webnovel

Bab 2

Kami melangkah memasuki ruangan 10 x 10 meter itu. Tak disangka didalamnya tertata rapi berbagai barang dan perabotan rumah tangga. Ada rak buku disudut ruangan, meja rapat ukuran sedang di samping kanan, perapian di samping kiri dan sofanya, serta dapur ukuran kecil di sudut kiri perapian. Ada pula tiga pintu menuju ruangan lainnya. Entah ruangan apa itu.

“Oke, jadi selamat datang di markas elit. Oh iya untuk ruangan bapak disana ya, itu ruang kerja bapak. Lalu di tengah itu ada kamar mandi dan satu lagi disana itu kamar kalian.”

Pak Joko bergantian menunjuk pintu-pintu itu. Mulai dari sebelah kanan meja rapat, lalu sebelah rak-rak buku dan terakhir sebelah kanan perapian.

“Perapian karena, ya, disini sesekali terasa sangat dingin, penghangat ruangan rasanya tidak cukup menghangatkan ruangan sebesar ini.” tutur Pak Joko.

“Kamar itu untuk apa ya pak?” tanya Zeta pada Pak Joko.

“Itu ruang tidur kalian, jika suatu saat butuh. Tenang di dalamnya sudah ada sekat.” lengkap sudah jawaban Pak Joko.

“Kalau begitu, ayo duduk di sofa, biar saya jelaskan.”

Jujur saja aku masih tertegun menyadari semua ini.

“Jadi sebenarnya di dunia ini ada banyak pemilik kekuatan,” Pak Joko mengawali ceritanya saat kami sudah duduk nyaman di sofa.

“kalian termasuknya.”

“Hah?!” Zeta tersentak kaget. Kami saling berpandangan. Aku tak percaya bahwa orang yang kini duduk bersebelahan denganku memiliki kekuatan. Mera yang memandangiku sambil mengerutkan dahinya seperti mengatakan suatu hal tentang persahabatan. Lalu dia menoleh pada Pak Joko. Namun saat aku menolehkan pandanganku ke arah Rian dan Agam, mereka tidak memberikan tatapan yang begitu terkejut. bahkan saling pandang seperti mereka berdua sudah tahu ada orang yang memiliki kekuatan aneh.

“B-bapak—”

“Bapak tahu itu nak, bapak melihatnya” belum lengkap Mera bertanya, Pak Joko sudah mengerti maksudnya.

“Dan bapak juga tahu, kalau kalian sembunyikan itu, kalian semua sudah mengetahui kalau kalian memiliki kekuatan.”

Pak Joko melanjutkan, kami hanya diam tak bersuara mendengar itu. Antara terkejut dan heran kami mendengarnya.

“Bapak tahu darimana?” tanya Agam terbata.

“Bapak tahu karena bapak itu penemu nak.”

“Penemu? Penemu mesin maksud bapak? Atau bagaimana pak?” tanya Rian.

“Bukan begitu, maksud bapak ya penemu kalian.” jawab Pak Joko ringan.

“Bapak salah satu dari kami?” tanyaku penasaran.

“Ya, bapak salah satu dari kalian, kekuatan bapak itu mengajar, yang berarti juga menemukan. Mengajari para pemilik kekuakatan dan menemukan para pemilik kekuatan.” jelas Pak Joko.

“Lalu mengapa kita disatukan pak?” tanya Agam.

“Oke karena Agam sudah bertanya tentang hal itu, sebentar bapak ambilkan dulu” Pak Joko bangun dari tempat duduknya, berjalan ke arah rak buku di seberang ruang, lalu kembali lagi membawa satu buku besar berwarna coklat.

Dia meletakkan buku yang diambilnya di meja kayu tengah sofa. Membukanya di bagian halaman awal. Halaman itu kosong, buram kertasnya, kami mendekat, mencoba melihat. Lalu tiba-tiba saja buku itu mengeluarkan gambar, bukan, bukan di kertasnya, namun melayang 3 dimensi. Kami berlima langsung terlonjak kaget. Pak Joko memulai ceritanya bersamaan dengan gambar itu bergerak.

“Dulu kala, ada tiga kerajaan yang hidup berdampingan dalam damai. Raja dan ratu kerajaan-kerajaan itu sangat bijaksana. Satu kerajaan diantaranya adalah kerajaan para pemilik kekuatan. Dua kerajaan lainnya, mereka manusia biasa, pada umumnya, bukan seorang pemilik kekuatan.”

Pak Joko diam, mengambil napas sekaligus memperhatikan Mera yang mencoba menangkap gerakan diatas buku itu. Pak Joko tersenyum.

“Hingga di satu waktu,”

Buku itu menampakkan halaman selanjutnya, cahayanya berubah, dari putih menjadi merah. Seperti ada hawa negatif yang juga ikut keluar dari buku itu.

“Salah satu anak dari kerajaan para pemilik kekuatan mencoba merebut kekuasaan sang raja, ayah mereka sendiri. Dengan konspirasi hebat, dia mencoba membunuh ayah dan kedua kakaknya. Dia si bungsu, orang-orang memanggilnya ‘Penguasa tanpa kuasa’. Konspirasinya gagal, rencananya terbongkar, dia dipenjara dan diasingkan di ujung dunia dengan pertahanan ketat dan kekuatan kuat.”

Kini halaman itu kembali seperti semula. Buram, gambar mulai hilang. Pak Joko telah usai bercerita dengan lubang besar di tengah cerita. Beliau menutup buku itu, kami terdiam, kagum dengan buku itu dan bingung dengan ceritanya.

“Pak, saya,”

Ingin aku menanyakan banyak hal, tetapi Pak Joko mengangkat tanganya.

“Bapak hanya tahu cerita itu sampai situ nak, tidak lebih tidak kurang, sudah bapak cari kemanapun, tetapi cerita itu hanya seperti itu, bahkan di buku ini. Buku yang terkenal lengkap” jelas Pak Joko membungkamku.

“Kalian pulanglah, ini sudah sangat sore, istirahat, besok kalian sekolah dan ingat sore harinya, urus surat pernyataan itu.”

Pak Joko berjalan ke arah pintu masuk, membukanya, secara lembut mengusir kami dari markas elit ini.

“Eh, sudah? Hanya seperti ini saja? Pertemuan aneh yang singkat dan membingungkan dan langsung meminta kami untuk pulang?” tanya Mera heran. Begitupun yang lainnya.

“Memangnya saya perlu menjelaskan apa lagi Mera? Bahkan hal sepele tadi saja belum kalian mengerti kan?”

“Bapak menyembunyikan sesuatu dari kami, bukan?” tanyaku setelah melihat ekspresi dan jawaban Pak Joko. Seperti ada suatu hal yang memang ia sembunyikan dari kami.

“Sudahlah, kalian harus pulang bukan? Ini sudah sore. Besok kalian bisa kembali lagi kemari.” kata Pak Joko yang tidak menjawab pertanyaanku.

“Bapak tidak ada konspirasi untuk itu kan?” tanya Rian sembari bangun dari duduknya. Kami mengikutinya, berjalan berurutan keluar.

“Konspirasi? Tentang kenakalan kalian? Tentu saja tidak, itu kalian sendiri yang melakukannya, bapak tentu tidak bisa campur tangan urusan itu. Bapak hanya beruntung kalian dihukum di satu waktu yang sama, seperti sudah takdir dan dengan cepat pula kalian menemukan ruangan ini”.

“Iyadeh pak, kalau begitu kami izin pulang, terima kasih pak” jawab Mera. Kami berlima berjalan keluar ruangan, Pak Joko masih menunggu.

“Eh pak, bagaimana cara kami naik?” tanya Zeta menyadarkan kami akan jalan masuk dan keluar yang baru ini.

“Ah, akhirnya, udara segar!” Mera berdiri di ujung lubang, merentangkan tangannya. Lalu dibawahnya Rian.

“Awas kau, jangan menghalangi jalan, aku tidak bisa keluar!” kata Rian setengah membentak.

“Ah iya, maaf, mari kubantu”

“Tidak perlu, aku bisa sendiri.” ketus Rian.

“Halaah, tidak usah sungkan, aayo!” jawab Mera sembari membantu Rian keluar.

“Huft, ternyata kau berat juga ya.” kini Mera membantu Zeta keluar, dibantu Rian.

Giliranku keluar, dan yang terakhir Agam. Di bawah Pak Joko masih menunggu kami. Kalau dipikir-pikir bagaimana orang setua Pak Joko keluar dari bawah sana, melompat keluar seperti kami ini.

“Oh iya nak, kalau kalian sudah keluar semua tolong tarik buku itu lagi untuk menutupnya, dan satu lagi”, Pak Joko segera melanjutkan perkataannya sebelum Zeta mengangguk dan menarik buku itu.

“Kalian jangan pernah buka suara tentang apa yang kalian miliki”

“Siap Pak, kami ingat itu.” Jawabku

“Ingat ya, jangan sampai kalian bocorkan hal ini kepada siapapun, siapapun”

Kami serempak menganggukan kepala, menunjukkan kesungguhan kami untuk tutup mulut. Lalu Zeta mulai menarik buku itu.

“Eh, tunggu satu lagi” Pak Joko kembali menghentikan Zeta.

“Satu lagi, sebenarnya disini ada tangga, jadi besok tidak perlu kalian melompat dan memanjat keluar, itu tarik buku itu.” Kata Pak Joko sambil menunjuk buku yang berada di rak paling bawah.

“Yaah, Pak, Bapak kenapa tidak bilang daritadi, kalau tahu begitu kan tidak perlu mengeluarkan tenaga sedikitpun untuk keluar dari bawah sana.”

“Kamu tidak menunggu saya kan tadi, langsung saja melompat naik.” kata Pak Joko sambil tertawa.

“Tidak apa Omera, itu juga baik untukmu. Oiya, dan dibawah sini, kalian tinggal tarik tali ini ya” jelas Pak Joko.

“Siap pak.” ucap Rian.

“Sudah pak? Atau ada lagi yang ingin disampaikan?” Tanya Zeta.

“Eh pak. Ngomong-ngomong, bagaimana cara bapak turun kesana tanpa membuat bising seperti yang tadi kami lakukan?” tanyaku kini.

“Ahh, kalau itu masih rahasia tentu saja.”

Aku yang mendengar jawaban itu hanya bisa menghela napas kecewa, sedangkan Pak Joko tersenyum bangga.

“Ini sudah semua kan? Akan kututup pintunya.” ucap Zeta yang sedari tadi ingin menarik buku yang disentuhnya.

“Iya sudah cukup itu saja, Ingat besok urus surat pernyataan kalian, jangan sampai lupa.”

“Oke pak.” kata kami.

“Ya sudah, terima kasih ya nak.”

“Terima kasih kembali pak.”

Lalu Zeta menarik buku disamping untuk menutup lubangnya kembali.

“Jadii, kita harus bungkam yaa.” Mera mengatakan dengan nada kecewa.

“Ya, begitulah. Lagipula seperti biasanya bukan.” jawab Agam.

“Sudahlah besok kita kemari lagi bukan, kita bisa membahasnya lebih jauh lagi.” jawab Zeta menengahi.

“Itu benar, sudahlah, ayo kita pulang saja” kataku sambil mulai melangkahkan kaki keluar ruang BK. Teman lain mengikutiku keluar ruang BK.

“Kalau begitu aku duluan ya semua, aku juga harus mengambil jam wekerku di toko reparasi itu.” kubalikkan badanku dan pamit pada yang lain, lalu kembali berbalik dan berjalan ke ruang kelasku.

“Ara, kamu mau kemana? Bukannya gerbang ada di sana ya?” tanya Zeta sembari menunjuk arah gerbang sekolah.

“Mengambil tas di kelas.” jawabku tanpa berhenti berjalan menuju ke kelas dengan sedikit teriakan.

“El, tunggu sebentar”, suara Agam memanggilku membuatku tersentak kaget, lagi. Sontak aku menghentikan langkah kakiku, lalu berbalik melihatnya. Dia berlari kecil untuk sampai di tempatku berdiri.

“Ya, kenapa?” tanyaku padanya

“Tidak apa, hanya memanggil.”

“Oh oke, kalau ingin tanya, tanya saja.” kataku santai dan mulai berbalik berjalan menuju ke kelas.

“Tidak apa kan aku memanggilmu ‘El’, bukan Ela atau Ara atau Tiara atau Elana, tapi El saja?” tanya nya disampingku tanpa memalingkan wajahnya dari koridor sekolah.

“Ya, tidak apa, aku suka panggilan itu, terlihat keren.” jawabku tanpa memalingkan wajah juga. Ruang kelasku berada 10 langkah ke depan. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat, mungkin lain kali saja, saat waktunya sudah tepat.

“Baiklah Gam, kalau begitu aku duluan ya.” kataku sembari memasuki kelas.

“Yaa, kau dijalan hati-hati juga.” jawab Agam sambil lalu, dia berjalan ke kelasnya.

-*#*-

Aku berlari setelah melihat toko reparasi jam itu sudah hampir ditutup. Bapak pemilik toko itu sudah mulai membereskan tokonya.

“Pak,pak, maaf pak, saya telat”, teriakku menahan bapak itu sebelum tokonya ditutup.

“Eh, nak, kenapa sore sekali, untung belum saya tutup tokonya. Kalau begitu istirahatlah dulu, bapak ambilkan jam mu ya”

Untungnya bapak itu tidak marah mengetahui aku sore sekali mengambil jamku. Bapak itu kembali lagi dengan membawa jam wekerku yang sudah kembali benar beserta kwitansinya.

“Ini nak, sudah beres semua”, bapak itu berkata sembari memberikan jamnya padaku.

“Oke pak, jadi semua berapa?”, tanyaku.

“Ini nak, kwitansinya, semuanya jadi 30 ribu saja”, jawab bapak itu.

Lalu kuberikan uang pas untuk membayarnya dan berkata terima kasih. Lalu pulang setelah bapak itu menjawabnya dan berpamitan pada beliau.

Aku baru saja selesai mandi. Rambutku masih basah, handuk masih tersampir di leher. Aku duduk di atas kasur, di depan cermin, ingin mengeringkan rambut. Tapi kali ini aku ingin mencoba mengeringkan rambutku dengan kekuatan yang kupunya. Aku menatap kedua tanganku, berharap kali ini dia tidak mengacau. Lalu aku mencoba mengangkat tangan, mengarahkannya pada rambut. Aku memejamkan mata, mulai mencobanya. Kini kekuatanku mulai bekerja, desir angin mulai terasa di kepalaku. Lalu aku mencoba menggerakan tangan memutari kepala, membuat angin bergerak mengeringkan rambut. Tidak ada suara desingan ataupun keributan apapun, ini hanya angin kencang.

Setelah 5 menit aku menggerakan tanganku, pegal sebenarnya tanganku terus terangkat dan bergerak. Kucoba mengecek rambutku dan hola! Itu kering, aku melihatnya di cermin, ya tidak buruk untuk percobaan kedua mengeringkan rambut dengan kekuatanku. Saat percobaan awal ketika aku SMP dulu, aku mengeringkan rambutku dengan kekuatan ini, dan hasilnya buruk, rambutku kusut dan susah untuk dirapikan. Untungnya kali ini tidak, entahlah mungkin hanya keberuntungan.

Lalu aku bangkit dari tempat tidur, mulai menyisir rambut, dan meletakkan handuk di depan kamar mandi. Lalu berjalan duduk di kursi meja belajar. Menyiapkan buku untuk besok, mengecek kembali tugas dan mengerjakan pr yang diberikan guru

‘Srak’

Kubuka lembaran buku fisika, mulai membaca soal nomor satu, lalu tiba-tiba saja,

“Ara, nak!! Ayo makan malam dulu!” panggil ibu dari arah luar, lebih tepatnya dari dapur.

Lalu suara ketukan pintu kamarku terdengar. Kulihat ayah membuka pintu kamar, terlihat setengah badannya masuk ke dalam kamar.

“Ayo, Ra, makan malam dulu.” ayah tersenyum mengajakku.

“Yah, Ra mau tanya boleh?”

“Boleh lah memang mau tanya apa?” kini ayah sudah masuk ke kamarku, duduk di atas ranjang. Tapi tunggu, kalau tanya sekarang itu berarti aku melanggar janjiku kan

“Kenapa Ra?” tanya ayah menyadarkan lamunanku.

“Ehh, tidak, hanya ingin bertanya, tadi pagi ayah berangkat jam berapa?”

“Ohh itu, iya tadi pagi ayah berangkat pagi, ada acara mendadak” jawab ayahku.

“Ohh, yasudah ayo makan”, kataku bangkit dari kursi dan berjalan keluar kamar.

Ya, ayahku seorang pengusaha, beliau punya bisnis yang menurutku sukses, tapi tidak terlalu kalau kata orang lain. Tidak apa, lagipula orang-orang tidak tahu kalau ayahku berjuang dari bawah dan dari situ pula beliau memberi nafkah keluarganya.