webnovel

BERCANDA

Fahra merasa salah tingkah ketika pemuda itu tidak ada di mengamatinya. 

'Kenapa dia menatapku seperti itu? Dasar cowok aneh. Kenapa aku tidak nyaman sekali, ada perasaan aneh di dalam hatiku,' batin Fahra. 

"Salah tingkah ya ... ya kan," ledek Gibran. Fahra mengambil tahu kemudian memasukkan ke mulutnya.

"Wow ... Aku tidak menyangka loh." Gibran benar-benar tidak menyangka jika Fahra mau makan, makanan jalanan. 

Mata Fahra tertuju kepada bocah kecil yang sedang membawa kotak makan. Dia berdiri, tatapan tajam yang terpaku, membuat Gibran menelusuri apa yang dilihatnya. Fahra berlari sekuat tenaga dan Gibran menyusulnya. 

Tinnn!

Tinnn!

Bunyi klakson mobil dari kedua arah berlawanan. Mata Gibran semakin terbelalak, langkah Gibran semakin panjang dan cepat.

"Fahra ...!"

Bruggg! 

Gibran berhasil menyahut tubuh Fahra dan anak itu sampai mereka berguling. Napas mereka ngos-ngosan. 

 "Heh ... heh ... kamu gila?!" Gibran malah membaringkan tubuhnya ke tanah. Sambil mengeluarkan nafas cepat berurutan. 

"Kamu tidak apa-apa kan Dek? Tidak ada yang luka 'kan?" Fahra malah menunjukkan perhatian lebih kepada bocah kecil yang diselamatkan nya. Gibran yang terluka lenganya, sama sekali tidak direspon oleh Fahra. Di sini Gibran tahu kalau Fahra adik dari orang kaya namun Fahra sama sekali tidak sombong dan tidak benci ataupun risih kepada anak jalanan.

"Kamu lapar, makan yuk?!" Fahra malah mengajak bocah kecil itu. Gibran semakin terkejut.

"Yuk ... kita makan, sekalian saja satu desa kamu ajak." Gibran bangun tanpa bantuan. Fahra menatapnya aneh.

"Bener kata Kakak itu. Aku tidak bisa makan kalau saudara-saudaraku belum makan," jawab bocah kecil itu. 

"Kalau begitu Kakak akan memberikan makanan yang sangat banyak untuk kalian. Setuju kan Bran!" 

"Sok akrab kamu. Memang kamu siapanya aku," jawab Gibran ketus. "Mengambil kesempatan untuk makan berdua, malah dia mengundang anak-anak jalanan. Nasib ... nasib," gumam Gibran.

"Berbagi itu indah. Banyak kesempatan untuk bersamaku. Bilang saja kalau kamu pengagum rahasia aku, ya ... kan! Buktinya saja langsung ajak aku dinner, mau mengantar aku pulang, meminta nomor ponselku. Iya kan ...?" ledek balik Fahra yang lalu melihat jalanan sepi. 

Dia menggandeng tangan Gibran dengan tangan kanannya dan menggandeng tangan bocah itu dengan tangan kirinya. Gibran tidak berhenti menatapnya ketika Fahra terus menggandeng tangannya sampai ke warung seberang. 

"Aku sadar, aku cantik banget 'kan? Sampai-sampai kamu tidak melepaskan pandanganmu," ledek Fahra. Gibran membuang wajah ke arah lain dan tersenyum. Pemuda itu hanya menggaruk kepala belakangnya, memperlihatkan kalau dia salah tingkah. 

"Adik teman-temannya ada berapa?" katanya Fahra.

"Delapan belas," jawab bocah itu.  

"Pak nanti membungkuskan 18 mie ayam untuk anak ini ya," pinta Fahra.

"Asiap Neng." 

"Gibran, mau besok dinner lagi?!" tanya Fahra, Gibran menatapnya dengan wajah datar.

"Kalau tidak mau ya tidak papa!"

"Siapa bilang, aku mau kok. Aku ada kelas jam 10. Jam satu sudah kelar. Jadi kamu perlu dijemput di mana?" tanya Gibran sambil mengaduk makananya. 

"Aku akan menunggumu di bawah pohon saman. 400 m dari arah kiri kampus. Oke," ujar Fahra sambil memberi perhatian lebih kepada bocah kecil itu. 

'Bagaimanapun dulu aku pernah hidup susah. Aku pernah menjadi anak jalanan. Dan semuanya tidak mudah,' kata Fahra dalam hati. Air matanya berlinang dan Gibran melihat Fahra menghapus bekas air mata itu. 

"Kenapa nangis?! Jangan menangis, aku tidak bisa melihat wanita menangis." Suara Gibran terpecah, Fahra heran dan merasa lucu dengan sikap Gibran.

"Hahaha. Dasar cengeng," ledek Fahra.

"Biar!" Gibran lanjut makan, Fahra meminta anak itu untuk makan mie ayam miliknya. Fahra hanya makan tahu goreng. 

Gibran yang melihat kesederhanaan Fahra, mendatangkan rasa kagum kepada gadis itu. 

"Woi! Makan, kamu tidak akan kenyang jika terus memandangi wajah cantikku ini," ucap Fahra, Gibran tersenyum lalu makan. 

"Kenapa tiba-tiba tadi minta bonceng?" tanya Gibran teringat saat keluar dari restoran. "Katamu aku rempong," imbuhnya. 

"Ya maaf, tadi belum tahu situasi. Setelah faham ya adanya kamu lalu terpaksa deh. Tapi kesel juga saat kamu ninggalin aku, kejam tahu," protes Fahra. 

"Hahaha. Tapikan aku kembali dan itu hanya untukmu. Hehehe, aku bercanda, tuh datang cepat makan," kata Gibran. Fahra tersenyum lalu makan, matanya terus tertuju kepada bocah jalanan itu. 

Malam semakin dingin, angin berhembus syahdu. Kedua insan masih berada di tempat duduknya. Mengamati Fahra yang sangat memperhatikan bocah jalanan itu. 

"Terima kasih Kak." bocah itu pergi dengan membawa bungkusan yang diberikan oleh Fahra. Fahra terus menatap, hingga tak terlihat lagi dari pandangannya. 

"Aku tidak menyangka kamu sangat peduli," ujar Gibran. Fahra tidak berkata, dia hanya tersenyum kemudian makan. 

'Kehidupanku dulu sangat parah, hingga pada akhirnya Mas Fatih menemukan titik kesuksesan. Belajar sabar dan terus ikhtiar tidak putus asa walaupun banyak rintangan. Masa pahit pelajaran di masa depan,' batin Fahra yang kemudian menaikkan wajahnya untuk menahan tangis. 

"Ngapain tadi pagi di rumah sakit?" tanya Gibran memecah keheningan.

"Oh ... jadi tadi pagi kamu. Pantas saja aku merasa mengenali tapi lupa."

"Kamu ini benar-benar tidak mengenal aku? Aku kan yang terkeren sekampus?" Gibran bertanya dengan nada kepedeannya.

"Huekkk." Fahra mual mendengar semua perkataan Gibran. Gibran tertawa lepas. 

"Hahaha. Bilang saja, makin cinta ya 'kan," ujar Gibran yang terus memandangi gadis cantik itu. Diam-diam Fahra melirik. "Pandang saja, nggak usah ngelirik nanggung tahu." Gibran memergoki Fahra. Gadis itu seketika tertipu dan menutupi wajahnya dengan tangan. 

"Bagaimana kamu tahu soal Rehan?"

"Semua mahasiswi tahu, kalau dia sangat mudah mendapatkan gadis manapun. Walau tampan masih ganteng aku." Gibran belum selesai mengatakan Fahra bergumam dengan menggerakkan bibirnya.

"Hahaha. Kamu pasti mengumpatkan di dalam hati. Aku tidak mudah mendapatkan gadis atau jatuh cinta kepada gadis. Jujur saja aku tertarik, sama kamu." Pengakuan Gibran membuat Fahra terbelalak. "Jangan pede dulu aku tertarik untuk." 

"Bukan untuk jadi pacar 'kan?" sahut Fahra, Gibran tertawa tidak henti. Fahra melihat Gibran yang tertawa puas dia sangat kesal.

"Hahaha. Aku tahu kelebihanmu. Banyak teman-teman yang mengatakan kamu memiliki kelebihan bisa ... melihat sesuatu yang akan terjadi kepada orang-orang terdekatmu. Jadi aku tertarik untuk menjadi temanmu. Aku yakin, kamu sulitkan mempunyai teman yang sejati. Jadi bagaimana? Apa kamu menerima tawaranku? Tidak ya tidak apa-apa, cuma kalau ada aku kan, aku bisa membantu." 

"Emmm."

"Fahra. Mataku menantikanmu dengan terjaga semalaman, tapi tidak ada kabar darimu. Dari kejauhan aku memandangmu, mengamatimu, memperhatikanmu, sayangnya selama ini aku tidak berani untuk meminta nomor ponsel mu. Ingatan-ingatan tentangmu berulang kali datang. Kali ini yang aku harapkan, kita menjadi teman yang nantinya untuk menikah."