webnovel

14 Daydreaming

Anya mengangguk patuh. Dia segera kembali tanpa mengetahui yang terjadi pada Bobby. Dia berjalan melewati ibu Farah, untuk kembali ke kelas. Gagal sudah rencana hari ini untuk bertemu Bobby lebih lama. Begitu hanya melangkahkan kaki di koridor, semua mata tertuju padanya tapi dia mencoba untuk menggubris karena yang dia kira semua hanya perasaannya saja. Sesampainya di kelas, kedatangannya disusul oleh Renata yang berjalan di belakangnya.

Dia sadar kalau ada bulat merah di belakang rok Anya. Ia segera berdiri di belakang Anya untuk menutupi noda darah di rok.

"Nya, bocor!" bisik Renata tepat di telinga Anya. Sontak Anya segera duduk di bangkunya. Tak disangka dia datang bulan berlebihan. Renata mengikuti kemudian merelakan cardigan kuning miliknya untuk dipakai menutupi bagian yang terkena noda.

"Ini pakai aja, balikin kalau udah dicuci," bisiknya bersamaan dengan dirinya yang duduk di sebelah Anya.

Pelajaran dimulai, Anya kembali memusatkan pikiran ke depan.

Namun Renata Tak bisa Tinggal diam, Dia segera mengirim sebaris chat pada Bobby untuk menjemput Renata pulang sekolah.

Bob. Lu jemput Anya di depan gerbang, ya?

OK.

Dengan sigap Bobby bersedia menjemput Anya di sekolah, dia bersiap lantaran ada alasan untuk menolak permintaan Nindya untuk pulang bersamanya. Terlebih hanya belakangan ini mengisi hari-harinya.

Wajah menggemaskan seperti karakter anime itu membuatnya sembuh dari patah hati.

Sadar patah hati tak dapat mengubah apapun, dia memilih untuk memulai hari baru.

Tepat pukul 14.45, SMK 21 pulang sedikit lebih awal dari SMA 127. Bobby segera ke parkiran untuk mengambil sepeda motor.

"Nyet! Tar dulu!" Rio mengejar dengan langkah gontai. Panas terik matahari membuat rasa gerah di sekujur tubuh. Belum lagi peluh yang keluar dari pori-pori.

"Yo, gue ada tugas negara. Jemput calon ibu negara," tukas Bobby dengan sedikit memiringkan badannya. Rio yang jomblo akut tidak punya gebetan tak merasa di posisi Bobby.

"Anak SMA sebelah?" tanya Rio sembari menjajari langkah Bobby.

"Iya."

"Ya ampun, Nindya ngejar lo terus, kurang apa lagi tuh cewek," bujuk Rio.

"Dia udah membuang gue, masa mau dipungut lagi?" Bobby melengos, dia membuang permen karet sepah dari mulutnya.

"Tuh, nasib gue kayak permen karet itu."

Rio melihat permen karet putih dengan pandangan risih.

"Bob, gue yang risih saban hari dideketin Nindya mulu."

"Salah dia sendiri," kata Bobby. Dari jauh, terlihat Nindya berjalan mendekat.

"Gue cabut!" seru Bobby seakan melihat penagih hutang pinjaman online. Dia segera pergi tanpa menunggu Rio membalas perkataannya.

"Bob!" panggil Nindya dengan harapan Bobby akan berbalik tapi dia hanya berjumpa dengan Rio.

"Nin, nggak baik memungut sampah Yang udah dibuang. Kotor," pesan Rio lalu berjalan melewati gadis itu.

Nindy termangu, dia merasa bersalah telah meninggalkan Bobby. Orang sebaik itu bahkan yang harus tidak ada kekurangannya kalau dilihat dari tampilan fisik. Namun semua sudah terjadi bahkan kalau dilihat dari sikapnya, Bobby tidak akan pernah kembali pada mantan kekasih.

Bobby sigap menjemput Anya di depan pagar SMA 127. Tak perlu menunggu lama, Renata mengarahkan Anya ke depan gerbang karena dirinya lah yang meminta Bobby untuk menjemput Anya.

"Itu, Bobby yang jemput lu."

"Hah? Bobby?" Anya terkejut lantaran dia tahu kalau Bobby naik kendaraan Ninja sementara dirinya sedang mengalami kejadian yang kurang mengenakan.

Untung saja Bobby naik sepeda motor matic entah kebetulan atau bukan, si ninja sedang di bengkel.

Mereka saling tersenyum karena salah tingkah. Renata sampai ikut malu melihat tingkah sahabat dan sepupunya itu.

Suasana ramai murid pulang sekolah sangat terasa dari kedua sekolah yang memiliki jam pulang selisih 15 menit itu. Terik matahari menyinari seluruh kota meski sudah jelang sore.

Dari SMK 21, Nindya melihat Bobby membonceng seorang cewek bersamanya. Harusnya Nindya yang duduk di sana. Namun semuanya terlambat. Benar kata Rio, Bobby sudah ia perlakukan sebagai sampah.

Bobby sudah menemukan tujuan baru dalam hidupnya dan tidak akan berbalik lagi pada Nindya.

"Bob!"

Entah dorongan apa yang membuat Nindya memanggil Bobby. Namun terlambat karena Bobby sudah jauh. Anya menoleh, dia yang sadar kalau Bobby dapat panggilan dari cewek di depan gerbang sekolahnya.

"Kak, ada yang manggil," ujar Anya dari jok belakang.

"Fans berat kali," kelakar Bobby. Dia tahu kalau Nindya masih saja mengejarnya.

Mereka terus berjalan menuju rumah Anya. Jarak dari rumah ke sekolah cukup dekat akan tetapi Bobby selalu mematuhi peraturan lalu lintas yaitu memakai helm saat berkendara. Sejak pacaran dengan Nindya, dia selalu membawa helm cadangan setiap harinya karena rumah Nindya berjarak cukup jauh dari sekolah.

Getar cinta mulai terasa antara Anya dan Bobby. Rasa terima Kasih Anya karena Bobby telah menghilangkan trauma masa kecil, mendorongnya untuk mengenal Bobby lebih jauh.

"Kata Renata, kamu bocor. Apanya?" tanya Bobby dengan polosnya.

"Ih, kamu cowok. Nggak bakal ngerti rasanya datang bulan," kata Anya. Tangannya menyentuh pinggang Bobby tapi ia tarik kembali karena sungkan.

Sadar akan hal itu, Bobby menarik tangan kanan Anya agar melingkar di pinggangnya. Perut Anya bergejolak, ada kupu-kupu di dalamnya. Dia mulai membuka diri pada Bobby. Rasa itu bercampur dengan sakit melilit dalam. perutnya karena menstruasi hari pertama.

Jarak dari rumah ke sekolah begitu dekat. Kebersamaan itu terasa kurang tapi mau bagaimana lagi karena Anya juga sedangkan kesakitan di perutnya. Dia turun dari motor tak lupa mengucapkan terimakasih pada Bobby.

"Makasih ya," kata Anya sambil menangis kesakitan. Tangannya memegangi perut.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bobby memastikan.

"Iya," Anya mengangguk padahal dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Ya udah, kamu istirahat aja."

"Iya, darah aku juga udah bikin jaket Renata kotor," ucap Anya. Bobby langsung pucat mendengar perkataan Anya.

"Loh? Berdarah? Mana yang luka?" tanyanya panik sampai turun dari sepeda motor. Bobby kurang familiar dengan datang bulan yang dipelajari di pelajaran biologi karena pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam hanya ada di kelas sepuluh setelah itu dia langsung praktek untuk latihan kerja. Pantas aja dia lupa dengan menstruasi yang dialami seorang wanita.

Anya terkekeh mendengarnya. Kepolosan Bobby adalah sesuatu yang menarik baginya.

"Nggak apa-apa, ini normal buat wanita. Kakak nggak perlu khawatir," kata Anya.

Bobby garuk-garuk kepala karena malu. Dia kelewat khawatir dengan Anya.

"Besok aku jemput?" tawar Bobby.

"Iya, nggak perlu order aplikasi?" canda Anya.

"Order offline aja bisa," tanggap Bobby.

Mereka berdua tertawa, indahnya hari ini karena mereka bisa bertemu dan saling dekat.

Namun sayangnya saat mata Anya terbuka kembali, semua kembali seperti semula. Air matanya menetes.