, Agam tidak diajak atau bagaimana ini?” tanya Rian memotong.

“Yep, Agam ikut, nanti dia menyusul, ngomong-ngomong kalian sudah dapat jawabannya? Sungai ini diberi katak atau tidak?” tanyaku sambil tertawa. Diikuti Zeta yang ikut tertawa dan Mera serta Rian yang cemberut.

“Belum terlambat kan?” kata Agam yang tiba-tiba saja datang. Cepat sekali. Ini belum ada lima menit dan dia sudah berada di sini. Ingin aku bertanya padanya tetapi, saat kubuka mulutku dia langsung menjawabnya

“Hanya diminta untuk tanda tangan.” Jawabnya seperti seorang cenayang.

“Ooh, belum Gam, duduk saja.” Kata Zeta.

“Tentang? Tentang apa La?” tanya Mera tak sabaran.

“Markas.” jawabku singkat.

“Maksudnya? Tapi bukankah dibawah sana itu termasuk markas?” tanya Mera.

“Iyasi benar, hanya saja rasanya kita perlu ruang sendiri juga, maksudnya agar manusia lain tidak perlu mendengar pembicaraan kita.” jawab Rian.

“Mm, iyasi itu ada benarnya, tapi memangnya mau dimana?”

“Ini pembahasan yang sulit kan, kita juga perlu tahu markas seperti apa yang akan melindungi kita dari orang-orang.” kata Agam.

Apa yang dikatakan Agam ada benarnya. Selama istirahat itu kami memikirkan tentang markas. Walaupun tidak membuahkan hasil yang begitu memuaskan tetapi, paling tidak kita sepakat untuk memiliki markas kedua diluar sekolah.

-*#*-

‘Tok-tok-tok’

Suara pintu kelas diketuk. Pak Edi menghentikan kegiatannya menulis di papan tulis, anak lain juga berpaling ke pintu kelas XIA2. Lalu Pak Edi membukanya.

“Oh Ibu Susi, ada apa ya bu?” tanya Pak Edi sopan. Guru matematikaku itu kemudian berjalan lima langkah keluar kelas, entah membicarakan apa dengan Bu Susi. Ini jam pelajaran terakhir, sebentar lagi kelas usai dan kami bisa terbebas dari pelajaran matematika yang mengantukkan ini.

Tak berselang lama Pak Edi kembali ke dalam kelas.

“Elana Tiara, ada disini?” tanya Pak Edi.

Itu namaku. Aku tersentak mendengar namaku dipanggil.

“Iya pak, saya.” kataku sambil mengangkat tangan.

“Kau dipanggil oleh Pak Joko, bisa segera kesana ya, Bersama Ibu Susi nanti.”

"Ohh baik pak.” ucapku sembari membereskan buku dan alat tulis.

Anak lain sudah ribut, beberapa terlihat cemas karena aku dipanggil, takut namanya mungkin akan terpanggil juga, beberapa lagi menghela napas karena bukan namanya yang disebut.

Lalu aku segera keluar kelas mengikuti Bu Susi setelah berpamitan dengan Pak Edi.

“Terima kasih Bu Susi sudah membantu saya memanggil mereka.” ucap Pak Joko dari balik meja.

Teman lain sudah duduk diam disana.

“Sama-sama pak, kalau begitu saya permisi dulu” jawab Bu Susi keluar ruangan.

Lengang.

Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar. Dingin.

“Silakan Elana duduk dulu.” kata Pak Joko mempersilakanku duduk. Aku duduk di sebelah Agam. Mera duduk di ujung lain sofa.

“Jadi sebelumnya saya minta maaf sudah memanggil kalian di akhir pelajaran seperti ini, alasan saya memanggil kalian adalah untuk menyelesaikan surat pernyataan itu.” jelas Pak Joko.

“Astaga kukira karena hal lain yang keren.” ucap Mera lirih yang ternyata masih bisa terdengar sampai tempatku. Mungkin Pak Joko mendengarnya, tapi hanya diabaikan.

“Selain itu karena ada tamu dari luar yang ingin menemui kalian, jadi kalian harus menyelesaikan surat pernyataan itu dahulu.” kata Pak Joko yang rasanya seperti terobsesi dengan surat pernyataan.

“Jadi ini kalian isi dahulu.”

Pak Joko menyodorkan kami surat pernyataan yang harus diisi. Kami mengisinya dalam diam, ruangan 4 x 4 meter itu kembali lengang. Kini suara pulpen menggores kertas terdengar samar-samar. Kami menyelesaikannya dengan cepat. “Sudah semua?” Tanya Pak Joko memastikan.

“Sudah pak.” Jawab Rian bersamaan dengan mengembalikan pulpen pada tempatnya lagi.

“Baiklah kalau begitu, ayo!” Pak Joko beranjak dari tempat duduknya menuju bagian belakang ruangan, tempat pintu bawah tanah berada.

“Tolong Elana tutup tirai dan kunci pintunya ya, yang lainnya ayo kemari.” Kata Pak Joko menunjuk jendela dan pintu lalu melambaikan tangannya meminta kami bergegas.

Sementara yang lain menuju arah Pak Joko, aku menutup tirai dan mengunci pintu lebih dulu, baru menyusul yang lain.

Kemudian Pak Joko menarik buku yang berfungsi sebagai tuas untuk membuka pintu menuju bawah tanah.

‘Kraak, braak’

Suara dari bawah tanah terdengar.

'Glek, kretekkretekkretek’

Pintu itu terbuka.

Lalu Pak Joko menarik buku yang berada di samping pintu untuk memunculkan tangga. Lalu beliau turun ke bawah disusul kami berlima.

“Tolong Mera, tutup pintunya lagi.” Kata Pak Joko sambil berjalan menuju ruang markas. Agam yang berjalan dibelakang beliau menyalakan lampu di luar ruangan. Setelah pintu dari atas tertutup barulah kami menyusul Pak Joko masuk ke dalam ruangan markas.

Di dalam ruangan lampu sudah dinyalakan. Ada seorang pria paruh baya yang duduk di sofa melingkar depan perapian membelakangi kami. Pak Joko kini sudah berbincang dengan pria itu. Penampilannya seperti orang gunung, pakaian tebal dengan penutup kepala, lalu dipunggungnya tersampir tas selempang.

Kami maju, lalu berdiri diam dibelakang sofa. Pak Joko dan pria itu kemudian berbalik melihat ke arah kami.

“Kemarilah nak, perkenalkan ini teman bapak. Pak John. Beliau ini datang dari jauh untuk menemui kalian semua.”

terang Pak Joko.

“Astaga, kau ini Joko, cukup panggil aku Paman John. Aku belum setua dirimu Joko.” kata Paman John sambil tertawa.

“Halo paman, nama saya”

“Kau Omera, Zeta, Ara, Agam, dan Rian kan?” belum usai Mera memperkenalkan diri, Paman John sudah menebak nama kami dan tebakan itu juga benar.