webnovel

TWIN’S PET

The Twins’ Pet (HIATUS) G: Fantasi Dark Romance. Dilarang mengcopy paste tulisan ini dalam bentuk apa pun!!! Tindakan plagiatan akan saya proses secara hukum. SINOPSIS: ========== Vol 1. Crescent Moon Perasaan yang dalam. Ikatan yang kuat. Cinta yang manis. Pengorbanan yang tulus. Membuat ketiganya bisa mengatasi tiap rintangan dalam kehidupan yang tidak masuk diakal ini. Saat gairah cinta yang menggebu melilit penuh harmoni bersamaan dengan nafsu yang membuncah. Kekuatan itu hadir, memenuhi jiwa, memenuhi tiap-tiap pembuluh darah dengan ledakkan adrenalin. “My soul will rise in your embrance,” ucap Sadewa saat memandang iris mata Liffi dengan penuh hasrat. “Sadewa,” lirih Liffi. “For I’m yours, and you’re mine!!” bisik Nakula penuh gairah, desah napas terasa hangat pada daun telinga Liffi. “Nakula,” desah Liffi. Black and White. Fresia and Hibicus Musk and Vanilla Fresh and Sweet “Mana yang kau pilih, Liffi?” Ikatan cinta yang kuat membuat Liffi enggan untuk memilih salah satu di antara keduanya. Lantas siapakah yang Liffi pilih? Nakula yang garang, liar, dan penuh kekuatan? Atau ... Sadewa yang pintar, dingin, dan penuh wibawa? Hanya sebuah kisah cinta biasa, namun bisa membuatmu merasa luar biasa.—BELLEAME. This cover novel is not mine. If the artist want to remove it, please DM, I’ll remove it. Terima kasih. Selamat membaca, Belle Ame.

BELLEAME · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
389 Chs

BETRAYAL

Fresia ... aroma bunga yang manis, bercampur dengan aroma sandalwood yang begitu sensual. Nakula menutup matanya untuk menghirup aroma itu dalam-dalam. Aroma yang membuatnya mabuk, aroma yang membuatnya kehilangan pengendalian diri lalu terjatuh ke dalam jeratan nafsunya.

Saat Nakula begitu merindukan kehadiran Liffi, jutru Jane yang datang dan menawarkan kenyamanan. Menawarkan aroma yang sangat sulit untuk Nakula tolak.

"Black, aku merindukanmu, puaskan aku, Black, kita bisa berbagi kekuatan bersama," bisik Jane dengan manja. Black mencium tengkuk Jane, menghisap dalam-dalam pheromon manis itu. Memastikan kembali bau mate yang berasal dari Jane.

"Jane, benarkah kau mateku?" Nakula terlihat bingung, "Bagaimana bisa baumu begitu ... begitu menggairahkan?" Nakula mencoba menarik diri, tapi aroma itu terus menggodanya.

"Mungkin benar akulah matemu, Black."

"Sungguh?"

"Jangan banyak bicara, puaskan saja aku!! Dan nilai sendiri apakah aku matemu atau bukan!!" Jane mencium bibir Nakula, melumatnya dengan rakus. Nakula terdiam sesaat sebelum membalas ciuman panas Jane. Aroma Jane berhasil membawa Black masuk ke dalam hasratnya untuk bercinta.

"Sentuh aku, Black, aku tahu kau juga menginginkannya." Jane membawa tangan Nakula ke depan dadanya.

Nakula kehilangan pengendalian dirinya, ia memeluk dan mendaratkan sebuah ciuman pada bibir merah Jane. Tanpa jeda, Nakula melumatnya dengan cepat dan tak beraturan. Nakula merasakan aroma bunga fresia yang tajam semakin menggelitik nalurinya. Nakula menghujani Jane dengan ciuman pada sekujur tubuh wanita itu, memberikan kenikmatan yang selalu ia inginkan.

"Argh, Black!" Jane mengerang karena rangsangan yang diberikan Nakula pada tubuhnya.

"Mate?" lirih, Nakula seakan bertanya.

"Benar di situ, Black. Jangan berhenti!" Jane melengguh saat Black mulai menyesap lehernya, lalu turun sampai di depan dada sembari memainkan tangannya ke sekujur tubuh Jane.

"Argh!!! Teruskan Black! Faster!!" Jane merancau. Black mulai menghujamnya dengan kasar.

Di sisi lain apartemen. Liffi berjalan gontai menembus hujan gerimis menuju ke penthouse milik kekasihnya.

Walaupun masih lemas dan belum sadar seratus persen, Liffi tetap meneruskan langkah kakinya dan sampai di depan pintu kamar Nakula.

"11102000," lirih Liffi berusaha mengingat-ingat passcode pintu penthouse milik Nakula, kode itu adalah tanggal lahirnya sendiri,

Klek, pintu terbuka.

"Naku, apa kau di dalam?"

Liffi masuk kedalam begitu kunci terbuka, alangkah terkejutnya Liffi saat melihat Nakula sedang bercumbu mesra dengan Jane di atas sofa. Sangking intimnya mereka bahkan tak menyadari kehadiran Liffi kala itu.

Liffi tercekat, tak ada sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulutnya. Bahkan udara pun seakan tak mau masuk ke dalam rongga hidung. Bahu Liffi naik turun menahan rasa sesak, kesesakan yang menghantam dada itu kian menyiksa.

Mata Liffi membelalak begitu lebar, masih mencoba memahami dan meyakini bahwa apa yang tengah ia lihat hanyalah halusinasi semata. Halusinasi akibat rasa pusing.

"Harder, Black!!" Lengguhan dan jerit kenikmatan yang keluar dari bibir Jane membuat Liffi tersadar bahwa itu bukanlah sekedar halusinasi. Gambaran pengkhianatan yang terlihat jelas di hadapannya saat ini adalah sebuah kenyataan.

Kenyataan yang menyakitkan.

Kenyataan yang menyiksa batin dan jiwanya.

Kenyataan terpahit dalam perjalanan kasihnya.

Mata Liffi berkaca-kaca, ia membekap mulutnya dengan kedua tangan agar tidak mengeluarkan suara tangisan. Air mata meleleh turun dari kedua bola mata bulatnya. Liffi langsung melingsut dan pergi meninggalkan keduanya bercumbu.

Hati Liffi bergemuruh dengan cepat, semakin tak beraturan, semakin sesak dan menyakitkan. Bahkan jauh lebih sakit saat putus dengan Gilang kala itu.

"Nakula dan Jane? Hiks ... harusnya aku tahu." Liffi bergumam, setengah menyalahkan diri sendiri karena kebodohannya. Jane dan Nakula selalu bersama, bahkan di foto-foto mereka pun Jane selalu berada di dekat Nakula. Liffi juga teringat dengan ucapan Jane, 'kami lebih dekat dari yang kau tahu!' Kini dia mengerti apa maksud Jane.

Liffi terseok-seok sempoyongan bak orang mabuk, ia terjatuh beberapa kali karena kakinya sangat lemas dan tubuhnya bergetar hebat. Air mata yang membanjiri pelupuknya membuat pandangan semakin kabur saja. Lift yang dekat jadi terrasa bermil-mil jauhnya.

Gadis itu menangis di dalam lift. Memencet tombol turun beberapa kali dengan kasar. Ia sungguh ingin segera pergi dari sana. Sungguh ingin berlari dari kenyataan itu.

Setibanya di bawah, Liffi langsung berlari ke luar dari gedung. Beberapa orang mengumpat dan ada juga yang menatap sebal pada Liffi karena gadis itu menabrak mereka saat berlari pergi.

JRESSSS!!!

Suara hujan bising terdengar, pertengahan musim gugur, yang artinya curah hujan akan bertambah besar.

Hujan musim gugur, sedang turun dengan deras. Liffi bersyukur karena ia tak perlu menyembunyikan air mataya. Gadis itu bisa menangis sepuasnya di tengah hujan.

Kenapa? Kenapa Nakula mengkhianatiku?

Kenapa? Dia bilang kami mate, mate tak terpisahkan?

Dada Liffi bergemuruh, rasanya sakit dan sesak. Bergetar sampai ke ujung-ujung syaraf terkecil. Bahkan perutnya merasa begitu mual karena sensasi ini.

Apa benar, Nakula dan Liffi bukanlah mate?

Tapi kenapa rasanya sesak sekali. Hatinya tak bisa menerima semua kenyataan pahit itu saat ini.

"Padahal aku bahkan menomor duakan Sadewa demi dirinya." Liffi menyesali keputusannya. "Kenapa dia jahat sekali?"

Langkah kaki semakin terasa berat. Air hujan membuat pakaian Liffi basah kuyup. Tubuh mungilnya menggigil kedinginan. Coat basah tak lagi bisa melindungi Liffi dari terpaan angin dingin.

"Kau bisa masuk angin, Liffi. Kenapa hujan-hujan di udara sedingin ini?" Seorag pria tiba-tiba berdiri di depan Liffi, meneduhkan Liffi dengan payung berwarna hitam. Payung itu tergenggam erat, seakan ia pun sedang menahan amarah yang bergemuruh di dalam hatinya.

"Gilang," lirih Liffi tak percaya saat mengangkat wajahnya. Pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan kenangan manis itu tengah berdiri di hadapannya.

Gilang hanya tersenyum sambil mengelus pipi mulus Liffi, menghapus air matanya. Gilang tak banyak berkata-kata, ia bahkan tak bertanya apapun. Pria itu memilih unttuk menjaga perasaan Liffi.

"Aku antar pulang. Kalau begini kau bisa jatuh sakit." Gilang melepaskan coat miliknya dan menyelimutkannya pada tubuh Liffi. Gilang dengan perlahan menggiring Liffi masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.

Gilang memang mengikuti Liffi saat pergi bersama Jane tadi. Ia terus menunggu Liffi keluar dari apartemen Jane. Tak pernah ia sangka bahwa Liffi akan mengunjungi apartemen yang lain dan keluar dengan berlinang air mata. Gilang bergegas untuk mengejar Liffi di tengah hujan deras itu. Liffi masih terus menangis di sisa perjalanan mereka.

"Di mana apartemenmu, Liffi?" tanya Gilang.

Liffi bergeleng. Enggan pulang ke rumah, ia tak ingin menemui Sadewa juga. Wajah mereka yang mirip hanya akan mengingatkan Liffi pada pengkianatan Nakula.

"Kau mau ke apartemenku?" tanya Gilang lagi, Liffi mengangguk. Senyuman tersungging manis pada wajah Gilang. Mungkin kali ini adalah harapannya untuk bisa mendapatkan hati gadis ini kembali.

oooooOooooo

Kalau author bikin giveaway berhadiah novel othor yang judulnya goresan warna pelangi kalian mau ikutan nggak?