Mendung gelap bergelut dengan sandyakala
melepaskan bayang-bayang hitam
seolah raksasa yang hendak bertiwikrama
menelan habis segala bentuk kecemasan
yang berasal dari malam
maupun jiwa-jiwa yang hendak tenggelam
karena gelombang dan badai masa silam
Sambil memberikan senyumnya yang paling sabar, Dewi Mulia Ratri menjawab pertanyaan Arawinda.
"Iya Arawinda. Aku menyetujuinya karena itulah yang terbaik bagi mereka. Mereka sudah dewasa dan tahu bagaimana menentukan sikap serta membuat keputusan." Jawaban pendek namun jelas memperlihatkan bagaimana pendapat orang tua Ratri Geni.
Sorot mata Arawinda semakin mendung. Pendekar wanita itu melambaikan tangan menyerah. Tubuhnya berkelebat pergi setelah berpamitan dengan suara lirih kepada Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri.
"Anakku ayo kita pergi."
Ario Langit memberi hormat kepada sepasang pendekar itu dan melemparkan senyum terimakasih kepada Ratri Geni. Sang Pendekar Langit memegang lengan Galuh Lalita. Keduanya melesat cepat menyusul Arawinda yang menunggu mereka di kaki gunung.
Arya Dahana tertawa lirih. Merasa lega urusan akhirnya selesai juga. Tadinya dia khawatir sekali dengan tanggapan Arawinda. Tapi ternyata pendekar wanita itu bisa menerima keadaan meski pergi dalam keadaan masgul dan uring-uringan. Kekuatan cinta ibu terhadap anaknya lah yang membuat pendekar wanita itu tidak mencak-mencak marah meski pertunangan itu pada akhirnya gagal.
"Ratri, anakku. Apa rencanamu sekarang, Nak?" Dewi Mulia Ratri mengelus rambut putrinya dengan sayang. Putrinya ini sudah dewasa sekarang. Kepandaiannya makin tinggi namun tingkahnya tetap tengil dan usil. Dewi Mulia Ratri bisa menduga bahwa putrinya ini sedang menumbuhkan benih-benih cinta di matanya. Entah kepada pemuda yang mana? Dewi Mulia Ratri jadi penasaran tapi menyimpannya dalam hati. Biarlah itu menjadi urusan Ratri Geni. Sebagai orangtua, dia dan Arya Dahana hanya memastikan Ratri Geni baik-baik saja.
"Aku sudah berjanji untuk pergi ke Pulau Dewata membantu seseorang menyelesaikan tugasnya, Ibu." Ratri Geni tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Dewi Mulia Ratri pun tak mau mendesak lebih jauh. Namun Arya Dahana tidak.
"Tugas apa? Dan dengan siapa kamu nanti berurusan di Pulau Dewata, Nduk?"
Ratri Geni memandang heran kepada Ayahnya. Tidak biasanya Arya Dahana menelisik sebuah urusan.
"Sepertinya nanti aku mesti berhadapan dengan Siluman Kembar Gunung Agung, Ayah. Untuk menanyakan di mana mereka menyembunyikan Cupu Manik yang mereka curi dari Kerajaan Laut Selatan."
Dewi Mulia Ratri terbelalak mendengar perkataan Ratri Geni.
"Cupu Manik? Laut Selatan? Kau terlibat dengan apa, Nduk?"
Arya Dahana juga menanggapi dengan cemas. Ingatannya langsung melayang ke puluhan tahun yang lalu saat dirinya dan Dyah Puspita berurusan dengan Ratu laut Selatan dan mereka mendapatkan kutukan ilmu yang mengerikan.
"Bagaimana kau bisa terlibat dengan masalah Cupu Manik milik Ratu Gaib itu Ratri?"
Ratri Geni nyengir. Dia memang melibatkan diri karena Raden Soca. Bukan karena Ratu Laut Selatan ikut melibatkannya dengan urusan ini. Tapi bagaimana cara dia bilang kepada Ayah dan Ibunya?
"Apakah Ratu Gaib itu menyuruhmu mencari Cupu Maniknya yang hilang?" Arya Dahana mendesak.
Ratri Geni makin kelabakan untuk menjawab. Dewi Mulia Ratri menenangkan keadaan.
"Terlibat langsung atau tidak, jika kau memang sudah berjanji maka kau harus memenuhinya anakku. Hanya saja lain kali jangan mudah berjanji untuk hal yang mungkin tidak bisa kau penuhi ya?"
Ratri Geni mengangguk sambil memeluk Ibunya. Ayahnya memang mengerikan kalau sudah mengejar dengan banyak pertanyaan. Tentu saja dia tidak bisa berterus terang bahwa niat sebenarnya hanyalah membantu Raden Soca menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada pemuda itu oleh Ratu Laut Selatan. Bisa-bisa Ayahnya mengejar Raden Soca untuk memastikan semua pertanyaannya terjawab. Ratri Geni mengikik geli dalam hatinya. Membayangkan Raden Soca juga kelabakan menghadapi serbuan pertanyaan dari Ayahnya.
Di mana kira-kira Raden Soca dan kawan-kawan sekarang ya?
Ratri Geni memohon izin kepada kedua orang tuanya untuk berangkat ke Pulau Dewata tanpa memberi kesempatan kepada Ayahnya yang masih penasaran untuk bertanya lebih lanjut. Gadis itu mencium pipi Ayah dan Ibunya lalu melesat dengan kecepatan tinggi menuruni Gunung Merbabu. Ratri Geni sengaja mengambil arah yang berbeda dengan Ario Langit dan Arawinda. Khawatir jika harus bertemu lagi dengan pendekar wanita yang masih memendam kekecewaan besar itu. Untuk saat ini menghindar dari Arawinda adalah pilihan terbaik.
Keputusan yang tepat dari Ratri Geni. Karena Arawinda memang masih berada di kaki Gunung Merbabu bersama Ario Langit dan Galuh Lalita. Pendekar wanita itu sedang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Arya Dahana terhadap Ratri Geni.
"Jadi rencanamu sekarang apa putraku? Meskipun kecewa dengan putusnya pertunanganmu dengan anak Arya Dahana, tapi aku menghargai keputusanmu. Dan gadis ini siapa namanya tadi?" Arawinda menatap tajam Galuh Lalita yang langsung tertunduk. Jerih harus balik memandang mata Arawinda.
"Aku akan kembali ke Lembah Mandalawangi, Ibu. Bersama Galuh Lalita. Aku juga meminta restumu untuk dua hal. Pertama hubunganku dengan Galuh Lalita, Ibu. Aku mohon restumu untuk melangsungkan pernikahan dengannya. Kedua, aku mohon agar Ibu hadir di pernikahan kami di Lembah Mandalawangi sekaligus mohon restumu karena aku dan calon istriku ini sudah berjanji untuk membantu Kerajaan Lawa Agung."
Arawinda tertegun dan sudah hendak menyela dengan keras. Ario Langit buru-buru menambahkan.
"Aku membantu mereka tapi aku juga punya syarat terhadap Lawa Agung, Ibu. Mereka tidak boleh lagi menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Para prajuritnya harus berjalan di jalan para prajurit yang gagah. Tidak lagi mengundang para datuk sesat sebagai sekutu mereka. Kalaupun harus berperang, maka peperangan itu mesti dilakukan dengan adil dan terbuka. Tak ada lagi hal-hal licik. Tak ada lagi hal-hal buruk. Itu semua syaratku, Ibu. Dan mereka menyanggupinya. Bukankah lebih baik memperbaiki hal yang bisa diperbaiki daripada harus memusuhi mereka dan akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar?"
Arawinda tertegun lagi. Kali ini karena paham bahwa apa yang disampaikan panjang lebar oleh putranya itu benar adanya.
Ario Langit dengan cemas memandang Ibunya. Menunggu tanggapan wanita keras hati yang sedang termangu itu. Galuh Lalita juga dag dig dug hatinya. Khawatir tanggapan dari Arawinda tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Menikah dengan Ario Langit? Tak lama lagi? Jika tidak dalam suasana tegang, ingin rasanya Galuh Lalita melompat kegirangan. Gadis ini benar-benar tidak menyangka semua keputusan diambil begitu cepat oleh Ario Langit.
Arawinda menatap putranya dan juga Galuh Lalita bergantian. Dia ingin menakar sampai seberapa kuat keputusan Ario Langit dan seberapa layak gadis ini jadi pendamping hidup putranya. Gadis ini sudah pasti punya kepandaian tinggi jika melihat dari gerakannya. Cantik dan sopan. Tapi ada sesuatu pada diri gadis itu yang misterius dalam pandangan mata batinnya. Namun kemudian Arawinda teringat putra asuhnya itu. Ario Langit juga misterius. Ibunya manusia sedangkan Ayahnya siluman. Arawinda menggeleng-gelengkan kepala sejenak. Mengusir pikiran-pikiran buruk yang berkelebatan di otaknya.
--******