webnovel

TINTA MERAH (PARANORMAL)

Melangkah tanpa bunyi, mengiris tanpa hati, berkelana tanpa kaki. Hidup Mora seakan terbuntuti oleh seseorang di balik kegelapan yang bersembunyi. *** Berhadapan dengan hantu secara langsung mengejutkan Mora hingga ke ubun-ubun. Entah dendam apa yang sedang dipendam dan darimana kemunculan mereka, hanya menyisakan pertanyaan buntu bagi seorang gadis penyuka komik seram. Berjalannya waktu, Mora semakin menyadari akan keberadaan iblis dan pada akhirnya dianggap gila oleh keluarga. Ia seakan dituntun pada jejak-jejak kasus misteri yang malah membunuh orang-orang terdekatnya. Hingga pertemuannya secara tak terduga dengan seorang pria misterius, membawanya pada penyelidikan berdarah penuh teka-teki tanpa memandang risiko, sampai menemukan jawaban akhir. *** "Hei, kau yakin melakukannya?" "Tidak ada keraguan untuk itu. Bagaimanapun, aku harus melakukannya." "Tidak! Itu berisiko!" "Benar, ini berisiko besar, bahkan bisa dibilang menghadang kematian. Tetapi, sudah tak ada jalan lain lagi. Ingat, percayalah bahwa kita harus mencari jawaban atas hantu ini."

MoonSilver22 · Horreur
Pas assez d’évaluations
15 Chs

[1 — Kacang Polong]

Lingkungan Junior High School dipadati sekumpulan siswa baru yang saling menebarkan senyum dengan membawa setumpuk buku tebal. Raut wajah mereka nampak berseri-seri menginjak tanah lapang sekolah ternama itu dan bersiap menjalani hari pertama seraya berjabat tangan dengan para siswa unggulan.

Terkecuali Mora yang asyik berkutat membaca komik seram di bawah pohon rindang. Ia tak memperdulikan sapaan dan jabat tangan dari siswa baru, terlebih gadis itu memang tak menyukai anak-anak.

"Mora!"

Gadis itu menoleh saat nama cantiknya disebut. Mora tersenyum lebar melihat temannya membawa sekeranjang apel segar yang baru saja di beli. Air liurnya menetes dan membasahi komik kesayangannya.

"Julia, apa uang milikmu tidak habis?" Mora bertanya sembari menggigit apel merah.

"Setidaknya katakan terima kasih! Aku masih punya sepuluh celengan ayam sekarang." Jawab Julia ketus. Mora terkekeh kecil mendengarnya. Menatap ekspresi cemberut Julia itu justru membuatnya gemas.

"Lalu," celetuknya dengan nada tinggi, "kau tidak bosan membaca komik, Mora? Sejak di kelas pertama, kau tak pernah absen memegangi komik tebal itu."

Mora mendelik, "Ada masalah? Komik ini sudah menjadi makanan ku sehari-hari. Dari pada melihat wajahmu yang cemberut itu berjam-jam." Candanya, menekankan perkataan terakhir.

"Hei, jangan bawa-bawa wajahku yang imut ini!" gertak Julia.

Mereka bergandengan tangan menuju sebuah gedung yang menjulang tinggi. Mora berjalan menaiki puluhan anak tangga dengan peluh memenuhi keningnya. Ruang kelas yang ia dapatkan sekarang berada di lantai enam. Sungguh, sepertinya Mora salah tempat kali ini sampai harus menghela napas panjang, bagaikan sedang ada di pusat kebugaran.

Beberapa guru dan petugas kebersihan berjalan beriringan menuruni tangga. Mora berpura-pura tersenyum begitupula dengan Julia, menghapus guratan kelelahan di wajahnya. Akhirnya, mereka berhasil sampai di koridor panjang yang penuh dengan para siswa baru.

Jam pelajaran berlangsung begitu lama. Seolah jam berhenti bergerak, membeku oleh dinginnya pendingin ruangan. Pak Dison, guru pengetahuan ilmiah itu, sibuk menerangkan materi dan tatapan tajamnya tidak berhenti memandang sekeliling.

Santai. Kata itu yang terlintas di benak Mora. Ia tak perlu khawatir mendapat hukuman akibat kelalaiannya mengikuti pelajaran yang hanya sibuk dengan komik seram. Jari-jarinya membalikkan lembar demi lembar hingga menyentuh akhir. Namun, keberaniannya masih saja terkalahkan dengan rasa takut.

"AAAA!" pekik Mora. Suara nyaring dan kerasnya memenuhi ruang kelas. Buku-buku pelajaran membosankan di meja miliknya terjatuh dan berserakan. Julia terkejut, ia hampir saja mengacaukan tugasnya saat penanya bergerak tak beraturan mendengar teriakan itu.

"Kenapa, Nak?!" tegur Pak Dison, tak kalah kerasnya pula.

"Saya takut dengan gambar ini," ucap Mora tersenyum malu. Sontak, kelas penuh dengan suara tawa yang menggema.

"Berhenti membaca!"

Dengan geramnya, Pak Dison merebut paksa komik di lengan Mora dan mulai mengoyaknya menjadi serpihan kecil dengan pulpen seraya menyalakan pemantik api, diiringi teriakan histeris.

"Hei, Pak! Anda menyuruh kami untuk membaca selama tiga tahun berturut-turut! Sekarang, anda merusak buku. Apa itu pantas diterima?" tanya Mora. Hati dan jiwanya terbakar, menatap komik kesayangannya rusak.

"Benar itu!"

"Anda guru atau pecundang?"

"Tidak punya akhlak secuil pun!"

Seluruh siswa saling melempar amarah. Pak Dison kini mematung. Kata-katanya yang menyakitkan hati memang benar adanya. Mora mengungkapkan semuanya yang tak ia sadari selama ini dan menyesal.

"Wah, wah, aku kira sekolah ini sangat damai. Ternyata ada sadisnya pula." Celetuk gadis bersuara lembut.

Mora mendongak, tak percaya. "Anak baru?"

Pak Dison buru-buru melempar komik Mora ke arah luar jendela sembari merapikan jas. Tentu saja amarah Mora kembali naik dan mengepalkan tangannya memandang buku miliknya lenyap.

"Kenalkan, namaku Elvena. Aku murid pindahan. Salam kenal semuanya!"

Julia ternganga heran ketika melihat Elvena berjalan penuh sorakan, bagaikan sedang berada di atas karpet merah dan kelas ini adalah panggung kecilnya. Rambut tersirai rapi dengan poni mungil menambah elok wajahnya bak bidadari. Wajar saja, para lelaki tersihir dengan kecantikan itu dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Sementara Mora memandang sebal ke arahnya dengan sedikit mengantuk. Gadis itu menyembunyikan ruam-ruam merah dan cacar air dibalik saku bajunya, membawa petaka jika ada seseorang yang berani menyentuhnya.

Bel istirahat berdentang kencang, menggema di sepanjang koridor sekolah. Mora beranjak dari kursi dan menarik lengan Julia dengan erat. Gadis itu sedikit meringis pelan, kemudian berjalan beriringan menuju lapangan basket.

"Mora, kau tak ingin berkenalan dengan Elvena?" tanya Julia.

"Tidak. Melihatnya saja, aku bisa langsung kena alergi." Jawabnya datar.

Mereka melewati sejumlah pria berpakaian lengan pendek yang asyik melempar bola basket, saling berlari riang diatas gundukan pasir, bahkan ada saja yang terjatuh dan mencium semen.

Mora memasuki ruang musik disusul Julia dengan membawa sekantong krupuk udang. Berbagai alat musik dari belahan dunia dan cerita berkumpul disudut ruangan. Buku-buku panduan lengkap tertata rapi tanpa terselimuti debu, menunggu para pembaca untuk mengambilnya. Seorang wanita berusia muda menuruni tangga dan menghampiri kedua gadis itu dengan lengkungan senyum.

"Selamat siang, Ibu Lizzy." Ucap Mora dan Julia, hampir bersamaan.

Wanita itu tersenyum, "Kompak sekali! Baiklah, siap untuk berlatih?" tanyanya mengambil sebuah tongkat mencuat panjang.

"Siap!"

Menginjak kelas 9, rutinitas Mora semakin banyak memenuhi kesehariannya. Pula sering kali membuatnya lelah dan tak bersemangat untuk bangkit. Namun, halangan itu sirna semenjak ia mencoba belajar musik melalui piano ataupun biola. Hal ini tanpa sepengetahuan teman-temannya, hanya Julia saja yang tahu.

Mereka berdua tergabung dalam grup 'Twenty Lizz' sebuah seni orkestra yang dinaungi oleh salah satu guru wanita yang berbakat. Namanya, Lizzy. Wanita yang gemar mengenakan setelan kemeja kotak-kotak dengan gaun biru, memandangi sepasang gadis yang berjalan ke arahnya.

"Satu, dua, satu, dua," ucap ibu Lizzy memberikan aba-aba. Julia meniup seruling dengan menekan-nekan lubang suara silih berganti. Mora menggesek biola sedikit cepat, alhasil suaranya sumbang.

Ibu Lizzy tersenyum, "Mora, apa kamu sedang banyak pikiran?"

Gadis itu menggeleng, "Tidak, Bu. Hanya kurang fokus saja," katanya dengan nada pelan.

"Mainkan biola mu dengan gesekan pelan ya."

Perlahan, napas Mora menderu setiap kali melenturkan tangan dan tongkat biola yang telah tergenggam erat. Ketakutan menghampiri, tetapi Mora masih mampu bertahan. Sebab ia tahu, latihan musik tidaklah seseram komik yang sering dibaca.

Ruangan musik diwarnai dengan melodi lembut nan melankolis, setiap kali Julia meniup seruling dan gesekan biola yang seirama. Ibu Lizzy menggerakkan tongkatnya naik turun seraya ikut menyelaraskan nada. Mereka bertiga hanyut dalam musik, bagai tenggelam di samudra rendah. Mora hampir saja terjungkal akibat telinganya berdengung begitu keras.

Keadaan menjadi riuh dan ramai, saat sekumpulan lelaki mengintip dibalik celah-celah jendela ruangan musik sambil berbisik-bisik membicarakan sesuatu. Para siswa baru ikut mengerubungi melihat alunan musik yang begitu indah di dengar.

"Mora, ibu sudah mendaftarkan dirimu untuk ikut dalam pergelaran orkestra," celetuk ibu Lizzy.

Mora tersentak, "Apa tidak bisa dibatalkan, Bu?"

"Kenapa? Kemampuan menggesek biola mu sudah berkembang. Lagipula kamu bisa menambah pengalaman."

Sekali lagi, Mora terkaget dan menggelengkan kepala. Ia tak menduga sepintar itu memainkan biola, padahal tiada satupun teman-temannya yang terpikat dengan melodi.

"Bukan masalah pengalaman, tetapi saya khawatir Mora belum siap, Bu Lizzy," bela Julia. Sebagai teman sebangku, gadis itu tentu tak bisa tinggal diam, menelantarkan Mora yang dirundung bimbang.

Ibu Lizzy beralih menatapnya dengan sorot mata lembut, "Julia, bagaimana kalau kamu ikut juga? Kalian berdua pasti akan selalu tersenyum," jelasnya seraya membersihkan rak-rak buku yang penuh dengan debu.

"Kami mau! Bu Lizzy, apa kegiatan orkestra berlangsung lama?" tanya Mora dan Julia kompak.

Wanita berkacamata itu memutar bola matanya, "Sepertinya sampai petang. Tenang saja, kalian akan ikut dengan rombongan bus sekolah."

Mora mendongak ke arah samping, tepatnya deretan jendela bening dengan sinar mentari yang membentuk bayang-bayang di lantai. Elvena, siswa baru itu memandang Mora sedikit tersenyum canggung dan alisnya terangkat ke atas. Tentu saja, Mora membalas tatapan itu yang tak kalah dinginnya pula, seolah mereka berdua sedang mengikuti kontes tatap mata. Ia meringis ketika kepalanya dihantam oleh sebuah benda kecil.

"Hah? Kacang polong?"

Mora melirik kanan-kiri, tidak ada siapapun dibelakangnya selain mereka bertiga. Tak terkecuali orang-orang yang menyaksikan pertunjukan alunan musik itu.

Bus dengan polesan warna dan tulisan sekolah ternama di sekujur badan serta jendelanya, melintasi hiruk pikuk perkotaan. Walau matahari telah menurun, namun panasnya masih terasa hingga ke ubun-ubun. Sepersekian menit kemudian, bus memasuki jalanan lengang yang penuh pepohonan tinggi disekitarnya.

Pendingin ruangan menyala, baling-baling nya berputar sangat cepat hingga mengeluarkan suara bising. Julia mengeluh panas dengan dahinya yang penuh tetesan keringat, diiringi keluhan anggota orkestra lainnya. Namun, Mora tak perlu sibuk berbicara. Cukup menyiapkan mata dan tangan, ia langsung menyelam masuk ke dalam komik seram itu sembari mendengarkan lagu klasik.

Kegiatan orkestra berlangsung meriah. Mora menggesek biola dengan lihainya bersama anggota lain. Sesekali melirik Julia yang tak kalah hebatnya pula. Tak lupa, ibu Lizzy memainkan tongkat kecilnya dengan cepat nan gesit.

"Tadi itu pertunjukan yang bagus!" sahut Julia. Senyumnya tak pernah surut sejak pertama kali menginjak di gedung megah dan indah itu.

"Apa kalian ingin pulang? Sudah hampir malam."

"Saya ingin segera tidur!" ucap Mora dan Julia bersamaan.

"Baik... baik... sekarang-"

"Maaf, bus mengalami pecah ban. Pasti tidak ada bengkel yang buka," ucap seorang pria dengan sangat panik dan napas terburu-buru.

"Bagaimana ini?! Mora, Julia, kalian mau tinggal semalam disini?" tanya ibu Lizzy dengan guratan cemas yang memenuhi wajahnya.

Mora menggeleng, "Tidak perlu, Bu. Ayah saya akan kemari."

Seorang pria berbaju putih dengan sarung yang terbalut di tangannya, memacu pedal gas pada mobil tua berumur puluhan tahun yang terparkir di garasi rumah. Mulutnya tak berhenti menggigit bibir, seraya tersenyum getir.

"Mengapa mereka pergi ke tempat terpencil? Seperti touring saja," gumamnya dalam hati.

Mikael menarik rem dan berlari menuju sebuah gedung besar. Anak semata wayangnya telah menunggu kedatangannya dengan terduduk santai sembari membaca komik. Sang ayah tentu tidak mengharapkan pemandangan yang tersuguh dihadapannya.

"Mora, ayo pulang!"

"Ayah, temanku juga ingin ikut," sahut Mora.

Mikael mengelus dadanya pelan. Ia menatap anaknya itu dengan tajam, "Boleh."

Malam semakin pekat disertai udara dingin. Pepohonan menjulang tinggi menghiasi perjalanan pulang mereka, kini terlihat seperti monster yang siap meraup mangsa di tengah kegelapan. Jalanan sangat sepi, bahkan suara serangga kecil pun tampaknya tak berkeliaran di tempat itu. Hanya mesin mobil milik Mikael yang memecahkan malam yang sunyi.

Julia menatap pohon-pohon berwarna kehitaman dibalik jendela. Matanya sedikit berair dengan guratan takut dan ngeri, membayangkan jika ia berjalan di hutan itu sendirian. Mora senantiasa berkutat dengan komik, mengabaikan kondisi sekitar yang menurutnya tidak semencekam seperti komik miliknya.

"Hei, Mora! Kau tidak takut?" tanya Julia dengan suara bergetar.

Mora menjulurkan lidah, "Komik ini lebih seram daripada pohon diluar sana," sindirnya.

"Huh, apa iya? Coba aku lihat!"

Julia merebut komik itu dan berhasil berada di genggamannya. Mora mengeram marah saat ponselnya terjatuh. Sedetik kemudian, Julia melempar asal komik itu dan mematung seketika.

"Bagaimana? Seram 'kan, tuan putri?" sahut Mora dengan nada serak yang dibuat-buat.

"Seram sekali!! Kenapa kau tidak berteriak sekali saja, huh?!"

"Karena aku tahu, orang lain berteriak berkali-kali seperti dirimu."

Julia mendorong Mora dengan sangat keras, alhasil wajah cantik nan dinginnya menghantam kaca jendela mobil. Kurang apalah lagi bagi Julia untuk memberikannya pelajaran. Tiba-tiba saja, mesin mobil mati. Berapa kali pun Mikael memutar kunci, hasilnya tetaplah sama.

"Ayo, kalian turun dulu. Ayah ingin mengecek mesin mobil."

Udara dingin langsung menusuk tulang-tulang Mora. Rasanya ia ingin pingsan saat itu juga, namun keadaan sangat tidak memungkinkan. Pepohonan disekitarnya terlihat sangat tua dan tinggi, dengan akar-akar yang menjalar panjang dan lumut segar menempel di batang pohon.

Mora menggigit apel sedikit meringis ngilu. Hawa semakin dingin, membuat Julia berpikir yang tidak-tidak. Di sebelah sana, Mikael sibuk mengutak-atik obeng dan alat perkakas. Mora membuka lembaran komik paling terakhir dengan gambar berlatar hutan. Ia tersentak ketika mendengar ranting kayu yang diinjak.

"Siapa itu?"

Hampa. Mora beranjak dari duduknya dan mencoba pergi ke dalam lebatnya pepohonan itu beberapa meter. Namun, Julia buru-buru menarik tangannya dengan sedikit cemas.

"Jangan pergi kesana. Kau tidak takut, hah?"

Mora mengangguk, "Aku takut jika melihat wajah marahmu itu."

Terdengar suara kelelawar yang saling menyambar diantara dahan, menjatuhkan ranting dan buah-buahan yang telah membusuk. Mora melangkah menginjak tumpukan buah busuk itu dengan pandangan jijik. Hidungnya mencium aroma amis dengan kilatan sinar rembulan. Sesekali menggigit apel, guna mendamaikan perut yang sedang meraung.

Namun, rasa apel yang bertebar manis kini terasa sangat pahit. Seolah ia baru saja memakan dedaunan. Ekor matanya menangkap lampu mobil ayahnya yang masih menyala. Mora memuntahkan isi dari dalam mulut dan mengambil ponsel.

"Kacang polong?!"

Benar saja, ia memuntahkan kacang polong mentah yang sempat dikunyah. Rasa pahit menyerang lidah manis miliknya dan terbelalak tak percaya. Namun, tangannya tetap menggenggam apel yang telah tergigit sebagian.

__________________________________________

Mora pasti bisa langsung masak bubur kacang hijau. Sayang, bolong-bolong.

Semoga terasa seramnya ya, jangan lupa untuk makan popcorn sembari membaca cerita ini seperti di bioskop:)

Hati-hati, siapa di belakang mu?