Starla memang jarang menunjukkannya, tapi aku tahu bahwa dia juga memikirkan masa depan Adam. Butuh waktu cukup lama bagiku meyakinkan dirinya sampai ia setuju metode pendidikan yang akan kami terapkan pada Adam.
Saat ini aku menikmati masa-masa Adam bermain dengan ceria. Kulitnya yang ditimpa sinar matahari pagi dan sore. Keringatnya saat bermain sepakbola, juga caranya meneguk air putih dalam jumlah banyak usai lelahnya bertanding.
"Gimana permainanku, Ayah?"
"Kamu melakukannya dengan sangat baik, Adam. Kamu hebat,"
"Ayah selalu bilang gitu," Adam tertawa.
"Itu kenyataannya, Ayah nggak mengada-ada," kataku sambil mengacak-acak rambutnya.
Lalu kami pulang, seiring adzan magrib yang mulai berkumandang.
Adam memantul-mantulkan bolanya ke jalanan selama kami menuju rumah.
Mobil-mobil mulai berdatangan dari mereka yang baru saja menyelesaikan harinya.
Aku membiarkan Adam masuk terlebih dahulu dan menyuruhnya untuk segera mandi, sementara kusaksikan matahari terbenam dengan indah.
Sebentar lagi Starla akan pulang, seperti biasa aku akan menyambutnya. Ia akan turun dari mobil dengan wajah lelah namun tersenyum. Lalu ia akan memelukku, dan aku balas memeluknya.
Setelah itu ia akan menceritakan apa yang terjadi di kantornya hari itu, dan kutimpali dengan kegiatan Adam hari ini, juga apa yang kulakukan di dunia melalui perintah-perintah dari media digitalku.
Namun tidak kusangka bahwa malam ini Rachel mengirimiku pesan WhatsApp.
"Halo Ferre, bagaimana kabarmu?"
"Baik, Rachel, bagaimana kabarmu?"
"Baik. Dengar, aku mau berterima kasih."
"Untuk?"
"Menyelamatkanku dari bangunan yang runtuh."
"Ah, itu bukan jasaku."
"Tapi kalau kau tidak menyelamatkanku, aku mungkin sudah mati. Dengar, aku ingin menunjukkan terima kasihku dengan mengundangmu makan malam. Ajak saja Starla dan Adam."
"Wah, undangan yang menyenangkan. Tapi Starla akan pergi dinas ke Dubai."
"Sayang sekali. Tapi aku ingin mengundangmu makan malam. Jika kita berdua saja, apakah akan jadi masalah?"
"Kurasa tidak."
"Besok malam apakah memungkinkan?"
"Oke."
***
Esok malamnya kami bertemu di The Valley.
"Terima kasih sudah datang." Katanya.
"Terima kasih sudah mengundangku."
"Ini kan tanda terima kasih dariku karena sudah menyelamatkanku."
"Hmm, seleramu sama denganku ya."
"Maksudmu?"
"Aku senang makan di sini."
"Oh, ya? Berarti kau sudah pernah ke sini sebelumnya?"
"Sudah lama tidak. Tapi dulu aku mengajak Starla kencan di sini."
"Wah, romantis sekali."
"Kau tahu tempat ini dari mana?"
"Teman kerjaku yang memberitahu. Tempat makan paling bagus yang bisa dapet pemandangan Bandung di mana. Banyak yang merekomendasikan tempat ini."
Pikiranku kembali teralih. Terakhir kali aku makan malam dengan Starla di tempat ini adalah ketika aku ditelepon oleh Replayer.
"Ferre?"
"Ya?"
"Ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Hmmm, entahlah."
"Maksudmu?"
"Pikiranku melayang ke mana-mana."
"Kuharap kau tidak menganggapku orang lain."
"Maksudmu?"
"Kalau kau mau membagi masalahmu denganku, aku akan senang."
"Ah, ya. Terima kasih. Aku... hanya teringat seseorang."
"Seseorang?"
"Aku punya teman waktu kuliah dulu. Latar belakangnya teknik lingkungan. Tapi dia lebih suka menjalani hidup sebagai traveler. Melihatmu menjalani pekerjaan yang utamanya adalah traveling, aku ingat dia."
"Perempuan?"
"Ya."
"Sudah kuduga."
"Sudah kau duga?"
"Never mind. Kalau seorang pria bercerita tentang temannya, biasanya perempuan."
"Biasanya, kan?"
"Tapi kali ini aku benar, kan?"
"Ya."
Kami tertawa.
"Di mana temanmu itu sekarang, Ferre?" tanyanya.
"Entahlah. Sudah lama aku nggak bertemu dia."
"Hmm... mantan pacar?"
"Bukan. Aku cuma pernah punya satu pacar."
"Starla, yang kemudian menjadi istrimu?"
"Ya."
"Kau sangat setia, aku mengagumi laki-laki yang setia. Starla beruntung memilikimu."
"Akulah yang beruntung memilikinya. Sangat beruntung, bahkan."
"Kau pasti sangat mencintainya."
"Aku kembali dari Amerika ke negeri ini, adalah demi Starla."
"Wah, wah. Baru kudengar hal seperti ini."
Kusadari aku telah terlalu banyak bicara.
"Kau berencana tinggal di Indonesia sampai kapan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Entahlah, negeri ini indah."
"Benarkah? Menurutmu demikian?"
"Aku sering membaca tentang Indonesia. Jujur ya, aku mulai tertarik untuk berkunjung ke sini setelah bertemu denganmu."
"Bertemu denganku? Kenapa?"
"Entahlah, setelah pembicaraan-pembicaraan kita, aku melihat kau orang yang sangat cerdas. Aku berharap di sini bisa bertemu banyak orang sepertimu."
"Kau terlalu memujiku."
"Aku sungguh-sungguh."
"Jadi kau akan berada cukup lama di sini?"
"Kurasa demikian."
"Kantormu tidak keberatan?"
"Aku akan berhenti dari kantorku sekarang."
Aku memandangnya heran.
"Ha-ha, aku cukup punya tabungan. Lagipula bagiku yang penting bisa cukup makan dan minum, serta ada tempat berlindung dari hujan dan panas. Itu saja."
"Kini aku yang mengagumimu."
"Kenapa?"
"Demi kebahagiaan dan keinginanmu, kau hapuskan semua belenggu yang mengungkungmu."
"Bukankah memang itu yang harus kita lakukan?"
"Aku sepakat."
"Kalau begitu, mari kita bersalaman." Rachel mengulurkan tangannya.
Kami berjabatan tangan, lalu tertawa.
"Jadi, kau akan langsung menetap di sini?"
"Aku harus kembali dulu ke Inggris, mengurus surat pengunduran diriku."
"Oh, kapan?"
"Mungkin beberapa hari lagi. Kubereskan dulu pekerjaanku di sini."
"Lalu kapan kau akan kembali ke sini?"
"Paling cepat satu bulan lagi. Nanti kita janjian lagi ya?"
"Kebetulan, ini sudah jelang akhir tahun. Kami sekeluarga berencana berlibur ke Eropa."
"Oh ya? Ke mana?"
"Keliling Eropa daratan. Barangkali kita bisa bertemu di sana?"
"Baiklah. Kabari saja aku begitu kalian ada waktu di sana."
"Oke."
Kami pun berpisah malam itu.
Kulihat mobil Rachel berlalu menembus kegelapan malam, sebelum aku sendiri berjalan menuju mobilku. Saat kucapai tempatku parkir, sebuah mobil sedan putih melewatiku. Ia berhenti tepat di sampingku, kaca depannya perlahan membuka.
"Ferre!" sapa seorang perempuan dari balik kemudi.
Aku tertegun.
"Kayla?"
"Senang bertemu lagi."
"Iya, kamu baru datang?" Jawabku singkat.
"Nggaklah, udah dari tadi, masak jam segini baru mau makan, udah mau tutup kalik," Kayla tertawa.
"Berarti dari tadi ada di dalam?"
"Iya, aku lihat kamu makan sama perempuan Inggris itu."
Lagi-lagi, aku tidak merasakan kehadirannya.
Padahal ia sepanjang waktu bersama kami di dalam.
"Dari mana kamu tahu bahwa dia orang Inggris?"
"Ah, Ferre. Gampang nebak orang dari aksen. Aku juga lihat kalian di mall waktu gempa tempo hari."
"Oh ya?"
"Ya, kamu paling duluan keluar bersama perempuan Inggris itu serta Starla dan anakmu. Kalian seperti sudah tahu bahwa itu akan terjadi."
"Kayla, apa maksudmu?"
" Bukan apa-apa. Ehm... Starla ke mana?"
"Kayla..."
"Aku tahu, ini bukan urusanku. Yuk ah, sudah malam. Sampai jumpa. Sekali lagi, senang bertemu denganmu." Kayla melambai sambil menutup kaca mobilnya, dan segera berlalu.
Cepat-cepat kumasuki mobilku dan memacunya untuk membawaku pulang.