Kembali ke Apartemen yang disewanya, Nana mengganti hak tingginya dengan sandal rumah.
Apartemen itu sontak bertentangan dengan image wanita karir yang dewasa dan matang dengan dinding bercat merah muda, serta berbagai furnitur berwarna serupa menambah kesan 'imut' dan 'kekanakan' yang jelas bertentangan dengan wanita karir yang kuno dan membosankan ditempat kerja. Melempar tasnya ke atas sofa berwarna putih, Nana berjalan menuju dapur kecil di Apartemen itu, lalu membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air putih dari sana.
Suara tegukan terdengar nyaring di ruangan itu beriring suara detak jam yang bergema. Setelah menuntaskan rasa hausnya, Nana berjalan memasuki kamar tidur utama yang tidak jauh dari sana. Kamar Nana lagi-lagi memiliki nuansa feminim yang kental. Masih dengan dinding merah muda, ranjang Nana berwarna serupa dengan berbagai boneka terletak di atasnya. Besar dan kecil. Itu membuat orang tidak bisa tidak mengingat kamar putri kecil yang terkenal.
Setelah itu, dia membuka lemari pakaian dan meraih set piyama dari sana lalu memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Itu tentunya tidak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dibiarkan tergerai di bahunya, menambah kesan imut dan kekanakan di wajahnya yang biasa dia sembunyikan dalam penampilannya yang 'dewasa'.
Nana menghela napas saat dia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Sudut mulutnya melengkung membentuk senyum masam saat cahaya kepahitan bersinar redup di matanya.
Di dunia ini, wanita mana yang tidak ingin menjadi manja? Wanita mana yang tidak memiliki mimpi 'putri' dihidupnya? Nana menggeleng, mungkin, itu bukan karena mereka tidak memilikinya, tapi, itu karena mereka memiliki kesadaran bahwa mereka tidak dalam kondisi untuk melakukannya!
Nana mengangkat tangan untuk menyapu kontur wajahnya, di sana, dia melihat seorang wanita dengan pipi tembam dan wajah bulat. Dagunya tidak runcing dan tajam, melainkan seakan terbelah menjadi dua bagian. Secara keseluruhan, Nana tidak menemukan jejak kecantikan yang menjadi 'standar' di era ini, melaikan hanya keimutan dan aura muda yang kental.
Bibir Nana lagi-lagi membentuk lengkungan, seakan dia hendak tersenyum— senyuman manis yang dulu sering diperdengarkan di telinganya, tapi, dimana senyum manis itu? Kenapa yang dia lihat hanya senyum canggung dan terpaksa yang bahkan tidak mencapai bagian bawah matanya?
Menghela napas panjang, wanita itu pada akhirnya mengembalikan lengkungan di bibirnya menghilang sepenuhnya menjadi raut datar yang biasa.
Seperti ini lebih baik,
Dia mendesah di dalam hatinya.
Mungkin sejak saat itu, dia berubah sepenuhnya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Nasi sudah menjadi bubur, jadi, bagaimana jika dia ingin kembali seperti semula? Mengubah bubur kembali menjadi nasi adalah kemustahilan nyata!
Nana mendesah pasrah, melirik ponsel di atas meja rias yang bergetar dengan lampu berkedip, layarnya menampilkan satu nama yang memiliki kesan kaku dan formal,
"Pak Bos, "
Menarik napas dalam, Nana meraih ponselnya lalu mengetuk tombol hijau di layar ;menempelkan ponsel di telinganya saat dia membuka, "Assalamu'alaikum, Pak. Ada yang bisa saya bantu? " Salamnya pada Bosnya yang kebetulan beragama Islam itu.
Melalui ponsel, Nana bisa mendengar lelaki yang dia sapa 'Bos' menghela napas, "Wa'alaikum salam, Na. Memangnya aku gak boleh telepon kamu kalau gak ada apa-apa?" Suara lelaki itu terdengar tenang seperti biasa.
Kening Nana mengernyit saat dia mendengar jawaban Bosnya.
"Na,"
Lelaki itu memanggil saat dia tidak menerima tanggapan.
"Ya, Pak."
"Berhenti menghindariku, " Suara lelaki itu sarat akan permohonan. Itu membuat Nana tidak bisa tidak mendesah secara internal,
"Pak, tolong mengingat status anda." Dia menjawab tegas tanpa kehilangan kesopanan.
"Na—"
"Maaf,Pak. Tapi jika tidak ada yang penting, saya akan menutup panggilan lebih dulu."
"Na—"
Penjelasan itu diakhiri secara paksa oleh Nana yang mengakhiri panggilan telepon.
Meletakkan ponsel di atas meja rias, Nana duduk di depan cermin rias, melihat ke dalam cermin dengan tatapan menerawang, ekspresinya yang datar membuat seseorang tidak bisa mengerti apa arti sekelumit cahaya rumit yang melintasi pupil coklat madunya.
"Muhammad Ridho, kamu bodoh. Sangat bodoh," Nana menggumamkan nama 'Bos' nya, kelopak matanya terkulai membuat seseorang tidak bisa melihat pikirannya.
Setelah membersihkan diri, seperti biasa Nana menyalakan TV, memutar pada suatu chanel tertentu dan meninggalkannya untuk bermain HP. Bagi sebagian orang, itu akan dianggap 'pemborosan listrik', tapi bagi Nana, itu bukan masalah selama ada sekelebat suara untuk mengisi ruangan kosong yang hanya terdapat dirinya di dalamnya.
Hah,
Nana lagi-lagi mendesah saat kebosanan melanda dirinya. Saat ini, dia berbaring tengkurap diatas ranjang dengan ponsel di tangannya menunjukkan laman berlatar belakang putih dan serentetan huruf tersusun.
Itu adalah aplikasi membaca dan menulis novel secara online yang telah mengisi hari-hari sepinya dalam beberapa tahun terakhir. Aplikasi dimana dia dapat mencurahkan isi hatinya melalui setiap kata, kalimat, dan paragraf yang tersusun membentuk plot cerita.
Dan dia harus mengakui, dengan sifatnya yang introvert, cenderung tertutup dan muram, Nana tidak memiliki kepercayaan untuk mencurahkan isi hatinya pada siapapun, bahkan, jika itu sahabat baiknya, Fina.
Ya. Dia penakut, dia pengecut. Dia enggan mengungkapkan isi hatinya pada orang lain dan ditertawakan karenanya. Dia enggan menceritakan permasalahan yang ia hadapi karena dia takut, dia takut seseorang akan memanfaatkan dan menggunakannya sebagai bahan obrolan. Karenanya dia lebih senang mencurahkan segala isi hatinya dalam bentuk coretan di atas kertas, maupun ketikan di atas layar. Baginya, itu lebih dapat dipercaya daripada hati orang yang berubah secepat awan.
Merasa bosan setengah mati, Nana duduk di tempat tidur dan meraih akuarium kecil dimana terdapat hewan kecil dengan tempurung yang menjadi icon animasi "Ninja Turtles" yang dulu tayang di TV itu.
"Hei, Greezy! " Dia membelai kepala kura-kura di tangannya dengan jari telunjuk. Greezy, dia memberi nama kura-kura di tangannya demikian karena warnanya yang hijau dan sifatnya yang pemalas.
"Pemalas!" Nana menegur dengan senyum, menepuk pelan kepala kura-kura itu yang membuatnya bersembunyi di dalam cangkang. Ya, jika dia mengingat dengan benar.... Bukankah kura-kura ini mirip dengannya? Sangat penakut sampai lebih memilih untuk bersembunyi daripada menghadapi permasalahan maupun kenyataan yang ada.
"Hei, si bodoh kecil! Apa kamu lapar?" Dia membelai cangkang kura-kura di telapak tangannya sebelum meraih daun sawi di dalam aquarium dan meletakkannya di depan kura-kura yang bersembunyi, menggodanya untuk keluar dari cangkangnya.
Nihil.
Nana tidak tahu apakah itu karena Greezy yang bodoh itu tidak lapar atau ketakutan, sebrapa lamapun dia menggoda kura-kura itu masih tidak menanggapi.
"Huh, tidak mau makan? Lalu itu bukan salahku kalau kamu kelaparan!" Bibir Nana berkerut saat wanita itu mengembalikan Greezy ke dalam aquarium dan tidak lupa meletakkan daun sawi di dalamnya. Siapa tahu jika kura-kura bodoh itu lapar di tengah malam, bukan?
Setelah itu Nana dengan ringan berbaring di atas ranjangnya sendiri dan mematikan lampu ruangan, menyisakan lampu belayar yang bersinar redup dalam kegelapan.