webnovel

18 Shadow

Usaha Anya tidak berhasil, dia tertidur pulas meskipun sudah minum kopi ukuran large. Alhasil bayangan itu muncul lagi. Rupanya jam masih menunjukkan pukul satu pagi sehingga dia masih ngantuk. Tak kuat menahan kantuk, dia kembali terlelap dan bayangan masa lalu muncul lagi dalam angan bagai sebuah film romansa masa mudanya.

Anya kembali meraba kejadian masa lalu yang pernah ia alami. Begitu membuka mata ia sudah berada di ruang BK bilik konseling, hanya ia,Renata, dan pak Oky yang ada di sana.

"Jadi Anya, Renata, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya pak Oky dengan nada yang santai seperti mengobrol biasa.

Anya tak langsung menjawab, dia mengeluarkan sebuah foto yang sudah diremas dari sakunya. Pak Oky menerima lalu meluruskan foto itu agar bisa terlihat jelas. Dari foto itu sudah menunjukkan kalau Anya ada di jok belakang motor pak Jamal.

"Gini, saya jamin pak Jamal tidak akan tahu soal ini. Anya cuma perlu tenangkan diri karena saya paham kalau kamu dan beliau hanya sebatas guru dan murid," kata pak Oky.

"Ada foto satu lagi, Pak. Di foto itu saya dan beliau ada di cafe, saat itu sebenarnya ada papa saya tapi nggak kena foto. Pak Jamal itu teman baik papa saya," Anya akhirnya buka suara di tengah rasa takut dan malu.

"Saya nggak mau kepo soal foto itu karena pasti akan menggiring opini orang dengan anggapan yang salah, yang perlu Anda lakukan sekarang adalah hadapi semua itu tanpa rasa takut sedikitpun," nasihat pak Oky.

"Saya hanya guru dan murid dengan pak Jamal, kalau hubungan kami lebih dekat dari yang lain itu karena beliau adalah teman bapak saya. Papa saya guru SMP, kenal dengan beliau karena sesama guru dan Dulu mereka kuliah di tempat yang sama," jelas Anya sembari menahan tangis.

"Begini ya, saya akan panggil setelah ini anak yang jadi provokator, Anya tolong jujur," tanya pak Oky.

"Nggak ada, Pak."

Anya menggeleng, dia enggan mengaku siapa yang menjadi penyebar rumor tak sedap. Renata gerah melihat itu, dia spontan memberitahu nama orang yang terlibat.

"Bella dan Cesa, Pak!" sembur Renata. Anya menoleh cepat ke arah Renata.

"Ren, udah biar aja," cegah Anya karena tidak mau memperpanjang masalah. Cukup sampai dirinya saja. Nanti malah membuat suasana kelas jadi kurang nyaman

"Nya, mereka udah keterlaluan. Katanya teman sekelas kelakuan kayak musuh bersama," ceplos Renata. Iya ger

egetan karena Anya terlalu baik.

"Dua nama itu?" ucap pak Oky sembari mengelus dagunya. Dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dia lakukan untuk menyelesaikan semua masalah.

"Tenang aja, saya tidak akan menghukum mereka. Paling hanya cubit sedikit, saya juga manusia meskipun seorang guru BK. Pokoknya Anya Jangan pernah khawatir kalau memang apa yang diberitakan tidak sesuai dengan kenyataan, kamu berjalan biasa saja seperti tidak ada apa-apa," nasihat pak Oky untuk meredakan gejolak hati Anya.

Tak bisa berbuat apa-apa lagi, Anya segera kembali ke kelas. Renata setia mendampinginya, dia memberikan kekuatan saat hati Anya rapuh.

Di dalam kelas, sementara pelajaran sedang berlangsung akan tetapi itu tak Webby menjadi halangan karena seisi kelas menatap curiga ke arah Anya. Selang beberapa waktu memang Bella dan Cesa dipanggil ke ruangan BK karena siswa yang piket memanggil keduanya untuk sekedar diberi beberapa pertanyaan dari pak Oky.

Masalah tidak bisa dibilang selesai, Anya hanya bisa menjalani semuanya meskipun dengan hati yang sesak. Biar cerita itu jadi bagian dari masa remajanya.

Sampai pada keesokan harinya, Anya berangkat ke sekolah bersama dengan papanya. Bobby tidak bisa dihubungi sejak kemarin. Hari itu terasa berat bagiannya karena sikap teman-teman sekelas masih dingin padanya. Penyelesaian masalah di ruang BK rupanya tidak benar-benar menyelesaikan semuanya. Bisa dibilang malah menimbulkan masalah baru. Untung saja masih ada Renata yang setia menemani. Setidaknya ada satu orang yang teguh pendirian karena tidak terpengaruh teman-teman sekelas yang memusuhi Anya tanpa alasan yang jelas.

Sepulang sekolah tanpa disangka, begitu Anya sampai depan gerbang ternyata sudah ada Bobby di depan. Motornya diparkir di seberang, dia hanya mengenakan jumper hijau dan celana jeans. Anya segera menghampirinya.

"Kak, aku hubungin kok nggak bisa?" tanya Anya.

"HP aku dirampas, sebagai hukuman karena kena skorsing dua hari," ucapnya santai, tanpa beban, padahal masalah skorsing adalah urusan yang berat.

"Karena masuk ke Sekolahku kan Kak?" tanya Anya sembari memanyunkan bibirnya. Terlihat rasa bersalah di wajahnya dan yang dia perhatikan adalah bekas merah di tulang pipi bagian atas.

"Kak, itu pipi kena pukul?"

"Digampar bokap, udah pernah sih dulu, sekarang terulang lagi ya sudahlah nasib, akunya juga yang salah karena nekat lompat tembok sekolah kamu. Lompat pagar sekolahku aja udah dilarang apalagi tembok sekolah orang," ucapnya dengan nada yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa padahal hanya sangat terlihat khawatir.

"Maaf, aku yang memulai semuanya. Kalau gitu Kakak nggak usah pura-pura lagi pacaran sama aku. Udah cukup kok, gosip itu udah dengan sendirinya tapi teman-teman masih rada canggung sama aku," ungkap Anya terus terang.

"Kalau udah nggak pura-pura berarti beneran?"

Belum jelas kalimat itu adalah permintaan penawaran atau pernyataan cinta. Di panas matahari yang terik itu, deretan siswa sepulang sekolah menjadi saksi bahwa kali ini memang sudah bukan waktunya berpura-pura lagi.

"Beneran?" tanya Anya.

"Iya, gimana kalau kita pacaran beneran aja? Siapa tahu kita nantinya bakal berjodoh meskipun masih sangat jauh bagi kita untuk ngomongin jodoh karena kita juga masih sekolah," ungkap Bobby yang terdengar jelas sekali bahwa kali ini adalah ungkapan cinta yang terdengar santai tapi mampu mengetuk pintu hati Anya.

"Boleh nggak ya, aku pacaran?" tanya Anya menimbulkan gelak tawa dari mulut Bobby. Anya masih polos bagai kapas putih. Bobby tidak ingin ada noda di sana.

"Nanti kita ngomong bareng-bareng aja, aku yang minta izin kalau kamu takut," ujar Bobby. Senyumnya merebak di bibir keduanya, tak disangka kalau ternyata hanya bersedia. Kali ini tidak ada lagi kebohongan. Anya dan Bobby menjalin cinta di masa remaja.

Namun semuanya bagai mimpi tatkala Anya membuka mata. Dia menoleh ke arah kanan atas tempat jam dinding digantung. Jarum jam menunjukkan pukul enam tepat padahal pukul dia harus berada di sekolah untuk mengajar di jam pertama.

Masa SMA hanya bisa terjadi lagi saat dirinya tertidur pulas. Entah sejak kapan, bisa jadi sejak ia mengalami sebuah kecelakaan hebat dan pada saat bagian belakang kepalanya terbentur aspal, adalah wajah Bobby yang terlihat di depan matanya.