Gadis berwajah tegang itu mencengkeram ponselnya lebih erat, rahangnya mengeras bersamaan dengan emosi yang ingin segera dilampiaskan. Perasaanya begitu kacau dan kecewa karena kekasihnya menyia-nyiakan kesempatan kedua yang ia beri, terlebih lagi dengan teganya Kenzo kembali berselingkuh bersama orang yang sama.
Air mata Acacia menitih deras tanpa bantahan, tubuhnya kembali bergetar. Pikirannya berkecamuk dengan hati yang gundah hanya karena sebuah foto, tetapi hal tersebut hampir membuatnya hilang akal. Tanpa sadar, bibir ranumnya bergetar pilu. Karina dan Bisma yang mendengar isak tangis segera melihat ke arah sumber suara.
"Ca, are you okay?" tanya Karina, tatapan matanya terlihat jelas begitu khawatir.
Bersamaan dengan embusan kasar yang keluar dari mulutnya, Acacia menghapus air matanya. Gadis itu berusaha menampilkan lekuk bibirnya agar tersenyum dan tidak terlihat sedang bersedih, Acacia hanya tidak ingin kedua sahabatnya kembali khawatir.
Bisma menyipitkan mata, memandang Acacia dengan tatapan curiga. "Ca? Jangan bilang kamu kesurupan! Lagian abis nangis ngapain senyum-senyum nggak jelas, sih?"
Acacia tertawa menanggapi candaan Bisma, walau sebenarnya kini kedua tangannya sedang terkepal erat di bawah meja. Bergerak memejamkan mata, Acacia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Acacia rasa, ia tidak ada waktu untuk merenung dan membiarkan Kenzo seenaknya saat ini.
"Aku enggak papa, kok. Tadi aku nangis cuma karena baca pesan dari mama, soalnya mama bilang papa lagi sakit." Lidah Acacia terasa kelu saat akan melanjutkan kembali ucapannya. "Aku mau pulang dulu, ya? Soalnya udah jam setengah dua ini."
Mengangguk paham, Karina lalu tersenyum manis. "Enggak papa, Ca. Aku rasa ... kamu memang harus istirahat saat ini. Jangan lupa selalu berpikir positif. Ingat, kita berdua pasti akan selalu doain kamu," ucap Karina yang disetujui oleh Bisma.
Mendengar perkataan Karina, kepala Acacia mendadak pening. Gadis itu merasa bersalah karena berkata tidak jujur pada sahabatnya, akan tetapi Acacia sepenuhnya tidak berbohong. Sebab papanya memang sedang sakit, walau tidak terlalu parah. Papa Acacia sudah mengidap diabetes sejak lama.
Acacia mengembuskan napas lelah dan segera berdiri. Sebelum keluar dari cafe, Acacia tidak lupa mengambil jaketnya yang ada di pundak Bisma lalu memakainya. Gadis itu tersenyum paksa, tetapi masih berusaha terlihat senang di sana.
"Aku pulang dulu, ya?"
"Biar aku yang anter Ca, enggak baik anak gadis pulang malem sendirian."
Sontak, Acacia menggeleng dengan cepat. Jika Bisma mengantarkannya, maka tamatlah riwayatnya. Sebab setelah keluar dari Cafe, Acacia berniat menuju ke kelab yang sesuai dengan alamat dari pesan yang diterimanya.
"Jangan!" seru Acacia dengan suara yang sedikit tertahan. "Aku ... aku mau pulang sendiri. Lagian, hari ini ulang tahunnya Karina. Jadi kamu harus di sini nemenin Karina, Bas."
Saat Bisma dan Karina akan kembali membuka suara, Acacia terlebih dahulu berbicara. "Pokoknya keputusan aku udah bulat, aku mau pulang sendirian!" Ada jeda sebelum Acacia melanjutkan ucapannya. "Selamat ulang tahun Karina! Dan bye ... aku pulang dulu!"
Tanpa basa-basi lagi, Acacia berbalik badan lalu segera berlari agar kedua sahabatnya tidak bisa mencegahnya kembali. Setelah berada di parkiran kaki Acacia seketika terasa lemas, seakan tidak sanggup menopang berat badannya sendiri.
Acacia memutuskan untuk berjalan menuju ke kelab malam tersebut, karena kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh dengan cafe tempat ia merayakan ulang tahun Karina tadi. Dengan ketegaran hatinya, Acacia berusaha tenang walau air matanya kembali menetes saat ini.
***
Harap-harap cemas berjalan menuju kelab di pertengahan malam yang sudah semakin larut, Acacia berusaha memberanikan diri untuk masuk. Beruntung saja ia membawa KTP yang menunjukan bahwa umurnya sudah pantas untuk masuk dan juga uang yang cukup.
Saat sudah sampai di dalam, wajah Acacia terlihat memucat mendengar suara musik yang begitu keras memekakan telinga serta ramainya orang yang sedang menari. Tidak lupa pria dan wanita yang tak tahu malu berlaku senonoh di tempat umum, membuat tubuhnya seketika merinding.
"Apa aku pulang aja, ya?" monolog Acacia, ia merasa dirinya sudah gila berani datang ke tempat berbahaya ini sendirian.
Selama belasan tahun hidup, ini pertama kalinya Acacia menginjakan kaki di kelab malam. Dengan gerakan pelan, Acacia kembali melangkah dan mencari Kenzo dari banyaknya kerumunan orang yang sedang berbuat maksiat.
"Aw!"
Acacia terjatuh di lantai karena tertabrak oleh seseorang, ia merasakan sedikit nyeri di pergelangan kakinya yang tadi terinjak-injak oleh sekumpulan orang. Tubuhnya seketika melemas, Acacia merasa sangat takut dan ingin segera pulang.
Gadis itu merasa tempat ini sangatlah tidak cocok untuknya, terlebih lagi semua ini terasa asing baginya. Ketika matanya sedang memindai ke sekitar dengan pupil yang mulai berembun, hal tidak terduga justru tertangkap indra penglihatannya.
"Ken ... zo?" gumam Acacia dengan terbata-bata.
Bagai tersambar petir, tubuh Acacia terasa kaku. Ia bergeming dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipi, hatinya mendadak hancur. Acacia merasakan dadanya sesak melihat kejadian yang sedang berlangsung, di mana kekasihnya berpelukan dan saling bertukar saliva dengan wanita lain.
Mengumpulkan sisa nyawanya yang terombang-ambing di bawah alam sadar, mata Acacia seketika berubah menjadi nyalang. Gadis itu melepas salah satu sepatunya dan mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ada.
"Brengsek!" jerit Acacia seraya melempar sepatunya hingga tepat mengenai bagian belakang kepala Kenzo.
Merasa tidak terima, Kenzo segera berdiri untuk mengetahui siapa pelaku yang telah menganggu aksi santainya. Saat netranya melihat Acacia berdiri di tengah kerumunan dengan kedua tangan yang sudah terkepal erat, Kenzo membelalakkan matanya.
Lelaki itu merasa dimensi waktu seolah berhenti ketika Acacia berjalan mendekat, langkahnya terlihat begitu mengintimidasi. Bahkan, kini Acacia memandang Kenzo dengan tatapan membunuhnya. Kesabarannya sudah habis, kali ini Acacia tidak akan memaafkan Kenzo.
PLAK!
Acacia melayangkan tamparan keras ke pipi kanan Kenzo sampai kepala lelaki itu tersisihkan ke samping, bahkan bekasnya juga terlihat dengan jelas. Napas Kenzo bergemuruh, ia merasa tidak terima dipermalukan seperti ini.
Namun ... saat tatapan mereka kembali bersinggungan, Kenzo tak kuasa untuk menaruh rasa simpati. Jujur, sebenarnya ia tidak tega melihat gadis yang dicintainya menangis. Kenzo sungguh menyesal, Acacia kini sudah sepenuhnya tahu akan kelakuan buruknya.
"Ca ...." Kenzo memanggil Acacia dengan lembut, berusaha menenangkan kekasihnya yang sedang tersulut amarah.
"Kamu gila, Ken! Bisa-bisanya kamu selingkuh lagi dan itu sama Bella!" Acacia menggeleng tak percaya, ia lalu memegangi dadanya yang berdenyut nyeri. "Aku mau kita putus," gumam Acacia yang masih bisa di dengar oleh Kenzo.
"Babe, come on ... dengerin aku. Kamu jangan kebawa emosi, ayo ikut aku dulu."
Acacia melepas kasar tangan Kenzo yang berada di pergelangannya. "Jangan pegang-pegang aku pake tangan busuk kamu itu! Kamu menjijikan, Ken!"
Tatapan Kenzo berubah menjadi tajam setelah mendengar perkataan Acacia, tetapi ia berusaha mengontrolnya agar tidak marah-marah saat ini. Kenzo tersenyum manis, ia lalu kembali memegang dan mengelus dengan lembut telapak tangan Acacia.
"Ikut aku dulu, ya? Kita duduk, jangan ngobrol sambil berdiri. Oke?"
Karena sudah terlalu lelah, Acacia tidak ada pilihan lagi selain menurut pada Kenzo dan pasrah ke mana lelaki itu akan membawanya. Sebelum benar-benar pergi, Acacia melirik sengit ke arah Bella. Untuk kali ini, Bella ternyata memang benar-benar mengibarkan bendera perang padanya.
Mereka berdua kini duduk di kursi kosong yang sedikit jauh dari kerumunan, Acacia masih tak henti-hentinya menangis. Gadis itu sangat terluka saat ini, sampai rasanya tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Kamu kenapa bisa ke sini? Gimana caranya kamu tahu aku ada di sini?"
Acacia menghapus air matanya dengan kasar. "Apa peduli kamu aku tahu apa enggak! Kalau kamu emang enggak cinta sama aku, harusnya kamu turutin kemauan aku buat putus dulu! Dua kali ... dua kali aku lihat pake mata kepala aku sendiri kamu selingkuh, Ken!"
"Aku enggak akan putusin kamu, Ca. Aku sayang sama kam--"
"Omong kosong! Nyatanya kamu selingkuh, 'kan? Intinya aku mau putus! Aku benci sama kamu, Ken!"
Kenzo menyugar rambutnya, ia jadi bingung cara untuk menjelaskan masalah yang dialaminya kepada Acacia. Namun, sepertinya mau dijelaskan seperti apapun ... Acacia pasti akan meminta putus. Melihat Acacia terbatuk karena terlalu lama menangis, Kenzo tanpa sadar mengambil segelas minuman di meja yang ada di depannya.
"Sayang ... ini minum dulu."
Acacia yang merasa kerongkongannya sakit, menerima begitu saja minuman yang Kenzo berikan padanya. Tetapi, rasa minumannya begitu aneh dan pahit. "Apa ini? Kok nggak enak?!"
Kenzo membelakan matanya, ia tidak menyangka memberikan Acacia minuman keras. Saat Kenzo akan mengambilnya dan mengganti dengan air biasa, seketika pikiran jahatnya muncul. Kenzo sangat tidak ingin Acacia meninggalkannya, oleh karena itu ... Kenzo yakin ini satu-satunya cara.
"Minum aja, itu aman kok."
Acacia kembali meminumnya sampai tandas, seketika ia merasakan pusing dan pandangannya sedikit berkurang. Melihat Acacia sudah lemas, Kenzo kembali memberikannya satu gelas alkohol. Hingga akhirnya, Acacia tidak sadarkan diri dalam pelukan Kenzo.
"Maaf, sayang. Selama ini aku berbuat hal itu sama cewe lain karena nggak mau ngerusak kamu, tapi ... malam ini kamu harus jadi milik aku," final Kenzo.
Lelaki itu lalu segera memapah tubuh Acacia menuju keluar kelab dan mencari motel terdekat untuk melancarkan aksinya.