webnovel

13. Village

Tanjakan menuju Ujung Bukit ini sekarang membuat Syean terpana. Bagaimana tidak, dahulu jalan ini dipenuhi dengan lubang dan batu-batu sebesar kepalan tangan. Sekarang sudah diaspal dan mobil Dean melaju naik dengan nyaman.

"Beberapa bulan gue tinggalin, jalan ini sudah bagus aja. Biasanya jelek banget, Dean!" Syean memandang keluar jendela. Di luar sana pekat malam benar-benar membatasi pemandangan. Dean yang diajak bicara hanya mengangguk-angguk kecil mendengarkan kalimat Syean.

Gue nembak dia, responnya malah pinsan! Setelah sadar, dia bahkan tidak mau membahas apa yang telah gue katakan tadi. Sebenarnya perasaan Syean ke gue gimana yach? Gue jadi bingung!

Dean menggigit bibir bawahnya. Seumur-umur belum pernah menyatakan rasa seperti itu. Ada malu yang menyeruak. Sebenarnya pantang baginya untuk menyatakan rasa. Ego telah menutupi hatinya dari cinta. Namun, Syean telah merubah semua itu. Apa pun yang ada di diri Syean dan apa pun yang dilakukan Syean telah menyita perhatiannya. Jauh dari gadis itu hanya membuatnya menderita.

Inikah cinta? Inikah gadis yang dipilihkan Tuhan untuk gue?

Dean menatap Syean yang masih memandang keluar. Tidak ada apa pun di luar sana. Hanya kegelapan.

Ketika sampai di sebuah tempat yang bernama Palantak, Syean menyuruh Dean menghentikan mobil.

"Mau ngapain?" Dean bertanya dengan keheranan penuh. Karena di sini tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.

"Turun aja dulu!" Syean membuka pintu mobil dan keluar. Menyalakan senter yang ada di henponnya. Semuanya serba gelap. Bahkan untuk orang yang tidak biasa berada di pedesaan, suasana seperti ini sangatlah menyeramkan. Bunyi binatang malam saling bersahut-sahutan. Belum lagi semilir angin yang berhembus. Menggesek dedaunan yang melontarkan irama horor, mendirikan bulu roma.

Dean memegang erat tangan Syean.

"Ini mau ke mana, sih? Gelap banget! Jalannya menurun lagi!" Dean melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Jalan ini sedikit berbatu dan di tepiannya ditumbuhi rumput-rumput liar. Sepertinya ini jalan setapak menuju sebuah rumah. Namun tertutupi oleh pohon-pohon yang tidak diketahui Dean pohon apa namanya.

Kuik ... Kuik ... Kuik ...

Ada suara aneh yang membuat Syean menghentikan langkahnya.

"Apa itu?" Syean bertanya sambil mengarahkan cahaya senter ke wajah Dean. Dean merutuk kesal karena itu cahaya menyilaukan matanya.

"Lu mau bikin gue buta?" Hardik Dean sambil melindungi matanya.

"Maaf... Maaf, gue ga' sengaja! Tapi lu dengar bunyi barusan ga'?"

Dean tidak menjawab. Matanya mengitari sekeliling yang gelap gulita. Dan menggelengkan kepalanya.

"Mungkin itu suara binatang malam. Lagian, kita mau ke mana sih?"

Syean tidak menjawab pertanyaan Dean. Dia kembali melangkahkan kakinya. Kali ini jalannya sudah mulai mendatar dan landai. Dean menghembuskan napas lega. Setidaknya dia tidak harus selalu memegang tangan Syean yang lembut dan membuatnya berdebar-debar.

Hanya berjarak 50 meter, terlihat sebuah rumah dari papan. Di luar rumah, penerangan seadanya dengan lampu lima watt. Dean menahan tangan Syean.

"Rumah siapa?" Bisiknya.

"Rumah gue!" Syean membalikkan badannya dan menatap wajah Dean yang sangat terkejut mendengar kata-kata Syean.

"Rumah elu?" Dean masih tidak percaya melihat rumah yang terlihat sangat sederhana itu. Seperti rumah-rumah lama. Semua bahannya terbuat dari kayu. Dan hanya ini satu-satunya rumah yang terlihat. Dean menyembunyikan rasa tidak percayanya.

"Ayok jalan! Gue bakalan kenalin lu sama penghuninya!"

Syean menarik tangan Dean dengan penuh semangat. Dean membuang semua pikiran buruk yang melintas di pikirannya.

"Assalamu'alaikum?" Syean membaca salam sambil mengetuk pintu rumah.

Tidak ada jawaban. Hening.

Dean menghempaskan pantatnya di sebuah kursi kayu panjang. Sebenarnya dia sangat ingin merokok namun dia tahu bagaimana reaksi Syean yang selalu saja mencak-mencak setiap kali dia mau merokok.

Syean kembali mengetuk pintu. Dan kali ini, pintu rumah terbuka.

"Neneeeek!" Terdengar Syean memanggil seseorang dengan penuh kerinduan. Dean berdiri dan menatap orang yang membukakan pintu.

Seorang nenek-nenek berusia 70 tahun berdiri di depan mereka dengan wajah tuanya. Nenek ini sangat kurus dengan tubuh yang mulai bungkuk.

"Syean? Allahu akbar. Cucu nenek kiranya!" Nenek tersebut memeluk Syean dengan erat, " Ayo masuk! Kenapa tidak ngasih kabar kalau mau pulang, cu?"

Syean melepas sepatunya dan bergerak mengikuti nenek ke dalam rumah.

"Ini mendadak saja Nek. Tadi dari Bukittinggi. Jadi sekalian jalan-jalan" Syean memegang tangan neneknya dan menuntun perempuan tua tersebut menuju sebuah kursi yang terbuat dari kayu. "Nenek, gimana kesehatan nenek sekarang?"

"Yah namanya orang tua, Cu, pasti lebih banyak sakitnya dari pada sehatnya. tapi kamu kan tahu kalau nenekmu ini selalu terlihat kuat kan?" Nenek tua tersebut membelai rambut Syean dengan penuh cinta. Tanpa disadari oleh keduanya, Dean masih berdiri di depan pintu rumah. Dia kesal banget diperlakukan seperti itu oleh Syean.

"Ehmmm!" Dean mendehem keras. Obrolan si Nenek dan cucunya terhenti seketika, Syean menepuk jidatnya, "Ya ampun, gue lupa kalo elu masih ada di sini, Dean. Masuk gih, ga' usah malu-malu."

Dean melepas sepatunya dan beranjak masuk, matanya langsung mengitari keadaan di dalam rumah. Rumah yang terlihat sangat sederhana dan hanya ada satu kamar di dalam ruah tersebut. Semua materialnya masih terbuat dari kayu. Tadinya Dean tidak percaya kalau ini adalah rumah Syean. melihat tampilan Syean yang tidak ada miskin-miskinnya.Namun melihat begitu banyaknya foto Syean yang terpatri di dinding rumah membuat Dean jadi berpikir dua kali. Kalopun ini memang rumahnya Syean, gue kaga' peduli. Gue tidak butuh kekayaannya Syean, yang penting Syeannya, Coy!

"Maaf ya Nak, rumah nenek sangat jelek. Orang kota sepertimu pasti tidak suka di sini." Nenek Syean mengeluarkan pernyataan yang membuat Dean jadi salah tingkah.

"Nenek ngomong apa sih? Dean suka kok! Lagian apapun dan gimanapun kondisi Syean dan keluarganya, Dean tidak jadikan itu masalah. Tetap cinta sama Syean yang cantik dan lucu ini!" Dean duduk di samping Syean. "Nenek ngizinin Dean kan ya jadi mantu di rumah ini?"

"Apaaaaa?" Nenek Syean terkejut. Dia memegangi dadanya kaget.

Syean dan Dean saling pandang. "Kenapa Nek?" tanya Dean cemas. Takut tidak direstui.

"Jadi kamu ini calon mantu nenek???" Neneknya Syean membelai kepala Dean lembut. Mata perempuan tua tersebut berkaca-kaca. Yang ditanya menganggukkan kepala. Sementara Syean jadi salah tingkah. Tidak menyangka kalau Dean akan sefrontal itu.

"Baru calon Nek. Belum pasti juga!" sela Syean sambil berdiri. Dia melangkah mendekati sebuah meja bulat dimana ada cerek dan gelas disana.

"What the kamsud? Lu jangan bikin nenek bingung, Syean! Kita bakalan segera nikah dan tidak boleh ditunda-tunda lagi. Lagian nenek udah setuju. Iya kan nek?" Dean membelai lembut tangan keriput neneknya Syean.

"Aduh, Dean. Lu khayalannya ngeri banget. Nikah lu bilang? Lu belum tahu siapa gue, Dean. Gue tidak mau lu terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Sabar bro!" Syean mereguk air dengan cepat. Dadanya berdebar tidak menentu. Dia benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan Dean. Laki-laki itu memang aneh. Sangat aneh! Bisik hati Syean antara bingung dan cemas.

"Nek, nenek setuju kan kalo saya jadi suaminya Syean?" Dean kembali mendesak si nenek yang masih terlihat shock.

"Nenek setuju. Sangat setuju. Apalagi yang kurang coba, Syean? Sempurna buat jadi suami kamu! Ya Allah, alhamdulillah. Engkau berikan jodoh untuk cucu hamba!"

"Tuh, Denger! Nenek udah setuju. Berarti kita udah harus siapkan segala hal untuk menuju ke jenjang pernikahan. Asyeeekkk..... Makasih ya nenek sayang! Senang bisa menjadi bagian dari keluarga nenek!" Dean memeluk tubuh tua tersebut. Si Nenek tidak kalah bahagianya. Hanya saja Syean merasa ini terlalu mengada-ada. Serasa mimpi.

"Atur-atur aja dah! Dean, lu ikut gue bentar!" Syean menarik tangan Dean dengan cepat. "Nek, Syean keluar dulu ya. Nanti Syean balik lagi!"

"Mau ke mana emangnya? Udah malam ini mah!" si Nenek berjalan ke pintu. Melihat Syean dan Dean keluar dari rumah.

"Tenang aja nek! Nanti Syean kembali!" teriak Syean. Si Nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Kita mau ke mana?" Dean mengikuti langkah Syean yang terus menjauh dari rumah. Jalanan menurun. Suasa masih gelap. Bunyi bintang malam bernyanyi riang menghempas kesunyian. Syean tidak menjawab tanya Dean. Sehingga akhirnya mereka sampai di sebuah sungai kecil.

"Dean, tolong jagain ya! Gue mau boker nih! Serius dari tadi perut gue kaga' enak!" Syean tanpa menunggu jawaban Dean menghambur ke dalam sungai.

"Astaghfirullah! Dasar wanita aneh lu, Syean! Tadinya gue mengira lu bakalan ngajakin gue menikmati indahnya malam. Tahunya malah nemenin lu boker! Sarap memang lu ya! Jijik gueeee!" Dean ngomel-ngomel sambil membalikkan badan. Syean sukses mengerjainya. Dia masih mendengar kekehan Syean yang asyik mengeluarkan kotorannya di dalam sungai.

"Sebagai calon suami yang baik, ini salah satu buktinya kalau elu emang sayang sama gue, Dean. Lu harus siap dalam segala situasi dan kondisi!" Syean berteriak dari dalam sungai.

"Udah, ga' usah banyak bacot! Buruan beolnya! Menjijikkan banget!" Dean menendang-nendang kerikil kecil yang ada di jalan setapak tersebut.

***

Sekarang mereka sedang duduk di sebuah gubuk kecil di tepi sawah. Bunyi air mengalir di sungai membuat suasana begitu syahdu. Sayangnya rembulan tidak bersinar. Angin sawah bertiup cukup kencang. Dan dingin yang luar biasa mencucuk ke dalam tulang.

"Dingin banget, Dean!" Syean melipat tubuhnya. Menyembunyikan dagunya di antara dua lutut.

"Terus? Lu pengen gue peluk gitu? Gue manja-manja gitu? Ngarep!" Dean mendengkus sinis. Dia masih sebel sama Syean.

"Ya kalo lu mau peluk juga ga' apa-apa. Tapi kalo ga' mau, lu juga yang rugi. Kapan lagi coba bisa meluk gue? Secara kesempatan dan timingnya bagus. Di tepi sawah lo ini! Walau minim rembulan setidaknya malam ini romantis kan?"

Dean ternganga mendengar kata-kata Syean. Ini orang tau aja dengan apa yang gue pikirin. Kerongkongan Dean terasa kering. Dia mendehem. Dan mulai mengangkat pantatnya mendekati Syean.

"Mau apa lu?" Syean merapatkan badannya ke dinding. Takut juga dia melihat ekspresi Dean yang sepertinya dilanda nafsu.

"Lah, katanya lu mau dipeluk?" Dean tidak mengerti dengan syean. Tadi nantangin, pas dijabanin, dia malah ketakutan seperti kambing kena hujan.

"Belum halal! Yuk, kita cabut! Kita minta izin dulu sama Nenek. Habis itu kita cabut!" Syean berdiri dengan cepat.

"Ke mana lagi kita selepas ini?" Dean ikut berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya dari debu yang ada di lantai gubuk.

"You will see! Let's go!"

Lalu keduanya beranjak meninggalkan tempat tersebut.

***

"Nek, Syean balik dulu ya! Nenek jaga diri baik-baik!" Syean memeluk tubuh neneknya erat. Matanya terasa panas.

"Iya, hati-hati di jalan ya, Syean. Nenek pasti akan merindukanmu. Pesan nenek, jaga calon suamimu ini. Jangan sampai dirampas orang lain!" Rambut hitam Syean dibelai dengan lembut.

"Kita ga' nginap di sini, Syean?" Dean merasa heran. Bagaimana tiba-tiba Syean memutuskan untuk pergi dari rumah tersebut.

"Mau nginap dimana, Dean? Masa' sekamar bertiga dengan Nenek. Hahaha, udah, lu tenang aja! Gue sudah nyiapin tempat nginap yang nyaman buat lu! Kemon!" Syean dan Dean sekali lagi merangkul nenek tua tersebut dan kemudian mereka melangkah meninggalkan rumah yang terlihat penuh kesepian tersebut.

Dean masih terdiam di dalam mobil. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di pikirannya. Namun untuk bertanya dia merasa berat hati. Takut menyinggung perasaan Syean.

Syean seolah mengerti dengan isi pikiran Dean. Dia meraih tangan lelaki itu, "Dia bukan nenek kandung gue. Dia seorang janda tua. Anaknya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Nenek Saidah, itu namanya. Gue sama anaknya dulu sangat akrab. Namun penyakit mematikan telah merenggut nyawa anaknya. Elu bisa bayangkan, Dean betapa kesepiannya nenek Saidah. Butuh waktu baginya bisa tersenyum lagi. Anaknya itu, perempuan. Cantik dan pintar. Tapi yah, sakit-sakitan. Makanya, gue sudah seperti anak baginya!"

"Oh begitu! Sedih juga dengarnya. Tapi kok lu manggilnya nenek sih? Kalo dia ibu teman lu, setidaknya manggil dia ibu dong! Kok nenek sih? Kejam lu, Syean!"

Syean memutar bola matanya malas. Ga' nyangka bakalan direspon begitu sama Dean, " Dulu gue manggilnya Amak, cuma dilarang begitu anaknya meninggal. Katanya panggilanAmak bikin dia teringat almarhumah. Makanya, sejak itu gue manggil dia nenek!"

"Oh begitu, selalu ada alasannya ya, Syean? Mantap!"

"Mantap pala lu! Emang lu kaga' sedih dengar cerita gue barusan!" Syean mendengkus kesal. Dean tertawa lebar.

"Sedih sih. Tapi gue lebih sedih lagi karena lu berbohong!" Dean menstarter mesin mobil. Mobil menderum.

"Bohong gimana gue?" Syean menatap Dean tajam.

"Tuh, lu bilang tadi kalo itu rumah lu!"

"Emang kalo itu rumah gue kenapa? Lu kecewa? Lu kaga' terima kalo gue anak orang miskin? Gitu?" Suara Syean meninggi. Matanya tetiba aja panas.

"Ih, kok jadi sewot sih! Gue cuma nanya doang! Ya terserah elu sih! Lagian gue kaga' suka kalo lu uji-uji, Syean. Seperti yang gue bilang ke nenek, gue akan terima gimana pun keadaan elu. Jadi, stop untuk nguji-nguji gue. Bisa?"

Atmosfir di dalam mobil tersebut langsung berubah. Dean menatap lurus ke depan sambil menahan kekesalan. Sementara Syean tidak menyangka kalau Dean akan berpikir begitu. Dia merasa sangat bersalah.

"Maafin gue, Dean. Gue tidak ada maksud menguji elu. Serius. Maafin gue ya? Lu cinta sama gue kan?" Syean merebahkan kepalanya di lengan kekar Dean. Syean menarik napas dalam. Berusaha menenangkan emosinya yang sempat terpancing.

"Iya sama-sama, Syean. Mungkin karena gue lapar. Jadi sekarang kita bakalan ke rumah elu nih?" Dean mengecup pucuk kepala Syean lembut. Hatinya tiba-tiba saja terasa hangat.

"Iya, beb! Dean, I love u!" Syean memejamkan matanya.

"Me too!"