webnovel

TWIN’S PET

The Twins’ Pet (HIATUS) G: Fantasi Dark Romance. Dilarang mengcopy paste tulisan ini dalam bentuk apa pun!!! Tindakan plagiatan akan saya proses secara hukum. SINOPSIS: ========== Vol 1. Crescent Moon Perasaan yang dalam. Ikatan yang kuat. Cinta yang manis. Pengorbanan yang tulus. Membuat ketiganya bisa mengatasi tiap rintangan dalam kehidupan yang tidak masuk diakal ini. Saat gairah cinta yang menggebu melilit penuh harmoni bersamaan dengan nafsu yang membuncah. Kekuatan itu hadir, memenuhi jiwa, memenuhi tiap-tiap pembuluh darah dengan ledakkan adrenalin. “My soul will rise in your embrance,” ucap Sadewa saat memandang iris mata Liffi dengan penuh hasrat. “Sadewa,” lirih Liffi. “For I’m yours, and you’re mine!!” bisik Nakula penuh gairah, desah napas terasa hangat pada daun telinga Liffi. “Nakula,” desah Liffi. Black and White. Fresia and Hibicus Musk and Vanilla Fresh and Sweet “Mana yang kau pilih, Liffi?” Ikatan cinta yang kuat membuat Liffi enggan untuk memilih salah satu di antara keduanya. Lantas siapakah yang Liffi pilih? Nakula yang garang, liar, dan penuh kekuatan? Atau ... Sadewa yang pintar, dingin, dan penuh wibawa? Hanya sebuah kisah cinta biasa, namun bisa membuatmu merasa luar biasa.—BELLEAME. This cover novel is not mine. If the artist want to remove it, please DM, I’ll remove it. Terima kasih. Selamat membaca, Belle Ame.

BELLEAME · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
389 Chs

I STILL LOVE YOU

Hujan turun dengan deras, menguarkan hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Liffi menggigil saat memasukki pintu apartemen Gilang karena pakaiannya basah. Tak ada yang istimewa dari apartemen studio itu, luasnya dua kali studio apartemen LIffi. Tak banyak perabotan, hanya sofa panjang plus meja bulat kaca, pantry lengkap, dan sebuah ranjang. Ruangan itu bersih dan juga rapi.

"Masuklah, maaf agak berantakan." Gilang mempersilahkan Liffi masuk ke dalam. Liffi mengangguk, melepaskan sepatu dan masuk.

"Kau pasti kedinginan. Aku akan meminjamkan bajuku, kau bisa membersihkan diri sementara aku mencuci dan mengeringkan pakaianmu." Gilang mengaduk isi lemarinya, mengambil jumper hangat dan handuk kering.

"Terima kasih, Kak." Liffi menerima handuk dan pakaian bersih itu. Gilang tersenyum, tangannya memberi kode di mana letak kamar mandi. Liffi melangkah cepat ke arah kamar mandi karena tak ingin mengotori rumah Gilang dengan tetesan air yang berasal dari tubuhnya.

Gilang terus tersenyum sampai Liffi menghilang di balik pintu kamar mandi. Dengan tergopoh Gilang membersihkan kamar, merapikan majalah-majalan dan pakian kotor yang berserakan di atas ranjang. Walaupun sudah rapi tetap saja ia tak ingin rumahnya terlihat kacau di depan wanita yang ia cintai.

Tak lama Liffi keluar, memakai baju milik Gilang yang menenggelamkan tubuh mungilnya. Liffi sedikit kesal tiap kali lengan dan kerahnya melotot turun, membuat bahunya terlihat. Wajah Gilang menghangat, Liffi terlihat menggemaskan dan sangat manis.

"Duduklah, Liffi. Aku buatkan minuman hangat." Gilang menghidupkan pemanas ruangan dan juga televisi. Liffi duduk di atas sofa, ia memeluk lutut sambil menonton kartun di televisi. Entah kenapa kartun yang biasanya lucu terlihat membosankan saat ini.

"Ini, coklat panas." Gilang menyodorkan secangkir coklat yang masih mengepul. Baunya enak, ada marshmellow di atas permukaan coklat yang berputar.

"Thanks." Liffi menenggaknya.

"Aku tahu tak sepantasnya lagi aku ikut campur dengan masalahmu, Liffi. Tapi sungguh aku penasaran, kenapa kau menangis?" tanya Gilang.

"Tidak kok, aku tidak menangis." sergah Liffi, gadis itu menggigit lagi bibirnya menahan kesesakkan.

"Apa ini ada hubungannya dengan artis itu?" Gilang memikirkan Jane, Liffi menangis dan orang terakhir yang terlihat bersamanya adalah Jane.

"Tidak juga." Liffi menenggak lagi coklatnya.

"Aku sangat ingin membantumu, Liffi. Kalau kau tidak terbuka aku tak bisa membantumu."

"Aku tidak ingin bicara saat ini, Kak Gilang Kumohon mengertilah." Liffi kembali berkaca-kaca, sulit baginya untuk mengungkapkan hal itu, mengingatnya saja sudah membuat perut Liffi berdesir mual, apa lagi bila harus menceritakan ulang kejadian itu.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu." Gilang menghela napas panjang.

"Maaf, Kak."

"Kau pucat sekali, sebaiknya kau menghangatkan diri dan beristirahat. Saat kau sudah lebih baik aku akan mengantarmu pulang." Gilang mengusik kepala Liffi.

"Maafkan aku, dan terima kasih?" lirih Liffi.

oooooOooooo

Matahari telah tumbang, giliran sang bulan yang merajai angkasa raya. Langit telah gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala, berkelap kelip bila dilihat dari jendela apartemen. Gilang menikmati secangkir coklat panas sambil  memandang hujan yang masih turun dengan lembut. Liffi tertidur di atas sofa, mungkin rasa lelah karena kekurangan darah dan pengaruh obat tidur —yang masih tertinggal— membuatnya mengantuk.

Gilang menengok ke arah gadis itu. Ia lantas beranjak untuk mendekati Liffi.

"Kau masih sama cantiknya seperti dulu, bahkan jauh lebih cantik." Gilang mengelus pucuk kepala Liffi, dengan berbinar pria itu mengamati tiap detai wajah mantan pacarnya. Wajah yang sangat ia rindukan. Gilang mengecup perlahan pipi mulus Liffi sebelum membetulkan selimut.

"Ah, kenapa dulu kita berpisah?' Gilang duduk di lantai sambil mengaggumi wajah cantik Liffi yang tengah tertidur pulas.

Pria itu melipat tangan di atas sofa untuk menyangga kepala, sedangkan tangan yang lain mengelus rambut Liffi dengan lebut. sorot matanya benar-benar menunjukkan rasa cintanya yang tulus kepada Liffi. "Apa kau tahu kalau aku masih sangat mencintaimu, Liffi? Aku berharap kau pun begitu."

"Naku, kau jahat!!" sahut Liffi menggigau dalam tirdur, butiran air mata meleleh turun dari sudut mata.

"Yah. Sepertinya kau sudah tidak memilikkinya, rasa cintamu sepenuhnya telah hilang." Senyum Gilang sumbang, ia menyeka air mata Liffi dan ikut memejamkan mata. Tak lama Gilang pun tertidur.

oooooOooooo

Esok paginya Liffi terbangun. Ia sudah berpindah ke ranjang empuk yang lebih nyaman. Sinar matahari juga menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela. Mulai menghangatkan ruangan, bersaing dengan penghangat otomatis.

Pukul 10 pagi? Liffi langsung tersentak saat melihat jam dinding.

"Auh, kepalaku pusing sekali." Liffi memijit pelipisnya yang berdenyut-denyut. Kepalanya terasa berputar dan sangat berat. Apa efek terlalu banyak menangis? Atau efek dari tindakkan Jane?

"Di mana aku?" Liffi menyapu sekeliling dengan ekor matanya.

"Ah benar, aku di rumah Kak Gilang. Ya, ampun Liffi, kenapa akhir—akhir ini kau sering sekali terbangun di rumah-rumah orang lain, sih? Dasar bodoh!! Bodoh!!" Liffi mengerutuki dirinya sendiri, pertama Grey, lalu Jane, sekarang Gilang.

Liffi menangkup wajahnya malu. Ia tak habis pikir dengan kelakuannya yang kelewat sembrono.

"Kak Gilang? Apa kau di rumah?" teriak Liffi, ia bergegas menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Liffi memanggil nama Gilang beberapa kali, namun tetap Tak ada jawaban

"Kak Gilang apa kau di rumah?" teriakan Liffi terhenti begitu melihat Sticky notes tertempel pada pintu lemari es.

___________

Aku pergi berbelanja sebentar, pakaianmu sudah bersih ada di atas meja.

Kau bisa berganti pakaianmu kembali sembari menungguku pulang.

__________

Begitu membaca memo dari Gilang, sudut mata Liffi spontan bergerak menuju ke atas meja, tumpukan pakaian bersih terlipat rapi dan wangi.

Ah, ya ampun, ia bahkan sampai mencuci pakaian dalamku, masa Kak Gilang melihat semuanya? Haduh, bodohnya aku. Aku terlalu bersedih sampai merepotkan dan membuat malu diriku sendiri. batin Liffi berkecambuk, antara malu, sungkan, dan menyalahkan diri.

Liffi mengusap wajahnya dengan kasar lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Begitu pintu kamar mandi tertutup tiba-tiba rasa mual kembali menghampiri Liffi. "Hoek ...! Hoek...!" Gadis itu muntah dengan hebat. Ia merosot ke bawah karena lemas.

Ada apa denganku? Kenapa akhi-akhir ini aku mudah sekali pusing dan mual? Apa karena aku sering terlambat makan? Liffi teringat tak hanya makan siang, ia juga melewatkan makan malamnya semalam.

Aku lapar, apa ada makanan? Tapi ini bukan rumahku. batin Liffi sambil mengelus perutnya. Ia celingukan ke seluruh ruangan.

"Aku harus pulang. Aku tak seharusnya merepotkan Kak Gilang." Liffi menyahut coat dan tas. Ia melihat ponselnya sekilas, benda tipis itu mati, entah karena batrenya habis atau karena terendam air hujan kemarin. Jadi ia tak bisa mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada Gilang.

"Ah, menyebalkan."

Liffi membeli sebuah sendwich tuna dan secangkir teh panas dari mini market di dekat halte bus. Ia menghabiskannya dengan lahap sembari menunggu kedatangan bus ke arah apartemennya.

Ah, ini enak sekali. Liffi cukup puas dengan rasa sarapannya. Ia lantas menghangatkan diri dengan teh panas dari cup kertas. Memutar-mutar cup pada telapak tangan.

"Liffi!!" Tiba-tiba sebuah suara memanggilnya. Liffi menoleh ingin tahu.

"Kau sudah mau pulang? Aku berbelanja banyak. Aku hendak membuatkan sarapan untukmu." Pemilik suara itu ternyata adalah Gilang, ia menenteng belajaan yang terbungkus kertas coklat daur ulang.

"Tidak, Kak. Aku sudah membeli roti untuk sarapan. lagi pula aku harus pulang karena masih ada tugas yang menumpuk sebelum liburan musim dingin." Liffi berbohong.

"Kau serius? kalau begitu tunggu di sini, aku akan mengambil mobil dan mengantarkanmu pulang." Gilang tak menyerah.

"Sungguh tidak perlu, Kak. aku bisa pulang sendiri." Liffi nekat menolaknya.

"Tapi wajahmu sangat pucat. Kau pasti sakit." Gilang tak tega dengan kondisi mengenaskan Liffi.

"Tidak, Kak. Aku hanya lapar."

"Setidaknya hubungi pacarmu itu! Bukankah dia seorang pria yang kaya raya, suru dia menjemputmu! Suru dia lebih memperhatikanmu, Liffi!!"

"Dia," lirih Liffi, Liffi tak bisa menjawab. Selain karena Liffi masih membenci sosok Nakula yang mengkhianatiya, Liffi juga tak bisa menyangkal bahwa Sadewa sangat sibuk karena penyerangan para serigala buatan yang semakin menjadi-jadi. Sadewa harus mengatur strategi untuk mengamankan seluruh wilayah pack dan itu tidaklah mudah.

"Ah, bus ku datang. Terima kasih atas tumpangannya, Kak. Sampai jumpa lagi." Liffi membungkuk sedikit sebelum berlari naik ke atas bus.

"Liffi!!" panggil Gilang, namun Liffi pura-pura tak mendengar dan duduk dengan tenang.

Bis berlalu, Gilang hanya bisa mendengus kesal. Sudah dua kali ia melepaskan Liffi begitu saja. Dalam hati Gilang bertekat, tidak akan ada yang ketiga.

"Maaf Kak Gilang, aku tak ingin memberimu harapan palsu." Liffi menengok ke belakang, menatap tubuh tegap Gilang yang masih berdiri terpaku, ia sedang menunggu juga bis menghilang dari pandangan.

"Sialan! Werewolf sialan, aku tak akan membiarkan mereka lebih lama lagi bersama Liffi. Aku yakin Liffi terlalu banyak membagi jiwanya sampai selelah itu." Gilang mengepalkan tangan. Teringat wajah pucat Liffi yang terlihat menyedihkan di matanya

ooooOoooo

Hallo Gaes, Giveaway hadir hlo!! Berhadiah novel author dengan judul Goresan Warna Pelangi.

Caranya gampang banget.

Kalian cukup REVIEW bintang Lima di novel TWINS PET.

Akan ada 2 novel Untuk dua reviewer terpilih. Event berlaku sampai akhir Maret 2021

Ditunggu ya Gaes!!!

Lap yu 💋💋💋💋