webnovel

ujung penantian

Meira yang saat itu sedang berkumpul dengan sahabatnya, tak mengira bahwa kecerobohan kecil yang dia lakukan, membuatnya harus menceritakan masa lalunya kepada dua sahabatnya. Siapa sangka, Meira sosok yang ceria di hadapan sahabatnya, menyimpan begitu banyak luka. Dia tak salah memiliki perasaan mencintai seseorang, hanya saja keadaan seperti mempermainkannya. Begitu banyak kenangan yang terukir indah membuat Meira susah untuk bangkit. Rasa bahagia dan kecewa yang terus menarik ulur hatinya. Menjadikannya tak percaya kembali pada sebuah rasa. Bagaimanakah nasib Meira selanjutnya? Sanggupkah Meira mengikhlaskan dia yang pernah menjadi cinta pertamanya. Apakah dia berhasil menemukan kebahagiaannya? Atau justru masih terjebak dengan masa lalunya?

littlefairy · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
12 Chs

Kakakku sayang ❤️

Gara-gara tadi aku ngerjain mereka, yang ada sekarang malah pada diem. Ck, dasar.

Bukan niat hati mau ngerjain sih, kirain mereka akan tau dengan sendirinya setelah mempraktekkan, nggak taunya masih aja nggak faham.

Kalo begini, itu salahku atau salah mereka? Atau, salah semua?.

"Jelasin yang tadi, atau aku nggak mau ngomong sama kamu," pinta Kia.

"Lah, kok itu ngomong Ki?" Aku menertawakannya.

Kia melotot, "Iya, iya aku kasih tau. Nggak usah melotot kek gitu, kalo bola mata kamu nanti copot gimana? Hiiiihhhh serem." ucapku mendramatisir.

Okey, sebenarnya Alan sendiri tidak bilang apa-apa padaku, dia juga cuma praktek doang. Waktu itu Alan hanya kembali memegang tanganku, lalu menautkan tangannya ke sela-sela jariku sambil ditunjukkan kearah ku, dah gitu doang, nggak lebih.

Itupun aku langsung tau apa maksud dari ucapan Alan, lah mereka berdua?

Emang dasarnya mereka aja yang pada kolot, gitu aja nggak tau, hih!. Sudah, mari kita lupakan.

🍂

Sore yang terlihat lebih gelap lebih awal, menjadikan suasana pas banget dibuat untuk rebahan, apalagi sedang mendung.

Aku sedang tiduran di kursi panjang ruang tengah sambil memainkan ponselku, menghilangkan rasa bosan karena nggak tau mau ngapain, "Dek, beliin mbak bakso dong." pinta mbakku.

Datang-datang main nyuruh orang, "Mager ah, beli sendiri aja ih." tolakku.

"Mbak lagi ada urusan bentar, cepetan ih beliin," mbakku masih aja kekeuh nyuruh, sekarang malah pake acara narik-narik tangan segala lagi.

"Mbak ih, aku lagi mager banget tau! Lagian mana ada bakso lewat sih--"

Ting..Ting..Ting...

Mbakku tersenyum miring, panjang umur banget itu bakso. Baru juga di omongin sudah nongol aja, Punya ikatan batin kali ya sama perut mbakku yang kelaparan. Hih! Jadi nggak bisa ngelak lagi kan.

"Mana duitnya? Sekalian aku juga ya, laper tauk," pintaku sambil cengengesan. Mbakku malah ngedumel. Lah? Salah sendiri minta beliin, itung-itung upah ini.

Aku berjalan keluar rumah kearah pagar gerbang, berdiri diluar nungguin abang baksonya lewat. Udah kayak anak ilang saja diriku ini, celingak-celinguk liatin kanan kiri, belum kelihatan juga ternyata.

Lama banget sih yang jualan, perasaan tadi udah kedengaran suara khasnya. Ala-ala mangkuk ditabuh yang akan mengeluarkan suara melengking. Nah, itu dia, akhirnya..

Tiing... Tiing.... Tiiing....

"Bang, bang, setoooop!!," Teriakku.

"E-eh, iya siaapp, Neng," kata si abang bakso, "beli berapa neng?" Sambungnya.

"Bakso tiga bungkus ya, bang. Yang satu nggak usah pake sambel sama bawang gorengnya dibanyakin" pesanku.

"Okey neng, ditunggu bentar ya," aku mengangguk.

5 menit kemudian...

"ini neng, pesanannya, yang nggak pake sambal tadi di sobek dikit ya plastiknya, biar nggak ketuker" aku menerima bungkusan bakso dan membayarnya.

"Makasih ya bang," aku berlalu dan masuk ke dalam rumah.

Emang paling pas pake buanget ini, suasana mendung makan yang anget-anget. Yaaa, meskipun pake acara cekcok dulu sih. Nggak apa-apa, yang penting sekarang waktunya ngisi perut dulu.

Entah ini hanya perasaanku atau apa, tapi aku bener-bener curiga dengan kelakuan mbakku, jadi jengah banget makan didepan mbakku sama suaminya. Bikin nggak enak pemandangan aja sih.

Aku tidak terlalu fokus menyimak apa yang sedang mbakku perbincangan kan dengan suaminya, karena aku bener-bener menikmati makanku, padahal tadi ogah-ogahan disuruh beli.

Lama-kelamaan kekepoan yang ada di dalam diriku muncul, aku melihat ke arah depanku, tepatnya kearah mbakku dan--

"Iya kan, kakakku sayang---"

Uhuk...uhuk...

Tiba-tiba aku tersedak kuah bakso gegara denger omongannya tadi, kok berasa kesindir ya.

Mbakku menyodorkan minum padaku, "Kenapa dek?, Makan tuh pelan-pelan." Aku tergesa-gesa meminumnya dan hanya mengangguk menanggapi celotehannya.

Kok, berasa nggak asing dengan panggilan tadi ya?

Karena baksoku habis lebih dulu jadi aku memutuskan pergi dari hadapan mbakku. Jengah banget lihatnya, bisa-bisa malah aku iri nanti. Nggak banget!.

Aku berjalan pelan, memikirkan kejadian barusan. Merasa curiga dengan mbakku, setauku dia tuh nggak pernah panggil suaminya kek gitu, aneh banget!. Bentar-bentar, panggilan itu kek sama dengan siapa ya, duhh, mana lupa lagi.

Aku hendak berjalan kearah kamar tapi kuurungkan karena baru ingat, kalo tadi aku meninggalkan ponselku di meja ruang tengah. Dengan sedikit tergesa-gesa aku berlari kecil ke arah ruang tengah.

Setelah mendapatkan ponselku, aku berjalan kembali kearah kamar sambil memainkan ponsel.

Wait, Ada Pesan ?

Kakakku sayang ❤️

Kok nggak di balas sih, Ra.

Jadi? Tadi ? Aarrrggghhh.....

"EMBAAAKKKKKK..!!!! Kenapa buka-buka ponselku..!!!" Teriakku.

Kudengar tawa mbakku yang begitu keras dari arah dapur.

🍂

"Hahahaha" Ira dan Kia kompak menertawai ku.

"Sukurin..!! salah sendiri naruh ponsel sembarangan. Kebiasaan banget kamu Ra," ucap Ira.

"Aku mana tau Ira, kan waktu itu mbakku minta beliin bakso, ya aku asal naruh aja ponselku. Aku juga nggak tau, kalo kak Alan bakalan ngirimin aku pesan," rungutku kesal.

"Terus? Nasibmu selanjutnya gimana ra?" Tanya Kia.

"Ya, gitu Ki. Mbakku akhirnya tau kalo aku punya pacar, dilaporin deh sama ibuku,"

"Dimarahin?" Sambung Ira.

Aku meringis, "Ya... Enggak sih, cuma dibilangin doang."

"Nggak dilaporin sama Abah kamu?"

Aku melotot, "Heh! Ngadi-ngadi kamu, kalo dilaporin sama Abah auto digantungin aku. Kalian kan tau sendiri gimana Abah aku,"

"Mantap dong Ra, nanti biar sekalian kamu di nikahin, hahaha"

Aku melempar bantal ke arah Ira, "Makan tuh nikah, masih masa pendidikan kok main nikah-nikah. Aku nggak segila itu ya,"

"Iya deh iya, takut tapi kok masih aja pacaran pake ngumpet-ngumpet. Ketahuan, baru tau rasa kamu" kata Kia.

Ku cubit lengan Kia, "Kamu do'ain aku gitu? Jahat banget sih"

Kia memukul tanganku, "Ih, ih Meira, sakit tau. Mana cubitan kamu kecil banget, jadi berasa kan sakitnya"

"Syukurin, wleeee" ejekku.

"Tapi Ra, setauku, ibu kamu kan juga galak tuh. Masa iya, kamu nggak dimarahin sih," tanya Ira.

"Hehe, ya kalo itu aku juga nggak tau Ir, ibuku cuma ngasih tau doang dan nggak ada marah-marahnya sama sekali. Mantap kan, hihihi, aku jadi aman deh" jawabku.

"Lali setelah kejadian barusan, apa yang berubah?" ucap Kia.

"Ya nggak ada sih, cuma---" kataku menggantung.

"Cuma apa Ra?" tanya Ira.

".....cuma---"

"Cuma apa ih," asyik, mereka udah masuk perangkap ku.

"Cuma ya, gitu---"

"Gitu gimana?" tanya Kia.

"Ya, gitu" jawabku.

"Sekali lagi ngomong cuma setengah-setengah aku timpuk nih pake double bantal" ancam Ira.

"Selow dong mbak'e" aku terkekeh.

"Jadi apa?" rungut Ira kesal.

"Jadi nggak bebas aja kalo main handphone" aku meringis kepada mereka.

"Allahuakbar!!!" Seru mereka berdua dengan kompak, sontak double bantel bener-bener melayang ke arahku.

"Dasar, Meira nyebelin. Pengen tak hih!!"

Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca cerita saya

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian

littlefairycreators' thoughts